Perspektif

Benarkah Ada Krisis di Dunia Islam?

6 Mins read

Pendahuluan

Suatu hari tentara istana menjemput Ibn Sina dari rumah sakit tempatnya bekerja. Saat itu Ibn Sina masih seorang remaja. Istana memintanya menghadap sang raja untuk mengobatinya (Fattahi, 2009).

Tiba di istana Ibn Sina mendapat sambutan tidak hangat. Dokter-dokter istana memandangnya sebelah mata. “Kita saja tidak bisa menyembuhkan raja, apalagi ini bocah (Fattahi, 2009).”

Tak peduli dengan itu semua, Ibn Sina memulai aksinya. Ternyata raja telah salah didiagnosa oleh dokter istana. Ibn sina punya diagnosa sendiri. Diagnosa Ibn Sina tepat dan raja mulai membuka matanya. Setelah sadar sepenuhnya, raja mengangkat bocah ini menjadi dokter istana (Fattahi, 2009).

Seperti dokter-dokter istana yang sok tahu dalam kisah tadi, banyak tokoh dan pendakwah umat Islam yang mendiagnosa bahwa dunia Islam sedang mengalami sakit dan krisis. Kata mereka, krisis ini mengancam iman kita. Mereka lalu menuduh konspirasi orang-orang kafir dan sekularisme sebagai virusnya (baca Al-Attas, 1981; Nasr, 1986; Allawi, 2009).

Benarkah Islam Mengalami Krisis?

Jika benar kita sedang mengalami krisis, maka musibah apa yang terjadi di negara-negara tersebut yang merupakan tanda sebuah krisis?

Dunia Islam hari ini adalah semua negara yang punya kenangan masa lalu dan sejarah yang panjang dengan Islam; atau semua negara yang mayoritas penduduknya – atau sebagian besarnya –  adalah pemeluk Islam.

Di sebagian besar negara-negara itu tidak ada diktator maniak yang membunuhi rakyatnya, tidak ada kemiskinan ekstrem yang membuat orang mati karena kelaparan, tidak ada sekolah yang ditutup untuk perempuan, tidak ada anak bayi yang tak kebagian imunisasi, tidak ada rumah sakit yang dilarang buka, tidak ada internet yang tidak masuk, dan tidak ada pasar dan perusahaan yang tidak boleh berdagang (baca Rosling, 2018; Pinker, 2018).

Seperti di seluruh negara maju dan berkembangan, dunia Islam turut menikmati berkah modernisme, liberalisme, dan sekularisme, yang telah menjadi narasi utama dunia selama dua ratus tahun terakhir (baca Harari, 2018, 2020; Diamond, 2021).

Dengan sains modern manusia terus menciptakan obat-obatan dan mempermudah penyakit untuk disembuhkan (Harari, 2020). Begitu pula dengannya manusia terus menciptakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan dan industri (Isaacson, 2015).

Dengan liberalisme, politik dan ekonomi berhak dinikmati dan dimasuki oleh siapa saja. Dengan begitu, liberalisme mempertegas ajaran kesetaraan umat manusia dan demokrasi. Kemajuan di bidang politik dan ekonomi menjadi cita-cita yang bisa dianut semua orang, tidak lagi hanya menjadi hak istimewa segolongan orang (Harari, 2020).

Dengan menerima sekularisme, umat manusia berani berpikir secara mandiri untuk mencari kebenaran, bebas untuk mengambil pelajaran dan kebijaksanaan dari agama dan budaya mana pun asalkan mengandung kebenaran, dan berani untuk mengakui bahwa urusan agama dan urusan dunia punya domain yang berbeda (Harari, 2018).

Baca Juga  Dua Tipikal Manusia dalam Menghadapi Masalah

Fakta-fakta yang tersaji seperti di atas ternyata tak cukup mampu membuat semua orang sadar akan berkah modernitas dan sekularisme.

***

Dengan membaca buku-buku Naquib al-Attas (1981, 2001), Hossein Nasr (1986), atau Sayyid Qutb (Shepard, 1996) (nama-nama besar dengan banyak sekali penggemar) siapa pun bisa segera mengetahui betapa kuatnya mereka itu yakin bahwa Islam punya pandangan-dunia yang sangat sakral, yang kesuciannya harus dijaga – terutama dijaga dari virus sekularisme.

Seperti Hans Rosling (2018), kita bisa mengajukan satu pertanyaan retoris mengenai cara pandang terhadap dunia yang kelewat dramatis dan berlebihan tersebut: Entah sampai kapan cara pandang yang sudah kuno seperti itu akan terus dianut oleh banyak sekali orang di muka bumi?

Dunia tidak seperti yang mereka bayangkan. Tidak ada musuh yang mengincar Islam. Dunia ini tidak terbagi menjadi pasukan Tuhan melawan pasukan setan (baca Kimball, 2013; Armstrong, 2013).

Dunia, secara normal dan wajar, sedang berjalan dengan tujuan utama memperbesar manfaat bagi sebanyak mungkin orang (Harari, 2018).

Dengan berlandaskan pada optimisme dan cita-cita tersebut terus berlahiran manusia-manusia inventor dan innovator sepanjang sejarah (Isaacson, 2015). Optimisme terhadap manfaat sains dan teknologi serta cita-cita menciptakan kemajuan telah menjadi landasan banyak orang dalam berpolitik dan berekonomi secara modern (Harari, 2018).

Bagi orang-orang yang setia pada hak asasi manusia, kebebasan manusia, dan kesetaraan umat manusia, maka agenda utama mereka adalah memperbesar keuntungan dan kemajuan bagi umat manusia – melalui penciptaan lapangan kerja, distribusi kekayaan, jaminan kesehatan dan sosial, pembukaan lembaga pendidikan, eksperimentasi sains, dan penciptaan teknologi (Pinker, 2018).

Lalu, Mengapa Masih Ada yang Bilang Islam Mengalami Krisis?

Perasaan bahwa hidup ini tidak adil dan penuh penderitaan adalah warisan naluri biologis kita. Mudah bagi siapa saja untuk berpikir bahwa dunia ini jahat (Rosling, 2018).

Mungkin tidak sedikit umat Islam di Indonesia yang berpikir bahwa negara ini adalah negara yang jahat karena tidak mau menerapkan syariah sebagai hukum nasional (Rahardjo, 2012).  Cukup jelas bagi kita bahwa pikiran semacam itu lahir dari orang-orang yang tidak bersyukur.

Di tengah-tengah masih adanya PR kita untuk memperluas kesejahteraan dan keadilan sosial, kita tetap harus bersyukur bahwa saat ini kita punya negara merdeka dan bermartabat di mana kita bebas menjalani kehidupan.

Pemikir dan pendakwah yang masih menyuarakan krisis ini dan itu, selalu fokus pada sisi kosong dari sebuah gelas, dan bukan pada sisi yang penuh.

Baca Juga  Islam Wasathiyyah Menurut 3 Ulama: Quraish Shihab, Gus Mus, dan Said Aqil Siroj

Di samping itu, perasaan dikelilingi krisis tersebut juga didorong oleh keyakinan yang tidak masuk akal bahwa umat Islam adalah umat pilihan Tuhan.

Terserah apakah keyakinan itu didasarkan pada ayat atau pun hadits; umat Islam pada kenyataannya hanya satu golongan manusia biasa di antara miliaran manusia biasa lainnya.

Seringkali, karena mereka merasa bahwa umat dan agamanya begitu spesial, akhirnya apabila mereka tidak mampu menjadi yang paling berkuasa dan mendominasi (baik dalam pengertian politik maupun budaya), maka dikiranya ada gerombolan orang kafir yang berkonspirasi untuk menghalang-halangi kejayaan mereka (baca Allawi, 2009).

***

Ada satu lagi yang cukup memilukan. Ramai pemikir dan pendakwah yang masih percaya bahwa proses penjajahan (kolonialisme) masih berlangsung hingga saat ini (baca Al-Attas, 1981).

Jika ada manusia yang hidup dengan perasaan terjajah di sebuah negara merdeka, maka kemungkinannya ada dua: pertama, negara orang tersebut belum cukup piawai memakmurkan rakyatnya, atau kedua, orang itu adalah contoh manusia yang kufur atas nikmat Tuhan berupa negara merdeka.

Gagasan Naquib al-Attas seputar supremasi Islam dan Islamisasi pengetahuan, serta gagasan Sayyid Qutb tentang kebangkitan kekuasaan Islam dan formalisasi syariah, dilandasi pada pola pikir yang masih percaya bahwa Islam perlu merebut kekuasaan (politik atau pun budaya) dari Barat, dan melepaskan diri sepenuhnya dari jajahan mereka (Musa, 2021).

Pikiran seperti ini terus mengalir deras laksana air terjun. Ia diajarkan di ruang-ruang kelas, di forum para akademisi cerdas, majelis ilmu, tabligh akbar, hingga sudut-sudut sempit masjid yang dijadikan area mentoring (baca Musa, 2021).

Faktanya, kolonialisme telah berakhir dengan usainya Perang Dunia Kedua, puluhan tahun yang lalu. Sejak saat itu nasib semua negara diserahkan kepada bangsanya sendiri.

Negara-negara yang hancur lebur saat itu, seperti Jepang dan Jerman, hari ini adalah pemain utama ekonomi dan kemajuan global. Jepang bukanlah sebuah negara Barat.

Bahkan negara-negara kecil yang saat itu jauh tertinggal dari Indonesia, hari ini seluruh dunia menikmati dan merayakan buah-buah ekonomi dan teknologi mereka. Mereka adalah Singapura dan Korea Selatan; dua negara macan Asia.

Penutup

Ibn Sina tiba di istana raja Nuh II. Pertama-tama ia mau mendengar diagnosa dan treatment yang sudah dilakukan dokter-dokter istana (Fattahi, 2009).

Tak satu pun diagnosa mereka yang Ibn Sina percaya. Hanya karena raja merasa sakit di perut, dokter-dokter itu mengatakan bahwa raja terserang diare (Fattahi, 2009).

Ibn Sina memilih percaya pada nalurinya sendiri. Ia curiga bahwa raja keracunan makanan atau minuman. Ia segera meminta supaya gelas yang biasa raja pakai untuk minum ditunjukkan padanya. Benar saja, ternyata raja keracunan timah yang memoles gelas indah itu (Fattahi, 2009).

Baca Juga  Hanya Orang Islam Kolot yang Anggap Syiah itu Bahaya

Ribuan kali sudah pemikir, ulama, dan penceramah umat ini mendiagnosa bahwa dunia Islam diserang krisis; dan modernisme serta sekularisme adalah virusnya. Sebuah diagnosa yang pada dasarnya adalah keliru.

Modernisme merupakan penerapan rasionalisasi di segala bidang kehidupan, sementara sekularisme adalah pemisahan tegas dan cerdas atas urusan agama (yang seringkali subyektif) dari urusan negara (yang harus selalu rasional dan obyektif) (baca Madjid, 1986; Harari, 2018).

Kalaupun ada krisis yang kita hadapi, mungkin itu adalah krisis rasionalitas. Hanya orang-orang yang tidak cukup rasional yang akan terus percaya bahwa sekularisme dan modernisme adalah ciptaan orang kafir untuk menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Memangnya, siapa di antara kita yang dihalang-halangi untuk melaksanakan shalat dan berlebaran oleh negara?

Bibliografi

Allawi, Ali, 2009, The Crisis of Islamic Civilization, London: Cambridge University Press.

Al-Attas, Naquib, 1981, Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka.

Al-Attas, Naquib, 2001, Risalah untuk Kaum Muslim, Kuala Lumpur: ISTAC.

Armstrong, Karen, 2013, Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, Bandung: Penerbit Mizan.

Diamond, Jared, 2021, Guns, Germs, and Steel: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia, Jakarta: Penerbit KPG.

Fattahi, Husayn, 2009, Tawanan Benteng Lapis Tujuh: Novel-Biografi Ibn Sina, Jakarta: Penerbit Zaman.

Harari, Yuval Noah, 2020, Sapiens: Sejarah Singkat Umat Manusia, Jakarta: Penerbit KPG.

Harari, Yuval Noah, 2018, 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke-21, Manado: Penerbit Globalindo.

Isaacson, Walter, 2015, The Innovators: Kisah Para Peretas, Genius, dan Maniak yang Melahirkan Revolusi Digital, Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Kimball, Charles, 2013, Kala Agama Jadi Bencana, Bandung: Penerbit Mizan.

Madjid, Nurcholish, 1986, Islam Keindonesiaan dan Kemodernan, Bandung, Penerbit Mizan.

Musa, Mohd Faizal, 2021, Naquib Al-Attas’ Islamization of Knowledge: Its Impact on Malay Religious Life, Literature, Language, and Culture, Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Nasr, Hossein, 1986, Sains dan Peradaban dalam Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.

Nawaz, Maajid, Sam Harris, 2020, Islam and The Future of Tolerance: A Dialogue, Jakarta: Penerbit Serambi.

Pinker, Steven, 2018, Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress, New York: Viking.

Rahardjo, M. Dawam, 2012, Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam, Jakarta: Freedom Institute.

Rosling, Hans, 2018, Factfulness: Ten Reasons We’re Wrong About the World and Why Things Are Better Than You Think, New York: Flatiron Books.

Shepard, William, 1996, Sayyid Qutb and Islamic Activism: A Translation and Critical Analysis of Social Justice in Islam, Leiden: E.J. Brill.

Editor :Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *