Perspektif

Jangan Tutup Sekolah Muhammadiyah

3 Mins read

Oleh: Dr. Dina Afrianty

Apresiasi perlu kita berikan kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang bertindak cepat mendalami kasus perundungan yang dialami seorang siswi di sekolah Muhammadiyah Butuh Purworejo. Akhirnya kita semua tahu bahwa korban adalah anak perempuan dengan disabilitas. 

Ada dua respon Gubernur Jawa Tengah atas kasus ini yang menarik untuk kita cermati. 

Pertama, beliau mengusulkan agar otoritas pendidikan di propinsi tersebut membujuk orang tua siswa untuk memindahkan anaknya ke sekolah yang sesuai dengan kondisi anak. Dapat diartikan usulan ini berarti anak disabilitas sebaiknya atau seharusnya bersekolah di sekolah yang tidak bercampur dengan anak yang tidak memiliki disabilitas. Kedua, Gubernur juga punya ide agar sekolah ini ditutup/digabung dengan sekolah lain, karena sekolah hanya punya murid sedikit. 

****

Ide supaya orang tua memindahkan siswi yang menjadi korban dan memiliki disabilitas dari sekolah mainstream atau sekolah umum ke sekolah khusus berpotensi semakin menguatkan stigma terhadap disabilitas. Pandangan ini dapat menguatkan pandangan diskriminatif terhadap disabilitas yang selama ini sudah sangat kuat di masyarakat. Selain itu, adalah “hak anak” dan orang tua untuk menentukan dimana anak mereka merasa nyaman untuk bersekolah. 

Dorongan agar orang tua memindahkan anaknya yang memiliki disabilitas untuk sekolah di sekolah khusus seperti ingin mengingatkan lagi pada orang tua yang memiliki anak dengan disabilitas, bahwa tempat anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan tidaklah sama dengan anak-anak yang tidak memiliki disabilitas. Dan, oleh karena itu, setiap orang tua harus menyekolahkan anaknya yang memiliki disabilitas ke sekolah “khusus”.

Hal ini tidak sesuai dengan amanat dan aturan pendidikan inklusi. Seharusnya respon pemerintah terhadap korban yang juga memiliki disabilitas mengacu pada UU No. 8/2016 Tentang Disabilitas yang mengatur hak penyandang disabilitas atas pendidikan yang inklusif. Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk menjamin dan menghormati hak orang dengan disabilitas. Pendidikan inkslusi adalah salah satu pilar utama dalam komitmen hukum tersebut. 

Baca Juga  Beda Penanganan COVID-19, antara Malaysia dan Indonesia

Yang dilakukan sekolah Muhammadiyah sudah tepat. Yaitu menerima siswa dengan disabilitas. Mungkin masih banyak kekurangan yang ada pada sekolah tersebut untuk mewujudkan pendidikan inklusif dan berkualitas untuk siswa didik yang memiliki disabilitas; mulai dari kurangnya kapasitas tenaga pendidik dan resources yang tidak memadai. 

Akan tetapi, dalam semua rumusan inklusifitas, yang paling pertama dan utama yang harus ada adalah kemauan untuk menerima, meng-include, menghormati, dan menempatkan semua siswa dengan segala latar belakang dan identitas di tempat yang sama, untuk belajar bersama dan setara.  

****

Penting untuk dipahami dan diingat bahwa pendidikan inklusif akan, pertama, mendorong siswa disabilitas dan tidak disabilitas untuk sama-sama mengeksplore atau menggali potensi dan kapasitas unik yang ada pada setiap anak atau individu. 

Kedua, pendidikan inklusif menjamin kesempatan dan peluang yang sama antara anak disabilitas dan yang tidak memiliki disabilitas dalam proses belajar mengajar. 

Ketiga, pendidikan inklusi juga membuat disabilitas menjadi ‘visible’,  atau menjadi “terlihat”, disabilitas menjadi dekat dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai masyarakat. Hal yang sudah sekian lama di Indonesia terjadi, disabilitas tidak dekat dengan kehidupan kita, karena orang disabilitas selama ini disegregasi,  “dipisahkan”, dibuatkan sekolah khusus; dimana standar, kualitas, dan capaian yang diharapkan ditentukan, tidak oleh orang dengan disabilitas tapi oleh “kita” yang merasa berhak menentukan semua ukuran tersebut. 

Terakhir, dan sangat penting, pendidikan inklusi akan membawa hal positif dalam menguatkan identitas sosial, membangun solidaritas, dan kohesi sosial di dalam masyarakat. Kalau sejak kecil anak-anak didik berinteraksi bebas tanpa sekat-sekat kita dapat berharap kohesi sosial dan nilai solidaritas akan terbangun. 

Oleh karena itu, terlepas dari segala keterbatasan, seharusnya pemerintah daerah menyambut positif kebijakan yang diambil oleh sekolah Muhammadiyah untuk menerima siswa dengan disabilitas. Sesuatu yang banyak lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggu belum dapat lakukan; yaitu menerima siswa disabilitas untuk belajar bersama-sama di dalam satu sekolah dengan yang tidak disabillitas. 

Baca Juga  Indonesia itu Humanisme Religius atau Humanisme Sekuler?

****

Satu pasal dalam UU Disabilitas mengatur bahwa pemerintah daerah wajib mengutamakan anak penyandang disabilitas bersekolah di lokasi tempat tinggalnya. Bagaimana, jika sekolah “khusus” yang diinginkan itu jauh dan tidak terjangkau oleh orang tua siswa yang datang dari kelas ekonomi bawah?

Seharusnya, pemerintah berterima kasih pada ormas seperti Muhammadiyah memiliki punya sekolah di pelosok-pelosok dan mudah dijangkau. Di tempat-tempat yang jauh dari sekolah negeri, warga Muhammadiyah berinisiatif membangun sekolah. Kalangan tak mampu bisa menyekolahkan anak mereka di sekolah

Oleh karena itu, tidaklah dapat dipahami mengapa hanya karena memiliki jumlah murid yang sedikit, pemerintah daerah justru berpikir untuk mencari cara menutup sekolah Muhammadiyah yang sudah berinisiatif menerapkan prinsip pendidikan inklusi? 

Alangkah baik, jika kejadian ini membuka mata penguasa-penguasa di daerah untuk meminta semua sekolah memberikan data, berapa siswa dengan disabilitas yang belajar di sekolah mereka.

Lalu, dengan data itu, penguasa daerah memberikan alokasi anggaran kepada sekolah-sekolah untuk 1) membayar tenaga pendidik tambahan, pendamping, atau penerjemah Bahasa Isyarat 2) membeli perangkat-perangkat yang dibutuhkan dalam proses pendidikan agar semua proses belajar mengajar dapat dijalani oleh siswa disabilitas secara setara dengan yang lain 3) menunjang biaya transportasi anak disabilitas untuk bisa datang ke sekolah-sekolah. Semua pembayar pajak di Indonesia akan berbahagia jika pajak yang mereka bayar tidak dikorupsi, tapi digunakan untuk memastikan setiap warga negara mendapat hak sama untuk mendapat Pendidikan yang berkualitas.

* Research fellow La Trobe Law School, Founder of Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) 

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds