IBTimes.ID – Sepuluh hari menuju pemilihan presiden 2024, sebagai bentuk kontribusi dan ambil peran, PCIM dan PCINU Turki memberikan ruang edukasi dan suara bagi kamu muda dalam menyongsong Indonesia yang didambakan lewat forum diskusi berjudul “Kritik dan Refleksi Kebijakan Pendidikan dan Kepemudaan pada Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024”, pada hari Sabtu, 03 Februari 2024, dan dimoderatori oleh M. Fawwaz Syafiq Rizqullah.
Diskusi ini dihadiri oleh panelis yang merupakan tim sukses (timses) dari masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden 2024, yaitu Astrid Nadya Rizqita (Jubir Muda Timnas AMIN), M. Raihan Ronodipuro (TKN Fanta Diaspora), dan Budy Sugandi (Kornas Sahabat Mahfud Muda). Serta dua orang penanggap yakni Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, M.A. (Ketua LHKP PP Muhammadiyah) dan Ali Rif’an, M.Si. (Pengurus Pimpinan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama).
Astrid Nadya Rizqita sebagai Jubir Muda Timnas AMIN menyampaikan, bahwa saat ini kita sedang berada di cross-road di mana muaranya adalah Indonesia emas 2035. Jumlah pemuda yang mendominasi populasi Indonesia menentukan bagaimana Indonesia nantinya. Peningkatan pelayanan kepemudaan harus lebih massif. Peran pemuda di daerah juga harus dikolaborasikan dengan pemegang kebijakan. Karena pemuda bukanlah beban, melainkan investasi untuk masa depan. Sehingga investasi tidak hanya tentang angka tapi juga terbukanya banyak lapangan kerja lewat sektor padat karya. 2027 adalah batas akhir mengoptimalkan Indonesia emas, di mana salah satunya diperlukan pula perubahan paradigma dalam berpikir mengenai kepemimpinan.
M. Raihan Ronodipuro dari TKN Fanta Diaspora menekankan pada pendidikan yang inklusif. Serta peran pemuda tidak boleh diabaikan, sehingga perlu peningkatan lapangan kerja dan akses untuk meningkatkan keterampilan.
Budy Sugandi dari Kornas Sahabat Mahfud Muda menghimbau pada para diaspora, bahwa sekalipun diaspora adalah minoritas, tapi sebenarnya banyak menuai peran penting nantinya di Indonesia. Terbukti lewat mentri-mentri yang kebanyakan adalah diaspora dulunya. Diaspora seharusnya tidak hanya sekadar memilih, tapi juga berperan aktif. Salah satunya lewat forum-forum seperti ini.
Menurut Budy Sugandi, dalam melihat pendidikan dan kepemudaan, quadruple helix sudah tidak lagi dipakai. Melainkan penta helix, yakni ada unsur media dan organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di dalamnya yang harus diperhitungkan.
Pernyataan dari penanggap Ali Rif’an, M.Si menyampaikan bahwa jumlah sarjana di Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya 4,5% sedangkan negara maju minimal memiliki sarjana 10% dari populasi. Karena pendidikan adalah mata rantai perekonomian. Sementara dari Dr. Phill. Ridho Al-Hamdi, M.A. mengajak berpikir para panelis dan peserta yang hadir perihal kebijakan P3K yang berdampak pada kampus-kampus swasta dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang seperti kapal keruh lahan bisnis bagi sejumlah kampus. Pemerintah tidak menjangkau seluruh elemen pendidikan di Indonesia, termasuk sekolah-sekolah swasta.
Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, M.A juga menegaskan bahwa kuliah bukan untuk mencari kerja, tetapi mencari ilmu. Tren migrasi anak muda dari desa ke kota harus diiringi juga dengan tren migrasi anak muda dari kota ke desa. Sehingga distribusi atau penyebaran merata dan ketimpangan tidak terlalu jauh. Dalam hal ketenagakerjaan, problem orang dalam dan suap (uang untuk dapat kerja) juga harus menjadi concern karena fenomena ini meresahkan.
Menanggapi pernyataan dan pertanyaan dari penanggap, Astrid Nadya Rizqita menanggapi bahwa selain perhatian lebih pada pendidikan, harus ada pula transparansi di setiap pemerintah baik pusat maupun daerah. Hal ini dapat dimulai dari membuat neraca pendidikan daerah.
Dari M. Raihan Ronodipuro berpendapat bahwa perlu dibenahi kurikulum perguruan tinggi, fokus pada riset dan inovasi sesuai kebutuhan pasar kerja. Serta, membuat sistem meritokrasi untuk P3K. Sedangkan dari Budy Sugandi menjawab bahwa diperlukan transparansi kebijakan di setiap perguruan tinggi.
Tidak hanya interaksi dari panelis dan penanggap, forum diskusi ini juga memberikan ruang bertanya kepada peserta diskusi. Beberapa pertanyaannya adalah perihal visi misi capres dan cawapres. Mulai dari paslon 03 tentang alokasi kredit perbankan minimal 35% untuk koperasi, UMKM, dan perusahaan rintisan. Untuk paslon 02 perihal menempatkan angkatan kerja berusia 18 sampai 24 tahun sebagai karyawan tetap melalui skema subsidi premi asuransi untuk pekerja selama 12 bulan. Lalu kepada paslon 01 yakni terkait hukuman bagi TKA ilegal di Indonesia.
Budy Sugandi dari timses paslon 03 menjawab pertanyaan peserta bahwa strategi yang bisa dilakukan dalam merealisasikan alokasi kredit perbankan hingga 35% adalah membuat regulasi dan hukum terkait perkreditan bagi rakyat, khususnya dalam hal ketenagakerjaan. M. Raihan Ronodipuro dari timses 02 menjawab untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya demi mengurangi pengangguran, salah satunya lewat kredit usaha untuk milenial. Sementara dari timses 01, Astrid Nadya Rizqita, menyampaikan bahwa TKA yang ada saat ini bukanlah skilled labour melainkan pekerja-pekerja kasar. Sehingga perlu diminimalisir TKA dari proyek-proyek lokal hingga nasional. Serta, TKA dioptimalkan untuk sarana transfer knowledge.
Di akhir sesi, Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, M.A. memberikan kesimpulan bahwa timses harus mengelaborasi lagi visi dan misi masing-masing paslonnya. Karena pendidikan dan pemuda adalah salah satu titik krusial kemajuan bangsa. Salah satunya perihal beasiswa LPDP yang merupakan beasiswa elit, karena tidak adanya program untuk pra pendaftaran beasiswa.
Kebijakan sekarang perihal universitas luar negeri yang boleh membuat cabang di dalam negeri justru akan mematikan universitas dalam negeri. Serta saran kepada anak muda yang katanya harus tampil. Tapi sekalinya tampil, malah terjerat korupsi. Pada akhirnya, anak muda juga silau pada uang dan jabatan. Ternyata bukan perihal usia tua atau muda, melainkan soal sudut pandang dan kebijakan yang muda.
Adapun penanggap, Ali Rif’an, M.Si. juga menyampaikan bahwa survey yang dilakukan kepada Gen-Z. Salah satu aspirasinya adalah lapangan pekerjaan dan pendidikan. Di mana lapangan pekerjaan dan pendidikan harus punya ruang integrasi di dalamnya.
Pada statement penutup, panelis timses 01 menyampaikan agar diaspora tidak golput dan harus menggunakan hak suaranya. Tidak hanya melihat visi misi capres dan cawapres, tapi juga rekam jejaknya. Panelis timses 02 kembali menekankan pendidikan yang inklusif. Kebijakan pendidikan dan kepemudaan untuk memperbaiki moral dan karakter bangsa. Dari panelis timses 03, menegaskan bahwa dari pendidikan dan kepemudaan yang paling penting adalah keteladanan. Berarti, cawapres yang mengubah peraturan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan pribadi, maka etika dan moralnya sudah dicoret. Dari kontes debat capres cawapres yang ada, seharusnya sudah terlihat dengan jelas siapa yang layak untuk dipilih.
Demikian forum diskusi ini berlangsung selama hampir tiga jam. Waktu yang dirasa sangat singkat tentunya masih kurang untuk mengeluarkan suara-suara anak muda, khususnya diaspora muda di Turki. Namun, harapannya diskusi ini dapat memberikan pencerahan dan kontribusi dalam memperbaiki demokrasi dan mendorong Indonesia yang lebih baik lagi.
(Alfina/Soleh)