“Otak yang dibiarkan menganggur akan rusak”
(Ahmad Syafii Maarif)
Kira-kira begitulah kalimat yang dikutip oleh Riki Dhamparan Putra dari Buya Syafii dalam essainya yang berjudul “Otak Mengganggur di Zaman Remeh Temeh” dan kemudian menjadi bagian himpunan essai yang termaktub dalam bukunya, “Berdiang di Perapian Buya Syafii”.
Ringkasnya, essai itu menerangkan bagaimana masyarakat modern sedang dilanda penyakit demagog, baik sedari pikiran maupun tindakan. Demagog yang dimaksud adalah kebiasaan mempersoalkan hal remeh temeh sehingga melupakan hal yang lebih substantif (Dhamparan: 2021).
Demagog Agama; Sebuah Tabiat Buruk
Demagog yang melanda masyarakat modern hampir masuk ke dalam semua lini kehidupan, tak terkecuali agama. Masyarakat modern seperti kehilangan tata cara untuk melakukan pemberdayaan otak sehingga tidak mampu untuk menerjemahkan agama ke dalam konteks problematika sosial masyarakat secara substantif. Agama hanya mendapat ruangnya jika yang dipermasalahkan adalah sentimental egoistik belaka.
Sekiranya oversympatic dan tabiat reaksioner masyarakat modern bisa disaring, tentu aktivitas ‘remeh temeh’ dalam beragama akan sedikit berkurang. Sehingga, yang dikedapankan dalam prinsip beragama bukanlah sifat demagog yang tempramental dan tak substansial.
Bukan berarti apatis atau meninggalkan hal-hal kecil dalam beragama. Namun, untuk membangun konstruk sosial agama masyarakat yang lebih baik, kita perlu meruntuhkan budaya ‘remeh temeh’ dan menembus batas realitas status quo corak beragama itu sendiri.
Mistifikasi dan Simplikasi Fungsi Agama
Berkembangnya filsafat rasionalisme dan juga positivistik pada awal abad ke 19 telah banyak memberikan dampak signifikan dalam kehidupan masyarakat modern. Dampak perkembangan dinamika intelektualisme Barat terhadap agama hari ini dapat kita lihat dengan jelas melalui sikap anarkis beragama masyarakat modern. Di samping itu, produk intelektual sekuler sangat jalas mengantarkan kita pada mistifikasi agama yang tidak dapat terbendung.
Dalam buku Islam Sebagai Ilmu (Kuntowijoyo: 2006) dijelaskan bahwa mistifikasi agama adalah sebuah proses di mana agama tidak lagi dapat menyentuh kenyataan realitas sekitar atau lingkungan secara aktual.
Artinya, “teks” agama tidak mampu dihadirkan dalam tatanan refleksi untuk melihat perkembangan dan dinamika sekitar. Keberadaan “teks” agama tidak ubahnya seperti ukiran prasasti dalam museum yang hanya bisa dibaca tanpa sedikitpun dapat untuk menyentuhnya, apalagi mencoba untuk menghayati dan mengeluarkan intisari “teks” agama tersebut.
Persoalannya adalah, ketika agama mengalami mistifikasi dan “teks” agama dibiarkan begitu saja. Maka, agama tidak mampu untuk menjawab permasalahan di sekitar. Agama hanya akan menjadi objek pengkultusan masayarakat modern dengan penuh kejumudan tanpa adanya ijtihad sebagai bentuk pemberdayaan anugerah Tuhan Yang Maha Esa (Akal). Dan kemudian, inilah yang kita sebut dengan simplikasi fungsi agama.
Barangkali, inilah persoalan agama masyarakat modern hari ini. Sikap demagog yang hanya ‘ribut’ jika mempermasalahkan hal remeh temeh dalam beragama. Dari sisi lain, kita perlu melihat bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan plural.
Sehingga, persoalan ‘agama’ adalah ‘barang panas’ yang bisa saja suatu hari nanti meledak dan memicu keributan. Bahkan dalam dampak paling ekstremnya, masyarakat Indonesia tidak akan segan-segan untuk saling membunuh jika mempersoalkan agama.
Di sinilah urgensinya meninggalkan hal remeh temeh itu, menjaga harmoni keberagaman Indonesia dan juga membangun tabiat beragama yang lebih substansial (rahmatan lil alamin).
Sekarang, timbul persoalan bagaimana untuk membangun tabiat beragama yang lebih substansial. Agar agama tetap menjadi titik balik dalam melihat persoalan masyarakat modern yang kompleks. Persoalan dehumanisasi, eksploitasi, kapitalisasi, kriminalisasi, represi, politik oligarki, kemiskinan, dan lain sebagainya tidak akan dapat terselaikan jika kita masih sibuk dengan persoalan remeh temeh.
Mungkin beberapa catatan dibawah ini mampu untuk menjawab pertanyaan diatas:
Renovasi Pondasi Intelektual
Kita sudah melihat peran penting dari intelektualitas dalam membangun peradaban. Kemajuan peradaban umat manusia di Timur maupun Barat tidak pernah lepas dari upaya-upaya pemberdayaan akal.
Sebutlah pada zaman dinasti-dinasti pasca sahabat Rasulullah di Timur sana, bagaimana bangunan intelektualitas itu mampu menyebarluaskan islam keseantero dunia sehingga islam menjadi agama yang datang tanpa pilih kasih bagi umat manusia.
Menebar nilai-nilai luhur ketauhidan dalam sanubari umat, menjadi suluh dalam gulita, dan tentunya mengantarkan umat manusia pada masa kejayaannya.
Begitupun di Barat, zaman yang sering kita sebut dengan zaman pencerahan. Upaya-upaya kongkrit yang berhasil mengantarkan umat manusia dari kepatuhan mitos menuju kesadaran logos. Membawa umat manusia yang primitif menjadi manusia yang super maju dengan segala bentuk rasionalitasnya. Meskipun dalam beberapa fragmen tertentu intelektualitas yang dibawa tidak emansipatoris bagi beberapa kalangan umat manusia. Barat dan Timur bukanlah sebuah maksud dikotomi peradaban umat manusia.
Namun, adalah upaya sederhana dalam melihat bagaimana peran penting intelektualitas dalam membangun beradaban. Karena sejatinya, Barat dan Timur memiliki irisan tertentu dalam membangun dinamika kemajuan masyarakat modern.
Pada kurun waktu belakang ini, semangat intelektualitas itulah yang kurang zahir wujudnya dalam membangun peradaban. Terkhusus bagi kalangan intelektual yang kita sebut sebagai akademisi.
***
Banyak dari mereka yang hanya memiliki kecenderungan banalitas intelektual. Agenda-agenda para akademisi terbatas hanya pada agenda-agenda pragmatis yang termanifesto dalam tindakan rasio-instrumental. Gelar, jabatan, afirmasi publik, dan tidak sedikit yang ‘menjilat’ dengan gelar intelektualnya itu.
M. Abdul Halim Sani (2017) dalam Manifesto Gerakan Intelektual Profetik menyebutkan bahwa seorang cendekiawan (intelektual) merupakan penafsir realitas yang selalu melakukan agenda transformasi terhadap tradisi yang ada dalam rangka menciptakan keadilan dengan karakter sebagai ‘juru bicara’ bagi masa depan.
Maka inilah yang perlu untuk direnovasi dalam rangka membangun peradaban sebagai upaya menafsir problematika masyarakat modern yang kemudian diejawantahkan dalam agenda transformasi sosial.
Pondasi intelektual masyarakat modern hari ini sepertinya sudah rusak. Kerusakan itu sangat jelas terlihat dengan merosotnya moralitas umat beragama masa kini. Pembelengguan akal fikiran dan sikap yang terlalu memanjakan otak yang menjadi keteledoran umat manusia hari ini.
Akibatnya, umat manusia tidak punya agenda besar dalam hidupnya untuk menyumbangkan fikiran-fikiran kemanusiaan selain hanya beranak-pinak (Dhamparan: 2021).
Ilmu-Ilmu Integralistik
Belajar dari masa lalu, di mana ilmu pengetahuan mendapatkan ‘kursi’ nyaman dalam gerbong kemajuan yang gemilang. Namun, pada akhirnya berbuah sekularisasi total yang secara jelas menegasikan peran agama dalam membangun peradaban.
Kita perlu untuk membangun pondasi intelektual yang lebih objektif dan juga emansipatoris berdasarkan epistemologi komprehensif (akal dan wahyu). Melalui integralisasi ‘teks’ agama dan juga rasionalitas umat manusia, agama akan mampu menyentuh bagian fundamental peradaban, yaitu humaniora.
Ilmu integralistik adalah ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan pikiran manusia tanpa satupun dari keduanya yang dikucilkan (Kuntowijoyo: 2006). Harapannya, ilmu integralistik dapat membendung arus modernitas melalui penyadaran beragama umat islam. Ilmu integralistik akan menyibak mistifikasi agama. Agama akan lebih leluasa berbicara perihal kemanusiaan dari segi substantifnya, melakukan agenda transformasi sosial, dan membangun peradaban melalui agenda-agenda objektifikasi.