IBTimes.ID – Penghayat Kepercayaan adalah salah satu kelompok yang sering mendapatkan diskriminasi di Indonesia. Kendati demikian, kelompok ini memiliki akar sejarah kepada leluhur yang telah ada jauh sebelum Hindu Budha masuk ke Indonesia. Sehingga, hampir seluruh etnis di Nusantara memiliki agama leluhur.
Ketika agama-agama seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen masuk ke Indonesia, agama-agama tersebut mengalami perjumpaan dengan agama lokal. Agama-agama leluhur ini kemudian tergeser.
Setelah Indonesia merdeka, penghayat kepercayaan tidak diakui, direndahkan, dianggap sebagai penyembah roh dan tidak diakomodir oleh negara.
Engkus Ruswana, Ketua Presidium Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan menyebut bahwa para pemeluk penghayat kepercayaan mulai mendapatkan tekanan dan diskriminasi di tahun 1950 ketika gerakan DI/TII meluas.
Kelompok penghayat mulai ditekan dan dibunuh oleh DI/TII. Banyak penghayat dari desa di Garut dan Ciamis lari ke Bandung karena tekanan dari kampung-kampung yang dikuasai basis DI/TII. Bahkan, di daerah Ciparai, pernah terjadi pembunuhan dan pembakaran terhadap satu komunitas penghayat yang tengah berlatih kesenian.
“Pasca G30S/PKI, penghayat dianggap tidak menganut agama dan mendapatkan stigma sebagai komunis. Karena tekanan ini, sebagian berpindah ke agama-agama yang diakui, sebagian lagi tetap bertahan,” ujarnya dalam sebuah siniar di laman YouTube Setara Institute.
Pada era orde baru, imbuh Engkus, muncul paguyuban-paguyuban kepercayaan. Jumlahnya mencapai ratusan. Kemudian, pada tahun 1973, sejak adanya GBHN, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dimasukkan sebagai komunitas sistem keyakinan yang banyak penganutnya dan sejajar dengan agama. Sehingga diletakkan dalam bidang yang sama dengan agama-agama lain.
Pada tahun 1974, para penghayat kepercayaan boleh melangsungkan upacara pernikahan dengan cara kepercayaan. Tidak perlu mengaku sebagai penganut agama-agama lain yang diakui.
Engkus menyebut bahwa empat tahun kemudian, muncul beberapa gugatan yang menganggap bahwa penghayat kepercayaan bukan agama. Sehingga ada pemaksaan agar penghayat kepercayaan masuk ke dalam lima agama lain yang diakui. Menteri Agama saat itupun meminta agar pengahayat kepercayaan kembali kepada agama induknya masing-masing.
“Sehingga saat itu terjadi ketidakpastian hukum. Saat itu kemudian muncul GBHN baru. Di situ Kepercayaan dimasukkan ke dalam kelompok kebudayaan. Dan pemerintah juga membentuk direktorat, yaitu Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah Kementerian Pendidikan,” imbuhnya.
Di tahun yang sama juga muncul Tap MPR tentang P4. Di P4 itu Kepercayaan disetarakan dengan agama tapi ada pernyataan bahwa Kepercayaan bukan agama. Saat itu banyak surat edaran dari berbagai institusi pemerintahan yang saling bertentangan.
Di tahun 1990, perkawinan dengan cara Kepercayaan dilarang secara total di seluruh Indonesia. Identitas di KTP penghayat juga tidak boleh lagi dicantumkan. Dipaksa harus mencantumkan agama. Kalau tidak, tidak bisa menikah dan mendapatkan layanan negara lainnya.
Pasca reformasi, imbuh Engkus, muncul gagasan untuk memperbaiki hal tersebut. Kemudian dibentuk konsorsium catatan sipil yang melibatkan berbagai kementerian dan LSM untuk merumuskan RUU Catatan Sipil di awal tahun 2000.
“Draft RUU kemudian didiamkan saja oleh DPR. Baru tahun 2005 diangkat lagi. Istilahnya diganti jadi RUU Administrasi Kepedudukan. Tahun 2006 baru diterbitkan. UU ini kembali membolehkan pernikahan dengan cara penghayat kepercayaan,” ujar Engkus.
Tapi, saat itu, kolom agama di KTP penghayat dikosongkan. Karena Kepercayaan dianggap bukan agama tapi setara dengan agama. Di kolom agama hanya ditulis dengan lambang strip (-).
Karena hanya ada strip, banyak penghayat dianggap sebagai komunis. Banyak stigma yang muncul karena identitas tersebut. Saat itu penghayat juga tidak bisa masuk menjadi TNI dan PNS.
Di tahun 2010, beberapa NGO dan tokoh agama menggugat UU yang menyudutkan komunitas penghayat kepercayaan. Ada UU yang menyebut bahwa komunitas kebatinan dan organisasi kepercayaan sudah banyak menyudutkan agama, banyak mempermainkan agama, dan membahayakan kerukunan nasional.
Pada tahun 2017, MK mengeluarkan keputusan bahwa penghayat kepercayaan boleh menuliskan kolom agama dengan “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Sejak saat itu, negara dapat memberikan pelayanan terhadap penghayat dengan dasar hukum yang lebih kuat.
“Hal ini kemudian mempercepat proses layanan pendidikan dan layanan lainnya. Termasuk sekarang sudah bisa masuk PNS dan Polri. Tapi untuk TNI sampai sekarang belum bisa. Begitu kita daftar, di kolom pilihannya tidak ada pilihan Kepercayaan,” imbuh Ketua Umum Organisasi Budidaya tersebut. Budidaya adalah salah satu organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Padahal, menurut Engkus, ajaran leluhur sangat nasionalis, toleran, dan sangat cinta terhadap Ibu Pertiwi, terhadap budaya.