Dalam pembahasan teologi Islam tentu tidak ada habisnya untuk dikaji. Banyak yang tertarik untuk mengkaji soal perkembangan teologi Islam, baik intelektual muslim maupun nonmuslim. Dalam perkembangan teologi Islam di Indonesia, secara umum kita hanya mengetahui teologi ahlussunnah wal jamaah, yang sering disebut dengan teologi tradisional (M. Baharuddin, 2010). Faktanya, di Indonesia juga ada teologi rasional yang bertujuan untuk membangun peradaban yang modernis.
Teologi Islam Rasional
Teologi Islam rasional adalah paham yang cenderung kepada kuasa atas akal yang tidak selalu terpacu dengan wahyu Allah. Sejarah menulis bahwa teologi Islam rasional sudah ada pada abad ke-2 Hijriah, yaitu Mu’tazilah (Rohidin, 2018).
Mu’tazilah lahir berawal dari perselisihan pendapat antara Washil bin Atha’ dan gurunya, yaitu Hasan Basri. Namun, banyak umat Islam yang tidak sepaham dengan paham rasional Mu’tazilah, sehingga banyak umat Islam yang menolaknya. Salah satunya adalah umat Islam di Indonesia.
Teologi rasional di Indonesia muncul pada masa Orde Baru, saat ingin membangun peradaban modernis yang dikenal sebagai Islam Liberal, dengan tujuan untuk menciptakan neo-modernisme Islam Indonesia.
Teologi rasionalis diciptakan oleh Nurcholis Madjid yang sering disapa Cak Nur. Teologi rasionalis Cak Nur dijuluki Islam Liberal, dikarenakan pendapatnya tentang dibutuhkannya sekularisasi dan pluralisme dalam Islam di Indonesia (Samsudin dan Nina Herlina Lubis, 2019).
Penyebab Cak Nur berpendapat seperti itu dikarenakan pada masa Orde Baru, partai Islam fundamentalis ingin membangun negara Islam, namun mereka tidak mengeluarkan citra positif terhadap kaum minoritas.
Sehingga, pemerintah Orde Baru mengebiri partai Islam karena dianggap sebagai penghalang jalan modernisme dan juga berlebihan untuk mengawasi gerak gerik umat Islam. Cak Nur berpendapat bahwa umat Islam harus mengutamakan kualitas daripada kuantitas, karena itu umat Islam perlu adanya sekularisasi pemikiran (Samsudin dan Nina Herlina Lubis, 2019).
Perbedaan Pendapat mengenai Teologi Islam Rasional di Indonesia
Pendapat Cak Nur ditolak oleh umat Islam berpaham teologi tradisional dan kaum fundamentalis, sehingga MUI melabeli pemikirannya sebagai sesuatu yang haram (Samsudin dan Nina Herlina Lubis, 2019). Alasannya, pendapat Cak Nur dapat mengancam tradisi-tradisi yang ada dan dapat merubah hakikat Islam. Bukan hanya Cak Nur yang berupaya membangun pluralisme di Indonesia. Cendekiawan lainnya ialah Kiai Abdurrahman Wahid atau sering disebut Gus Dur, selaku cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama.
Cak Nur membuka pintu ijtihad pada umat Islam sebagai jalan modernisme. Ia meyakini jika pintu ijtihad ditutup dan hanya berpegang taklid, umat Islam tidak akan bisa maju. Ijtihad menurutnya bukan berarti menafsirkan al-Qur’an dan hadis dengan semena-mena, melainkan harus berdasarkan kaidah yang berlaku. Dengan ijtihad, Islam dapat berkembang secara universal (Idris, 2014). Banyak yang bilang bahwa Cak Nur adalah penerus Mu’tazilah (Husaini & Hidayat, 2002).
Pandangan Islam rasional kemudian diteruskan oleh Harun Nasution dan Mukti Ali yang berpendapat dengan jalan rasional Islam akan menemukan kembali vitalitas serta dapat menemukan jalan untuk problematika hidup umat sesuai dengan zaman (Efrianto Hutasuhut, 2017).
Kontribusi mereka adalah mengkonstruksi sistem pendidikan Islam yang terinspirasi dari Universitas McGill. Namun, pendapat mereka ini banyak kalangan muslim yang menolak, termasuk sebagai alumni Universitas McGill (Samsudin dan Nina Herlina Lubis, 2019).
Pemikiran Harun Nasution tentang Mu’tazilah
Harun Nasution merasakan aspek positif dari rasionalitas paham Mu’tazilah sehingga mengagumi Mu’tazilah sejak di McGill. Menurut Harun Nasution, bahwasanya Mu’tazilah-lah yang dapat membantu umat Islam untuk membangun peradaban Islam lebih maju karena konsep pemikirannya. Harun Nasution juga dikenal sebagai penganut neo-Mu’tazilah karena pendapat-pendapatnya yang seperti menjunjung paham Mu’tazilah (Abdus Syukur, 2015).
Pemikiran rasional Harun Nasution memang cenderung tertuju pada paham Mu’tazilah, namun bukan berarti dia penganut Mu’tazilah. Bagaikan lima butir Pancasila. Jika tidak memiliki sifat dari salah satunya, bukan berarti bukan seorang Pancasilais.
Seperti halnya paham Mu’tazilah yang memiliki lima dasar ajaran Al-ushul al-Khamsah, namun Harun Nasution hanya menggunakan konsep pemikiran rasional Mu’tazilah saja. Sehingga dia bukan penganut Mu’tazilah yang sah, karena menurutnya pemikiran Mu’tazilah tidak cocok diterapkan di Indonesia (M. Baharudin, 2010).
Di era kontemporer ini, masih ada sebagian umat Islam Indonesia yang sedang mengalami stagnasi dalam berpikir. Terlihat dari peristiwa adanya virus Covid-19, yang banyak sebagian umat Islam menolak himbauan pemerintah untuk beribadah di rumah masing-masing agar tidak terjadi peningkatan tertularnya virus Covid-19. Dengan membawa semboyan yang sering kita dengar, yaitu, “Jangan takut virus! Takutlah kepada Allah!”
Oleh sebab itu, kiranya perlu umat Islam Indonesia dikenalkan dengan teologi Islam rasional agar dapat menyelesaikan masalah-masalah tertentu, terutama dalam persoalan ibadah.
Islam Rasional dalam Pendidikan Indonesia
Dengan demikian, dalam pemakaian akal, Mu’tazilah juga menerapkan pada IPTEK dan dasar-dasar agama dalam Mu’tazilah diartikan secara filosofis. Sehingga, lahirlah ilmu tauhid yang bercorak filosofis, yang bukan berarti menafsirkan dengan bebas, tetapi masih dibatasi dengan doktrin-doktrin agama (M. Baharudin, 2010).
Teologi Islam rasional juga masih terlihat di Indonesia hingga sekarang, yaitu terlihat dari sudut pendidikan. Dengan adanya mata pelajaran yang berbau filosofis Islam seperti filsafat Islam, ushul fiqih, ilmu kalam, dan lain sebagainya.
Editor: Zahra