Fikih

Usul Fikih sebagai Landasan Berpikir

3 Mins read

Salah satu kelemahan umat Islam saat ini adalah kecendrungan yang sangat tinggi dalam mempelajari ilmu fikih, namun lupa akan usul fikih/ushul fiqih. Padahal, usul fikih adalah akar dari fikih. Ia terbentuk dari metode istinbath dengan cara menarik hukum melalui ijtihad.

Usul fikih merupakan kerangka berpikir yang selalu digunakan dalam memproduksi ijtihad fikih. Maka aneh rasanya bila kita mampu memproduksi hukum, namun gagap dalam menggunakan alat analisis ketika memproduksi hukum.

Bagi sebagian orang, usul fikih tidaklah menjadi ilmu prioritas. Karena mereka sering kali telah merasa cukup dengan apa yang tersaji dalam karya-karya fikih. Namun, mempelejari usul fikih akan menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak jika telah dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam kitab-kitab fikih.

Oleh karenanya, usul fikih sangat dibutuhkan dalam konteks pembaruan hukum Islam. Tanpanya, ia akan menjadi bumerang yang melahirkan cara berpikir yang rancu dan tidak dilandasi dengan kaidah hukum yang benar.

Usul Fikih, Wahyu dan Akal

Usul fikih sebagai sebuah alat analisis dalam memproduksi hukum, selain berpedoman pada teks wahyu, juga didasarkan pada dalil ‘aqli. Hal ini dilakukan dalam rangka memunculkan kemaslahatan di dalamnya, atau yang biasa dikenal dengan maqashid syariah (tujuan syariat).

Proses pembentukan ushul fikih memadukan antara unsur teks dan konteks, wahyu dan akal. Dalam menggunakan unsur akal (logika), ia bukan hanya sekadar berpikir sebagaimana berpikir pada umumnya. Tetapi, di dalamnya harus melalui proses yang tersistematis sehingga melahirkan sebuah pijakan ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.

Dengan pola interkoneksi antara wahyu dan akal, akan memberikan keseimbangan dalam memutuskan suatu perkara. Di sisi lain memiliki fungsi dalam mengawasi segala aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (3): Apakah Boleh Berdzikir Menggunakan Tasbih?

Dan pada akhirnya bermuara pada satu tujuan utama, yakni memelihara agama Islam dari penyimpangan, ketimpangan, dan kerancuan berpikir ketika dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan aturan hukum secara mengikat. Dengan ini, ilmu usul fikih merupakan bagian penting sebagai sebuah epistemologi hukum dalam perjalanan peradaban Islam.

Keseimbangan Logika

Pemahaman pemikiran dalam memproduksi suatu hukum seringkali mempertanyakan kejelasan dasar argumen yang tertuju pada kebenaran. Walaupun demikian, persoalan ikhtilaf (perbedaan pendapat) tidak dapat dihindarkan. Kekritisan akan selalu dituntut oleh teks, sedang kehati-hatian dituntut oleh logika, sebagaimana logika berpikir manusia yang relatif.

Berpikir yang mendalam dan bertanggung jawab atas argumen yang dikemukakan sesuai alur teks yang kontekstual akan menjamin terbebas dari sanksi negatif sekalipun tidak ada jaminan terlepas dari kekeliruan. Sebab, setiap ijtihad yang benar baginya dua pahala dan yang keliru baginya satu pahala.

Namun, persoalan umat Islam hari ini adalah kecenderungan menafsirkan teks yang timpang. Mereka terjebak pada pemahaman tekstual yang seringkali memahami nas agama hanya terfokus pada yang zahir dan literal, serta cenderung kurang memperhatikan substansi dan hakikat.

Di sisi lain, terdapat model yang meninggalkan teks dan mengandalkan logika. Pemahaman yang biasa dianut oleh kaum sekular dan liberal, yang cenderung memahami dan mengimplementisakan ajaran agama dengan ‘semaunya’. Akhirnya, argumen tidak lagi bersifat objektif, tetapi dilatar belakangi oleh pelbagai kepentingan.

Maka, dalam mengambil suatu hukum hendaknya berdasarkan pada kaidah Laa Ifrath wa Laa Tafrith (tidak meninggalkan secara keseluruhan dan tidak melampaui batas). Tidak meninggalkan wahyu sebagai sumber ajaran, dan menggunakan akal tetapi tidak melampaui batas. Bersikap di antara keduanya inilah yang disebut sikap moderat.

Baca Juga  Mengamalkan Sunnah yang Bukan Cuma Ngutip Dalil Lalu di-Share

Otoritas agama yang dibingkai melalui wahyu idealnya dipasangkan dengan penafsiran nalar objektif dalam menyikapi perkembangan zaman yang semakin kompleks. Sikap seperti ini penting untuk selalu dijunjung sebagai bahan aktualisasi diri dalam menghadapi persoalan hukum yang terus muncul.

Oleh karena itu, integrasi antara teks wahyu dengan nalar logika menjadi sangat menarik dimaknai secara teologis untuk memunculkan produk-produk hukum baru yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Maqashid Syari’ah

Pada akhirnya, proses pertautan antara teks wahyu sebagai sumber ajaran agama Islam dan nalar ijtihad sebagai instrumen penyimpulan hukum tidak akan bisa menafikan maqashid syari’ah (tujuan syariat).

Korelasi antara wahyu, logika, dan tujuan syariat dalam proses istinbath ahkam (menarik hukum) penting untuk selalu ditautkan agar produk hukum yang dihasilkan tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yang mendatangkan kemaslahatan dan menangkal kerusakan.

Maqashid syari’ah akan terus menjadi dalil pada setiap dalil naqli dan ‘aqli yang bekerja mengaktivasi dan mengefektifkan setiap ketentuan hukum. Penghayatan dan internalisasi maqashid syari’ah pada setiap pembentukan hukum harus terus selalu dilakukan, sebab kondisi yang terus mengitari aktivitas penarikan hukum akan senantiasa mengalami pergeseran konteks dalam setiap ruang dan waktu.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Ekonomi Syariah UIN SUKA. Kader IMM DIY.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *