Berbicara mengenai agama atau komunitas Yahudi memang tidak pernah ada habisnya. Dalam sejarah ada banyak hal yang bisa dibahas terkait agama atau komunitas Yahudi. Terutama terkait sepak terjang dan respons terhadap kehadiran komunitas Yahudi di dunia.
Di Indonesia sendiri, komunitas Yahudi tidak lepas dari sasaran masyarakat terhadap kehadirannya, terutama terkait kebencian. Kebencian terhadap kaum Yahudi, khususnya di Indonesia ternyata bukan saja ketika ada peristiwa “pertempuran” antara Palestina dan Israel saja. Tetapi sudah berakar jauh pada masa kolonial.
Hal itu sebagaimana dibahas dalam buku berjudul “Di Bawah Kuasa Antisemitisme (Orang Yahudi di Hindia Belanda 1861-1942)”. Buku setebal 158 halaman yang ditulis oleh Romi Zarman dan diterbitkan oleh Tjatatan Indonesia tahun 2018 ini. Buku ini bercerita mengenai bagaimana respons masyarakat Indonesia khususnya di tahun 1861 hingga tahun 1942 terhadap kaum Yahudi di Hindia Belanda.
Jika kita sering mendengar mengenai “antisemitisme” bergaung di Eropa, khususnya di era Nazi Jerman. Ternyata dalam sejarah hal itu juga terjadi di Indonesia, bahkan jauh sejak zaman kolonial.
Sejarah Yahudi di Hindia Belanda
Di awal buku, penulis memaparkan mengenai jejak peninggalan kaum Yahudi di masa kolonial, seperti Sinagoge Beith Shalom, Surabaya dan populasi serta persebaran kaum Yahudi di Hindia Belanda. Sejak tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda melakukan sensus penduduk dan populasi kaum Yahudi Eropa yang berjumlah 1095 jiwa.
Hasil ini jika diuraikan dalam bentuk sensus, maka terlihat bahwa: 403 jiwa kaum Yahudi di Jawa Barat, 157 jiwa di Jawa Tengah, 34 jiwa di Yogyakarta, 9 jiwa di Surakarta, dan 121 jiwa di Sumatera.
Tetapi kaum Yahudi tidak saja terkonsentrasi di pulau Jawa, melainkan tersebar di beberapa daerah, seperti Balikpapan, Semarang, Surabaya, Malang, Madiun, hingga Pasuruan. Persebaran kaum Yahudi di negeri ini pada masa silam sesungguhnya meliputi hampir seluruh wilayah Hindia Belanda, khususnya golongan Yahudi Eropa.
***
Pada awal abad ke-10, seorang pedagang Yahudi dari Muscat (Oman) bernama Ishaq Yahuda, berlayar ke Cina namun tewas dirampok ketika singgah di Sriwijaya. Sebelum dirinya melanjutkan perjalanan ke Khanfu, ia dengan cepat mengumpulkan seluruh kekayaannya tanpa meninggalkan satu dirham pun.
Akan tetapi, waktu itu raja Sriwijaya menuntut 20.000 dinar supaya dapat melanjutkan perjalanan. Namun Ishaq menolak untuk membayar, ia pun kemudian dibunuh dan seluruh hartanya disita.
Selama menetap di Sriwijaya, Ishaq Yahuda diberi identitas “Ya Arabi” oleh seorang Tionghoa. Penyebutan (Arabi) ini merupakan identifikasi orang-orang yang datang dari Muscat selalu dikategorikan sebagai orang Arab.
Sebagaimana Historiografi Indonesia mengkategorikan Syekh Sunan Jati yang bernama asli Nuruddin Ibrahim bin Maulana Israel sebagai keturunan Arab, padahal ia beretnik Yahudi.
Pada tahun 1861, dalam perjalanannya ke Australia. Jacob Saphir sempat singgah di Batavia dan bertemu dengan orang-orang Yahudi yang menetap lama di jantung Hindia Belanda. Kedatangan Jacob Saphir banyak memberikan informasi mengenai keberadaan orang Yahudi di Hindia Belanda abad ke-19.
Disana ia menginformasikan mengenai beberapa keluarga Yahudi yang sebagian besar berasal dari Jerman dan Belanda. Serta secara ekonomis sebagian mereka bekerja sebagai saudagar dan serdadu Belanda.
Antisemitisme; Kebencian Terhadap Komunitas Yahudi
Di dalam bab-bab selanjutnya, Romi Zarman banyak bercerita mengenai awal mula atau dinamika kebencian masyarakat Hindia Belanda terhadap kaum Yahudi serta aktivitas-aktivitas organisasi dan gerakan politik Yahudi di Hindia Belanda. Beberapa disebutkan seperti, Nederlandsch-Indie Zionistenbond yang berdiri sejak tahun 1898 di Amsterdam.
Secara umum organisasi ini hadir dengan fokus mempopulerkan ide-ide pendirian negara Yahudi. Kemudian ada organisasi bernama Palestinafondsen sebuah organisasi pengumpulan dana Zionis. Dimana organisasi ini menyerukan agar bangsa Israel, baik Zionis dan non-Zionis agar memberikan bantuan untuk orang Yahudi di Palestina.
Dari kedua organisasi kaum Yahudi yang hadir di Hindia Belanda. Secara tidak langsung kita dapat mengetahui bahwa tidak semua Yahudi sepakat atas pendirian negara Israel. Ada beberapa masih peduli terhadap warga Palestina. Artinya, ada banyak persepsi orang Yahudi di Hindia Belanda terhadap gejolak politik, baik di Hindia Belanda atau di negara Israel.
Kehadiran kaum Yahudi di Hindia Belanda terjadi tidak berjalan dengan mulus-mulus saja. Tetapi ada banyak dinamika yang harus dialami bahkan hingga saat ini.
Kebencian terhadap kaum Yahudi yang disebut dengan “antisemitisme” secara tidak langsung juga semakin memperkeruh dinamika yang terjadi. Sebuah “kecerobohan” persepsi kita adalah seringnya mengenelarisir semua kaum Yahudi ada Zionis (gerakan politik).
***
Di dalam buku ini, Romi Zarman menjelaskan bahwa wacana mengenai anti-yahudiisme yang berkembang di Indonesia dapat dilacak mulai dari Hikayat Raja Chaibar. Disitu menggambarkan perilaku buruk kaum Yahudi yang digeneralisir kepada setiap kaum Yahudi di seluruh dunia.
Kemudian gerakan anti-yahudiisme ini juga ditemukan dalam koran-koran berbahasa Melayu terbitan tahun 1920-1930 an. Informasi tentang konflik antara Arab dan Yahudi di Palestina disebarluaskan kepada masyarakat luas. Dalam informasi itu Yahudi selalu digambarkan secara negatif dan keberpihakan pada Arab lebih diutamakan karena faktor seagama.
Di tahun-tahun berikutnya, gerakan anti-yahudi semakin gencar gemanya ketika Jepang masuk ke Indonesia. Belanda yang kerap bertindak sewenang-wenang kerap diasosiasikan sebagai “Jahoedi”.
Jepang melihat potensi ini dalam merangkul dukungan Indonesia secara lebih luas. Stereotip negatif tentang Yahudi semakin berkembang ketika Indonesia memasuki masa revolusi. Dimana posisi orang China selalu distereotipkan dengan Yahudi yang dengan kekuatan ekonominya selalu dianggap merugikan orang lain.
Tak Lepas dari Soal Politik dan Ekonomi
Sikap Indonesia terhadap pemboikotan Israel di Konferensi Asia-Afrika serta posisi politik Soekarno yang berhadap-hadapan dengan Barat juga memperparah pandangan negatif terhadap kaum Yahudi.
Sebab, jika pada era kolonial asosiasi kata “kafir” dipakai untuk Yahudi. Di era Soekarno pergeseran itu beralih ke “Barat” yang diasosiasikan sebagai “imperialis Yahudi”.
Sebuah sikap yang hampir sama ketika teori konspirasi selalu dijadikan alat untuk mendiskriminasikan sesuatu. Sebagaimana dalam era Soeharto, ketika ditanya kenapa dirinya dilengserkan adalah karena Yahudi sebagai biang keladi dari semua kejatuhan yang dialaminya.
Anti-yahudiisme yang dijelaskan di atas dalam konteks Indonesia, itu juga diperparah ketika Hitler menguasai Jerman. Dimana para pengungsi yang berdatangan dari Eropa, terutama Jerman dan Belanda banyak mengalami diskriminasi.
Antisemitisme Nazi Jerman lewat gagasan fasisme yang terusung ke dalam tubuh gerakan nasionalisme Indonesia dan terpelihara di bawah pendudukan Jepang, turut memperparah stereotip negatif tentang kaum Yahudi.
Buku setebal 158 halaman ini, bukan saja menjelaskan sesuatu yang selama ini luput dari pandangan serta diskusi, khususnya mengenai Yahudi di Hindia Belanda. Tetapi sedikit banyak memberitahukan kepada kita bahwa apa yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran tak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi.
Editor: Fakhri Ilham S