Fikih

Perkawinan Beda Agama, Apa Dampaknya?

3 Mins read

Manusia merupakan makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain. Tak jarang mereka saling memiliki ketertarikan dengan lawan jenis dan memiliki keinginan untuk saling mengikatkan janji dalam sebuah perkawinan. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi seorang laki-laki dan wanita yang saling mencintai. Di Indonesia yang beraneka ragam ini tak jarang persoalan perkawinan beda agama sering terjadi. Apalagi di era globalisasi yang semakin modern agama tidak menjadi penghalang bagi seseorang melangsungkan perkawinan.

Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama di Indonesia memang masih menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Dalam peraturan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 8 huruf (f) menjelaskan: “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)  menyatakan dalam pasal 40 huruf (c), “dilarang melangsungkan perkawinan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Walaupun belum pasti dilarangnya perkawinan beda agama di Indonesia akan tetapi pasal tersebut menjadi acuan untuk melangsungkan perkawinan satu agama atau menurut agamanya masing-masing.

Perkawinan beda agama yang telah berlangsung akan menimbulkan berbagai masalah dan dampak terhadap psikologi dan yuridis. Baik bagi suami istri maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Dalam aspek psikologis pasangan beda agama dalam masyarakat disebut sebagai pezina. Karena dianggap tidak sah perkawinannya, latar belakang agama yang berbeda bisa menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga yang telah dijalin pasangan beda agama.

Baca Juga  Mengenal Fajar Shadiq ala Mazhab Hanafi

Psikologi anak juga mulai terganggu  karena orangtua berebut agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Apalagi anak merupakan fase dimana masa pembentukan dan perkembangan kepribadian dimana nilai-nilai agama sangat berperan penting. Tidak akan baik jika permasalahan agama menjadi sumber konflik.

Dampak Yuridis

Selain dampak psikologi karena permasalahan agama menjadi sumber konflik, perkawinan beda agama juga mempunyai dampak yuridis hukum. Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka dampak yang dapat timbul  antara lain:

Keabsahan perkawinan beda agama

Keabsahan perkawinan di atur dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Hal tersebut berarti bahwa sah dan tidaknya perkawinan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.

Masalah yang dihadapi oleh pasangan beda agama adalah agama apa yang dianut oleh pasangan ini untuk melangsungkan perkawinannya. Dan apakah agama mereka memperbolehkan perkawinan beda agama?

Dalam agama Islam melarang perkawinan beda agama hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-baqarah ayat 221 yang berbunyi “ dan janganlah kamu menikahi perempuan musyik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang berimanlebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.

Agama Kristen juga melarang perkawinan beda agama antara orang Kristen dan non-Kristen. Begitupun dengan agama Katolik dan Hindu yang melarang perkawinan beda agama.

Baca Juga  Perspektif Agama Islam Mengenai Ganja

Pencatatan perkawinan beda agama

Permasalahan yang terjadi saat melangsungkan perkawinan beda agama yaitu tentang masalah pencatatan perkawinan. Apabila pasangan  perkawinan beda agama tersebut beragama islam dan non islam maka terjadi permasalahan apakah perkawinannya dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Pencatatan Sipil. Selain itu, tidak semua Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mau mencatat pernikahan pasangan beda agama.

Dalam prakteknya di dalam masyarakat Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa: Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil.

Di Indonesia hanya beberapa kota yang mau mencatatkan perkawinan beda agama, yaitu Kota Yogyakarta, Surabaya, Bali dan Salatiga. Itupun dengan syarat bahwa salah satu pasangan tersebut berdomisili di kota yang mau mencatatkan perkawinan beda agama.

Status anak

Saat perkawinan beda agama tidak bisa dicatatkan maka akan memiliki dampak bagi status anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 42 menyebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Oleh sebab itu tidak dicatatkannya pasangan perkawinan beda agama, maka menurut hukum anak yang lahir  tersebut bukanlah anak yang sah. Hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya.

Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri

Jika  perkawinan beda agama dilakukan di luar negeri, maka butuh  kurun waktu satu tahun setelah pasangan beda agama tersebut kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka yang disebutkan dalam pasal 56 ayat (2) undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatatan di sini bukan dalam konteks keabsahan perkawinan, melainkan hanya sekedar pelaporan administif.

Baca Juga  Usul Fikih sebagai Landasan Berpikir

***

Banyak permasalahan yang dapat ditimbulkan dari perkawinan beda agama. Memang di Indonesia perkawinan beda agama masih tabu dilakukan dalam masyarakat, banyak pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Hal ini karena berdalih lebih mudah dalam pelaksanakan perkawinan dan lebih mudah dalam pencatatan perkawinan.

Editor: Nabhan

Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *