Falsafah

Immanuel Kant (1): Penentang Rasionalisme & Empirisisme

3 Mins read

Kant (1724-1804), demikian panggilan akrab Immanuel Kant, merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam pemikiran Filsafat Barat. Ia banyak meninggalkan jejak-jejak bagi perkembangan pemikiran dunia filsafat selanjutnya.

Dilahirkan di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur, Kant menghabiskan masa hidupnya di kota kelahirannya ini. Ketika berumur 16 tahun, Kant memasuki Universitas Konigsberg; yang setelah lulus lalu menjadi guru privat di beberapa keluarga kaya.

Tahun 1755, ia kembali ke universitas menjadi dosen di Konigsberg, dan baru lima belas tahun kemudian diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika. Pada tahun 1976, ia berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua. Pada 1798 kesehatannya mulai menurun, terakhir pada 1804 meninggal dalam keadaan pikun (Baca: Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam).

Untuk memahami dan mendalami pemikiran Kant adalah penting untuk menangkap suasana intelektual pemikiran filosofis yang berkembang pada masa Kant hidup. Karyanya mengenai teori pengetahuan dihasilkan pada waktu ada ketegangan antara pendekatan kontinental, yang menekankan pemikiran rasional, dan aliran Inggris, yang menekankan pengalaman inderawi sebagai dasar pengetahuan.

Rasionalisme & Empirisisme: 2 Kutub Ekstrem

Menurut Kant, rasionalisme dan empirisisme terlampau ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan manusia. Kant menyatakan bahwa proses transformasi dari impresi-impresi (sense-data) menjadi pengetahuan lewat suatu proses yang sifatnya mental.

Itu berarti proses terjadinya pengetahuan juga melibatkan konstruksi subyek manusia melalui kategori-kategori di benaknya. Manusia memiliki kategori-kategori apriori yang berfungsi menata kesan-kesan inderawi yang datang dari realita eksternal.

Kant menentang kedua posisi ekstrem tersebut. Bahwa semua pengetahuan muncul dari pengalaman, dan bahwa ada pengetahuan yang terlepas sama sekali dari pengalaman.

Sebaliknya, dia yakin bahwa semua pengetahuan berhubungan dengan pengalaman, tetapi tidak dapat direduksikan kepada apa yang kita alami. Kant kemudian mengambil jalan tengah antara empirisisme dan rasionalisme. Ia menyebutnya idealisme transendental.

Baca Juga  Benarkah Ada Krisis di Dunia Islam?

Idealisme Transendental

Kant melukiskan idealisme transendental sebagai keyakinan bahwa, kita mempunyai pengetahuan hanya mengenai penampilan dan bukan mengenai benda sebagaimana adanya. Kant tidak selalu jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ini.

Kadang-kadang, ia menulis seolah-olah penampilan adalah penampilan diri suatu macam kenyataan yang tersembunyi dari kita. Di mana-mana, ia menulis seolah-olah penampilan merupakan entitas bebas yang kita amati dan temukan.

Penampilan dapat diketahui melalui pengalaman, tetapi bendanya sendiri tidak dapat diketahui sama sekali. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang dapat diketahui pikiran tanpa kita mengalaminya.

Kritisisme Kant di atas dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisisme. Rasionalisme mementingkan unsur a priori dalam pengenalan, yang lepas dari pengalaman.

Sedang empirisisme menekankan unsur-unsur aposteriori, yang lekat dengan pengalaman; seperti Locke yang menganggap rasio sebagai lembaran putih (tabularasa) as a white paper.

Antara Rasionalisme dan Empirisisme

Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa, pengenalan manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur aposteriori. Unsur a priori memainkan peranan bentuk, dan unsur aposteriori memainkan peranan materi.

Unsur a priori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan inderawi, selalu ada dua bentu a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan ruang dalam dirinya (ruang an sich).

Pendirian tentang pengalaman inderawi ini memiliki implikasi yang penting. Kant berkata: memang ada “das Ding an Sich” (benda dalam dirinya; the thing in itself). Tetapi “das Ding an Sich” selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal. Kita hanya mengenal gejala-gejala (Erschenungen) yang merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar bentuk ruang dan waktu.

Baca Juga  Makna Filsafat itu Tak Hanya "Cinta Kebijaksanaan"

Secara ringkas, teori Kant dapat dijelaskan: pertama objek empiris adalah nyata; kedua kita tidak dapat menangkap objek transendental karena objek itu tidak termasuk dunia yang beruang, berwaktu, dan berkualitas; ketiga objek-objek empiris adalah objek mana pun yang ditemukan atau dinyatakan melalui pengalaman.

Hirarki Pengetahuan Mansuai

Lebih jauh, menurut Kant, ada hirarki dalam proses pengetahuan manusia. Tingkat pertama, dan terendah adalah pencerapan indrawi (sinneswahrnemung); lalu berikutnya, tingkat akal budi (verstand); dan tingkat tertinggi dalam proses pengetahuan adalah tingkat budi atau intelek (vernuft).

Dengan teorinya ini, sebenarnya Kant bermaksud menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengetahui dunia dalam dirinya sendiri, yaitu dunia yang dimengerti lepas dari cara ia tampak pada kita.

Meskipun Kant berpendapat bahwa noumena tidak dapat kita capai, karena akibat-akibat adanya ruang dan waktu, ia tidak menyisihkan kemungkinan bahwa indera kita de facto dapat mempunyai gambaran kenyataan secara tepat. Bagi Kant, fenomena adalah benda sebagaimana kita alami, noumena adalah benda dalam dirinya sendiri, terlepas dari cara mereka dialami.

Filsafat Kritis

Kaitannya dengan pengetahuan, Kant juga mencanangkan apa yang disebutnya filsafat kritis. Dalam hal ini dibahas secara mendalam suatu analisis tentang epistemologi, suatu studi menyangkut dasar yang menjadi tempat berdirinya ilmu pengetahuan.

Menurut Kant, kita menetapkan putusan-putusan tertentu yang tidak tergantung pada semua pengetahuan. Putusan-putusan ini digolongkannya sebagai “a priori sintetis”.

Kata sintetis dimaksudkannya dalam hal ini berarti tidak analitis, dan pengetahuan yang terdapat di dalamnya pun tidak disiratkan dalam konsep yang orisinil. Umpamanya, batu itu keras adalah sebuah pernyataan analitis karena konsep keras itu inheren dalam konsep batu. Sedangkan pernyataan batu itu bercahaya merupakan putusan sintetis.

Baca Juga  Immanuel Kant: Cara Menciptakan Perdamaian Hidup

Kebenaran pernyataan a priori sintetis tentunya tidak bisa disangkal, dan bisa diterima secara universal. Dengan kata, pernyataan sintetis, seringkali memiliki kekuatan dan daya yang sama dengan suatu pernyataan analitik. Dan ini juga bagi Kant harus bisa diterapkan dalam pengalaman, meskipun pernyataan-pernyataan tersebut mendahului pengalaman.

Editor: Yahya FR

Salman Akif Faylasuf
51 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *