Beberapa hari ini di media sosial berseliweran larangan untuk mengadakan kerumunan massa. Bahkan, di beberapa kampus sudah memutuskan untuk menyelenggarakan kuliah daring (online). Acara wisuda di beberapa kampus telah dibatalkan. Bahkan di Italia, perhelatan liga dihentikan. Semua itu terjadi karena wabah Covid-19 sedang merajalela.
Setelah jatuh korban akibat corona, sekolah-sekolah di Solo-Raya juga diliburkan selama dua pekan. Walikota Solo langsung menetapkan KLB dan membentuk pasukan untuk menanggulangi bencana ini. Bahkan, acara penulis di Jakarta terkait Asesor Penulis dan Editor Profesional harus ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.
Dari himbauan-himbauan tersebut, yang nyaris tidak tersentuh adalah masjid. Bangunan ibadah umat Islam ini seolah imun dari bahaya Corona. Padahal, masjid kerap menyelenggarakan kerumunan massa, termasuk salah satunya adalah shalat rawatib, shalat Jum’at, dan tidak lama lagi shalat tarawih. Pertanyaannya adalah, apakah dalam kondisi seperti ini, shalat berjamaah, shalat Jum’at, tarawih, masih harus dilakukan?
Perintah Larangan Shalat di Masjid
Perintah shalat berjamaah di masjid lebih populer ketimbang larangan shalat berjamaah di masjid. Hal ini diperkuat dengan hadits ganjaran orang yang shalat berjamaah di masjid mendapatkan pahala 27 derajat. Bahkan, sangking utamanya shalat berjamaah di masjid, Rasulullah mengancam akan membakar rumah orang mendengar adzan tetapi tidak mau berangkat ke masjid.
Namun, ternyata selain perintah shalat berjamaah di masjid, juga ada perintah untuk shalat di rumah. Cuma sayangnya, perintah ini hampir tidak pernah dipraktikkan di Indonesia yang memiliki iklim tropis. Hal ini tentu sangat berbeda dengan Timur Tengah, yang iklimnya ekstrim. Jika panas, terasa panas sekali. Jika dingin, akan terasa dingin sekali.
Larangan shalat di masjid sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Hal itu terjadi ketika kondisi alam tidak bersahabat. Pada saat kondisi yang sangat dingin dan hujan badai, iklim ekstrim ternyata dapat memengaruhi perubahan syariat. Dalam kondisi seperti itu, muazin meneriakkan shallu fii buyuutikum, yang artinya “shalatlah di rumahmu masing-masing.” Dalam riwayat yang lain dijelaskan muazin mengumandangkan shallu fii rihalikum, yang artinya “shalatlah di kediamanmu masing-masing.”
Dalam kondisi tidak aman, perempuan-perempuan muslim juga dilarang shalat berjamaah di masjid. Karena kondisi seperti itulah, muncul hadits yang melarang perempuan shalat di masjid. Ada juga hadits yang menjelaskan bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang shalat di rumah. Namun, setelah Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah), ketika keamanan lebih kondusif, perintah itu dikendorkan. Perempuan-perempuan muslim kemudian diperbolehkan shalat berjamaah di masjid. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits, “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”
Dari beberapa peristiwa di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa larangan-larangan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan jiwa manusia. Jangan sampai, ibadah (amr) yang dilakukan justru menyebabkan kerusakan, penderitaan, bahkan kematian (hifdzun an-nafs). Dalam bahasa lainnya sesungguhnya ibadah itu dilakukan untuk kebaikan manusia (maslahah).
Dari kejadian tersebut juga memuat sebuah konsep syariah, bahwa kemaslahatan harus diutamakan daripada perintah (amr) yang mengandung resiko. Lagi pula ketika meninggalkan shalat berjamaah, seperti dalam kasus di atas, tidak menggugurkan kewajiban ibadah (shalat). Shalat tetap harus dilakukan, meskipun harus di rumah. Di rumah pun shalat juga dapat dilakukan berjamaah bersama keluarga.
Gara-gara Corona
Pada kondisi wabah corona seperti sekarang apakah masih harus shalat berjamaah dan shalat Jum’at, dan shalat tarawih di masjid?
Penulis bukanlah mufti agama yang punya wewenang memberikan fatwa hukum. Penulis cuma berharap para pengurus masjid (takmir) merespons kondisi ini dengan cepat. Sebab, masjid termasuk tempat yang berpotensi menjadi media penyebaran virus Corona.
Apalagi tidak semua jamaah paham tentang kesehatan. Meskipun batuk, demam, terkadang ada saja jamaah yang nekat datang ke masjid. Entah motivasinya apa, yang jelas, hal tersebut mengganggu kekhusyukan dan membahayakan jamaah lainnya.
Jika masjid merupakan tempat menegakkan sunnah, salah satunya shalat berjamaah, mengapa tidak? Sunnah untuk meninggalkan shalat berjamaah sekali-sekali juga perlu diterapkan. Sehingga jamaah menjadi paham, bahwa selain sunnah shalat berjamaah juga ada sunnah meninggalkan shalat berjamaah. Toh, alasan rasional yang mensyaratkan qiyas (analogi) terhadap peristiwa di atas sudah terpenuhi.
Tulisan ini hanya berkepentingan menaruh harapan pada pihak-pihak yang berwenang untuk segera membuat sebuah fatwa terkait masalah yang penulis ajukan. Terlepas dari ormas apapun, Muhammadiyah, NU, kelompok Salafi, atau yang lainnya, wabah ini perlu disikapi secara bijak.
Sebab, ternyata virus Corona tidak pandang bulu dan tidak mengenal klasifikasi. Mulai dari yang kaya dan miskin, pejabat atau rakyat jelata, baik Muhammadiyah, NU, kelompok Salafi, semua dapat terinfeksi. Penyebaran virus ini juga tidak melihat GPS, bisa terjadi di mana saja, di masjid, gereja, pasar, stasiun, dan sekolah.
Pokoknya, di mana ada kerumunan massa, di situlah penyebaran akan terjadi. Apalagi menurut prediksi para ahli (medis), puncak penyebaran virus ini terjadi pada saat Ramadhan. Padahal, Bulan Ramadhan penuh sekali dengan aktivitas yang berbau kerumunan. Mulai dari tarawih, buka bersama, i’tikaf, dan sebagainya. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Wallahu’alam.