Perspektif

Jangan Sampai Feminisme Diatur Logika Patriarki

3 Mins read

Fenomena feminisme diatur logika patriarki yang hingga kini masih berurat-akar dalam masyarakat mengakibatkan pergerakan perempuan terdegradasi dan terpinggirkan. Logika patriarki yang masih menguat tidak malah menciptakan iklim kesetaraan bagi kelompok feminis, tetapi justru mempreteli pergerakan mereka.

Pada batas tertentu, pergerakan perempuan dalam segala aspek sulit diakomodasi seturut kepentingan perempuan. Pola yang dibentuk dan dibangun dalam masyarakat dibawah kendali belenggu patriarki justru mendepak perempuan dari ruang dimana mereka seharusnya mendapatkan ‘jatah’ yang setara dengan laki-laki.

Feminisme Diatur Logika Patriarki

Harus diakui hampir semua daerah di Indonesia masih menggengam erat budaya patriarki. Meskipun perkembangan global telah merambah hingga ke desa-desa, namun tetap saja logika patriarki masih bersarang utuh dan tetap dianggap relevan sehingga dipraktekkan dalam masyarakat setempat.

Hal ini tidak saja dipangaruhi karena kultur masyarakat sehingga logika patriarki masih tertanam kuat, tetapi di sisi lain justru budaya patriarki dipertahankan demi melanggengkan kepentingan pihak laki-laki. Kekhawatiran jika sewaktu-waktu perempuan akan mendominasi dalam masyarakat, memaksa kelompok ini (laki-laki) mempraktekan logika patriarki sebagai “benteng pertahanan diri” yang dengan sendirinya tetap menempatkan perempuan sebagai kelas nomor dua.

Dalam banyak bentuk, budaya patriarki selalu menjadi parasit yang membunuh pergerakan kaum feminis. Logika feminisme acapkali tidak mendapatkan tempat untuk ‘diakui’ dalam masyarakat karena suburnya logika patriarki mendominasi semua aspek kehidupan masyarakat.

Kondisi ini bisa dipastikan dengan sendirinya menggerus eksistensi perempuan bahkan memaksa mereka untuk menerima kondisi tersebut sebagai sesuatu yang ‘alamiah’. Logika ini semakin mempertegas bahwa feminisme pada hakikatnya hanyalah sebuah konsep teoritis. Sementara dalam prakteknya dikendalikan di bawah nalar patriarki.

Dalam masyarakat yang masih menggenggam budaya patriarki, eksistensi perempuan tidak mendapatkan ruang yang ‘setara’ dengan laki-laki. Kehadiran perempuan selalu ditempatkan dalam kelas yang dalam banyak aspek mudah dikendalikan dengan logika patriarki. Hal ini pada gilirannya sangat rentan dengan kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun verbal.

Baca Juga  Indonesia itu Humanisme Religius atau Humanisme Sekuler?

Kekerasan semacam ini seringkali dialami perempuan dan jika kita melihat dampak yang dirasakan perempuan, luka batin yang mereka terima jauh lebih besar. Dampaknya akan mengganggu mental dan psikis mereka.

Mendobrak Belenggu Patriarki

Merujuk pada pemikiran kritis Pierre Bourdieu (dominasi maskulin), dominasi maskulin dalam banyak aspek tidak saja menggerus keberadaan perempuan sehingga perempuan rentan dengan kekerasan. Di balik itu, dominasi maskulin sebetulnya menandakan ada perampasan hak-hak dasar perempuan yang mudah diselewengkan.

Hak mereka sebagai perempuan yang sebetulnya perlu mendapatkan ruang untuk ‘berekspresi’ nyatanya tidak dengan baik diterima perempuan. Contoh nyata, dalam media sosial tubuh perempuan justru mudah dijadikan sebagai tampilan yang mengundang banyak mata untuk melihat. Bahkan yang jauh lebih memprihatinkan tatkala media sosial dijadikan sebagai ladang yang dengan subur mengumbar kemolekan tubuh perempuan.

Dalam konteks perkembangan modern seperti saat ini, kekerasan terhadap perempuan telah beralih dari kekerasan fisik menuju pada kekerasan simbolik. Dalam aspek ini, kekerasan verbal merupakan bagian dari kekerasan simbolik yang saat ini dianggap biasa, namun memiliki impact yang sangat mendalam.

Kekerasan simbolik tidak terlihat dan korban tidak secara langsung merasakannya. Tetapi jika hal ini dilakukan secara terus-menerus justru ada kerusakan mental dan psikis yang akan diderita. Perempuan sangat rentan dengan kekerasan semacam ini sehingga tak pelak selalu menjadi korban. Media sosial kita hari ini menurut hemat saya tidak secara utuh menghadirkan ruang ekspresi yang setara tetapi didominasi oleh kelompok laki-laki. Menggambarkan masih kuatnya nuansa feminisme diatur logika patriarki.

Lantas dalam kondisi perempuan terdesak seperti ini, bagaimana pergerakan perempuan dalam masyarakat agar setara dengan laki-laki? Menurut hemat saya, paling penting yakni menakomodasi mereka dalam ruang yang sama, misalnya dalam lanskap politik yakni mendorong elemen terkait (pemerintah) untuk tegas menerapkan kebijakan representasi perempuan (regulasi minimal 30%) dalam politik.

Baca Juga  Aku Menyembah Sepakbola dan Memperlakukannya Seperti Tuhan

Sejauh ini regulasi penetapan representasi perempuan tersebut telah diterapkan namun belum dioptimalkan. Terkesan regulasi ini hanya kebijakan yang mencerminkan bahwa lanskap politik menyediakan ruang bagi perempuan. Tetapi sejauh ini keseriusan untuk mengakomodir kepentingan perempuan dalam ranah politik tidak benar-benar serius dilakukan.

Memikirkan Kesetaraan

Keterwakilan perempuan di legislatif misalnya, bisa memberikan tempat bagi mereka untuk memproyeksi suatu kebijakan seturut kebutuhan mereka. Persoalan kita hari ini mengapa kekerasan terhadap perempuan masih tetap berlanjut serta perempuan tidak diakomodasi dengan baik dalam memanfaatkan fasilitas umum.

Hal itu karena proyeksi kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan pada apa yang menjadi kebutuhan mendasar perempuan. Sementara proyeksi kebijakan dibuat harus berpangkal pada apa yang menjadi kebutuhan sehingga pemenuhan hak perempuan betul-betul diakomodasi dan dilindungi.

Pada aras ini sebetulnya proyeksi kebijakan yang kita canangkan tidak pernah memikirkan apa yang menjadi kebutuhan. Melainkan lebih berupaya menerapkan kebijakan yang terkesan bahwa kita berpihak pada mereka.

Hal ini tentu sangat keliru sehingga tidak heran lanskap politik, hukum, ekonomi sosial, pendidikan sulit bahkan hampir tidak memperhatikan kebutuhan perempuan. Sehingga tidak jarang kita menemukan gap dalam masyarakat modern. Di satu sisi pihak laki-laki diunggulkan sementara di pihak lain perempuan terdegradasi dari aspek di mana seharusnya semua pihak difasilitasi.

Pada akhirnya, jika logika patriarki semakin subur, feminisme kian terdepak. Di bawah logika patriarki semacam ini perempuan sulit mendapatkan akses pemenuhan kesetaraan. Salah satunya untuk mengekspresikan diri mereka di ruang publik dan media sosial.

Logika patriarki justru sangat berkelindan dengan kekerasan dan feminisme mudah tunduk dibawah kepentingan sepihak. Inilah yang mesti disadari oleh masyarakat kita hari ini agar tidak terjebak dalam nalar berpikir untuk mengunggulkan diri dengan seraya menundukan pihak lain.

Baca Juga  Salat di Rumah Bukan Phobia Masjid!

Karena selama itu terus dipraktekkan, selama itu pula kita tidak pernah memahami kesetaraan.

Editor: Nabhan

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa Prodi Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Saat ini aktif sebagai kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Malang–Komisariat Merdeka. Inisiator Komunitas Payung Literasi (Kopalter)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds