Falsafah

Kecerdasan Ma’rifat Berbeda dengan Spiritual Quotient

4 Mins read

Sebelum Danah Zohar dan Ian Marshall menemukan teori spiritual quotient (kecerdasan spiritual), keberhasilan seseorang diukur dengan standar intelligence quotient (kecerdasan inteligensi) dan emotional quotient (kecerdasan emosi) (Sri Haryono, “Konsep Spiritual Intelligence Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai Pencegahan Stres,” Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 2004.Lihat www.library.walisongo.ac.id/diglib/gdl).

Setelah diketahui ternyata teori spiritual quotient, khususnya tentang god spot (titik tuhan), tidak berkaitan sama sekali dengan agama tertentu, para pakar pendidikan Islam mulai mencari teori alternatif untuk mengukur keberhasilan seorang muslim berdasarkan teori-teori keilmuan kontemporer yang sejalan dengan sumber ajaran Islam.

Teori spiritual quotient lahir dari sistem filsafat Barat yang cenderung antroposentris, di samping corak empiris. Kecerdasan spiritual lahir dari penelitian tentang aktivitas otak manusia yang ditemukan adanya “isolasi 40 HzA” di daerah lobus temporal. Pasinger dan Ramacadran menyebutnya “god spot” (titik tuhan). De Leux menyebutnya sebagai “alam bawah sadar.” Adapun Coper menyebutnya sebagai “suara hati.”

Terlepas dari perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebut kawasan “isolasi HzA” di lobus temporal dalam otak manusia, sesungguhnya teori kecerdasan spiritual murni hasil penelitian ilmiah dengan paradigma empiris. Dengan demikian, teori spiritual quotient tidak berkaitan langsung dengan agama tertentu.

Perbedaan latar belakang sistem filsafat antara Barat dan Timur telah melahirkan corak keilmuan yang berbeda pula. Jika sistem filsafat Barat yang cenderung empiris telah melahirkan ilmu-ilmu sekuler, maka sistem filsafat Timur yang cenderung transendental telah melahirkan ilmu-ilmu religius. Setelah teori intelligence quotient dan emotional quotient sudah tidak representatif lagi untuk mengukur keberhasilan seseorang berdasarkan prinsip-prinsip agama Islam, maka para pemikir muslim mulai mencari formula “kecerdasan baru” dalam konteks pendidikan Islam. Gagasan “kecerdasan ma’rifat” dari Abdul Munir Mulkhan (2004), misalnya, merupakan salah satu alternatif untuk mengisi kekosongan dalam teori-teori pendidikan Islam mutakhir.

Baca Juga  Immanuel Kant (1): Penentang Rasionalisme & Empirisisme

Istilah kecerdasan ma’rifat sebenarnya lebih representatif untuk mewakili cara pandang bangsa Timur yang religius. Dalam memahami hakekat kehidupan, bangsa Timur—termasuk umat Islam—memiliki pandangan dualistik: “duniawi” dan “ukhrawi.” Dalam pandangan umat Islam, kehidupan tidak semata-mata sebagai pengalaman empiris yang sekuler, tetapi memiliki orientasi pada dimensi ukhrawi. Dari cara pandang dualistik inilah, para pemikir muslim merumuskan konsep pendidikan Islam yang dualistik. Tujuan pendidikan bukan semata-mata untuk meraih keberhasilan hidup di dunia yang sekuler, tetapi juga sekaligus meraih kebahagiaan di akhirat.

Kecerdasan ma’rifat dalam konteks pendidikan Islam membutuhkan formulasi baru dengan cara membongkar hakekat pendidikan, formula kurikulum, dan implementasi nilai-nilai pendidikan dalam masyarakat. Tinjauan filosofis dari aspek ontologis, epistemologi, dan aksiologi dibutuhkan dalam rangka reformulasi konsep pendidikan Islam berbasis kesadaran ma’rifat. 

Berbeda dengan sistem peradaban Barat yang sekuler, umat Islam memahami hakekat dunia dalam dimensi ganda: materi dan non materi/duniawi dan ukhrawi. Umat Islam memandang kehidupan dunia tidak semata-mata berdasarkan pengalaman empiris-rasional. Ajaran Islam mengenal hal-hal di luar pengalaman empiris dan rasionalitas manusia, seperti adanya ruh, malaikat, surga, neraka, kenabian, dan lain-lain. Persoalan-persoalan ini di luar jangkauan akal dan pengalaman empiris manusia. Hal-hal yang berada di luar jangkauan pengalaman empiris dan rasionalitas manusia membentuk struktur di luar pengalaman empiris yang disebut “struktur transendental—meminjam istilah Kuntowijoyo (M. Fahmi, 2004).  

Cara pandang umat Islam dalam memahami hakekat kehidupan dunia yang dualistik melahirkan konsep dualitas pendidikan. M. Naquib al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai “pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian” (Mahmud, 2011). Menurut Al-Baghdadi, pendidikan Islam bertujuan untuk kebaikan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat (li sa’adati al-darain). Dari rumusan definisi pendidikan dan tujuan pendidikan tersebut sudah jelas mengisyaratkan makna dualitas dalam pendidikan Islam.

Baca Juga  Ketika Henry Corbin Mengkritik Gagasan John Wansbrough

Secara ontologis, pandangan umat Islam terhadap realitas kehidupan yang dualistik berimplikasi pada konstruksi epistemologi Islam. Agama Islam bersumber pada wahyu (Al-Quran) yang menjadi sumber dan inspirasi kehidupan umat Islam. Dalam praktek kehidupan di dunia, ilmu-ilmu agama bertemu dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari pengalaman empiris dan rasionalitas manusia. Akibatnya, sistem keilmuan dalam Islam terbagi menjadi dua: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum/non agama.

Cara pandang umat Islam tentang kehidupan dunia yang dualistik berimplikasi pada sistem kurikulum dalam pendidikan Islam. “Dualisme” kurikulum (ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum) dalam pendidikan Islam semakin sulit bertemu ketika Al-Ghazali memetakan keilmuan dalam Islam menjadi dua kategori: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Kategori fardhu ‘ain untuk ilmu-ilmu agama dengan pengertian bahwa setiap individu muslim wajib menguasai ilmu-ilmu agama yang akan dipraktekkan dalam kehidupan beragam. Adapun kategori fardhu kifayah untuk ilmu-ilmu umum dengan pengertian bahwa seluruh umat Islam wajib menguasai ilmu-ilmu umum, tetapi kewajiban mereka dapat gugur ketika terdapat satu orang yang sudah menguasai kategori ilmu ini.

Kategorisasi ilmu pengetahuan yang diberikan Al-Ghazali telah menjebak umat Islam. Pada kenyataannya, umat Islam lebih mengabaikan kewajiban menuntut ilmu-ilmu umum dengan anggapan jika sudah terdapat satu orang saja yang sudah menuntut ilmu ini berarti sudah gugur kewajiban seluruh umat Islam. Akibatnya, mayoritas umat Islam terjebak pada pola kehidupan zuhud yang lebih mengutamakan ukhrawi daripada duniawi. Di sinilah letak kekeliruan mayoritas umat Islam dalam menangkap pemikiran Al-Ghazali.

Tidak hanya Al-Ghazali yang merumuskan dualitas kurikulum dalam pendidikan Islam, tetapi Ibnu Taimiyyah juga menawarkan ketegorisasi ilmu menjadi dua: ilmu-ilmu diniyyah (al-kalimaat ad-diniyyah) dan ilmu-ilmu kauniyyah (al-kalimaat al-kauniyyah) (Majid ‘Arsan Al-Kailaniy, 1986). Menurut Ibnu Taimiyyah, Allah SWT menerapkan ilmu-ilmu diniyyah agar manusia dapat belajar dan mengambil pelajaran dari kehendak-Nya. Adapun ilmu-ilmu kauniyyah bertujuan untuk memelihara ketaatan makhluk (manusia) kepada Allah SWT dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca Juga  Auguste Comte: Konflik atas Nama Agama, Bukti Masyarakatnya Mogok

Dengan memahami kategorisasi ilmu menurut Ibnu Taimiyyah, sebenarnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama saling berkaitan. Kategorisasi ilmu menjadi ilmu-ilmu diniyyah dan ilmu-ilmu kauniyyah tidak menciptakan pola dikotomi keilmuan (fardlu ‘ain dan fardlu kifayah) sebagaimana yang terjadi dalam dunia Islam pasca iman Al-Ghazali.

Dari sudut pandang ontologis dan epistemologis, dualitas pendidikan Islam memang tidak dapat dimungkiri. Kenyataan ini berimplikasi pada aksiologis ketika nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada pencapaian duniawi, tetapi juga sekaligus memenuhi kebutuhan ukhrawi.

Aksiologi pendidikan dalam aliran Progresivisme menjadi bagian integral dari nilai-nilai dalam masyarakat. Menurut George F. Kneller, nilai-nilai itu berada dalam segala aspek pendidikan. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan terkait dalam berbagai aspek praktek sosial (George F. Kneller, 1964).

Dalam konteks pendidikan Islam, nilai-nilai tersebut tidak hanya diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga dipertanggungjawabkan secara vertikal. Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk mengimplementasikan ilmu pengetahuannya dalam kehidupan sosial, tetapi juga harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah SWT pada hari Hari Kiamat.

Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, ilmu pengetahuan manusia berasal dari Allah SWT dan ia harus bertanggung jawab di hadapan Tuhannya kelak. Al-Attas juga berpendapat bahwa setiap hamba memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT (Wan Mohd. Wan Daud, 2003). Dengan demikian, aksiologi pendidikan Islam tidak hanya berupa pencapaian kebaikan hidup di dunia, tetapi juga untuk kemaslahatan di kehidupan akhir nanti.

Editor: Yahya

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *