Falsafah

John Bowen: Menelusuri Islam dari Sumber Orisinil Islam

4 Mins read

Tulisan ini dimulai dari ketertarikan penulis membaca beberapa karya dari John Bowen seorang Antropolog dari Amerika Serikat. Menariknya ia meraih gelar Ph.D di University of Chicago dengan judul disertasi “The History and Structure of Gayo Society: Variation and Change in The Highlands of Aceh”.

Pemilihan Indonesia sebagai objek bukan tanpa alasan. Sampai saat ini penulis membaca karyanya yang lain berjudul “How to Think About Religion-Islam an Example” yang terbit beberapa tahun setelahnya.

Penulis berasumsi bahwa karya ini memperkuat kerangka berpikir dalam karya beliau sebelumnya dalam rangka meraih gelar “Ph.D” tersebut.

Oleh karena itu, tulisan ini akan fokus melihat kritik John Bowen terhadap cara pandang seorang antropolog sebelumnya dalam meneliti sebuah objek, dalam hal ini agama.

Dialektika Pendekatan Baru dalam Antropologi Islam

Bagaimana mendekati Islam dalam nuansa Islam? Banyak sekali kita temukan para sarjana Barat mengkaji agama dengan memproblematisasikan perbedaan dalam tubuh agama itu sendiri yang memunculkan pola stratifikasi.

Robert Redfield misalnya dalam bukunya Peasant Society and Culture membagi agama menjadi tradisi besar dan tradisi kecil (Redfield, 1956). Tradisi besar merupakan bentuk ortodoksi dari ekspresi beragama/budaya yang berada di pusat, sifatnya tekstual disebut juga tradisi tinggi atau universal.

Sedangkan tradisi kecil sebagai bentuk heteredoksi yang ekspresinya berada di pinggiran, sifatnya dialektis sehingga banyak elemen-elemen lokal masuk ke dalam praktik keberagamaan. Disebut juga tradisi rendahan atau lokalitas.

Penelitian dari Robert Redfield tersebut tampak membedakan secara holistik antara tradisi besar dan tradisi kecil dalam agama. Ini yang kemudian berbeda dengan yang dilakukan oleh John Bowen dalam meneliti masyarakat Gayo Aceh. Menurutnya, Islam seharusnya dipandang sebagai sumber interpretatif dan praktis.

Baca Juga  Konsep Tuhan Feuerbach dan Al-Farabi, Apa Bedanya?

Kemudian melihat bagaimana setiap individu merefleksikan dirinya terhadap teks-teks agama. Menjadi menarik ketika John Bowen memulai penelitiannya dari aspek historisitas (Bowen).

Dalam artian, memulai penelitian dengan menyeleksi kondisi politik, bagaimana siklus pemurnian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan bagaimana praktik penyembahan dalam masyarakat setempat.

Oleh karena itu, yang disebut dengan New Antropologi Islam memiliki 2 fokus penelitian. Pertama, kesadaran politik antara interpretasi dan praktik keberagamaan. Kedua, kesadaran historis antara jangkauan dan gerakan (Bowen).

***

Jadi, yang membedakan Bowen dengan ilmuwan antropologi sebelumnya ialah terletak pada sumber interpretatifnya. Menurut Bowen, Islam ataupun agama-agama lain seharusnya dipahami melalui praktik dan sumber ortodoksi atau interpretasinya, dalam artian beliau menggabungkan antara Islamic Studies dan Antrophology of Islam.

Sehingga, dapat dilacak bahwa praktik-praktik yang beragam tersebut bersumber dari teks-teks yang ada, tentu berbenturan dengan berbagai macam “tantangan”.

Tujuannya ialah mengungkap epistimologi dari setiap kultur. Sehingga, memungkinkan seorang antropolog bekerja sama dengan para ulama-ulama dunia. Misalnya, sarjana-sarjana di Asia berkolaborasi dengan sarjana yang berada di Afrika dalam memetakan sejauh mana perkembangan di samudra Hindia.

Untuk itu, Islam tidak lagi dilihat dari konteks Arab (Arab, Persia, dan Turki), namun melihatnya dari jangkauan yang lebih luas sebagai rangkaian proses, praktik, teks, dan interpretasi masing-masing kultur yang terus mengalami benturan, anomali, dan krisis.

Menurut Bowen, dalam melihat beragam tradisi keberagamaan, hendaknya didekati dengan sebuah diskursus yang integratif-komparatif. Menurut Bowen Islam telah lama berpartisipasi dalam tradisi bersama umat Islam sedunia. Ini tampak dari teks-teks klasik yang ada. Sebagaimana ujarnya (Dewi, 2016):

“From Islam’s resources of texts, ideas, and methods comes the sense that all Muslim participate in a long term and worldwide tradtion. From Islam’s practices of worshipping, judging, and struggling comes ti capacity to adapt, challenge, and diversify. So far, so good, but spesific to what I am calling “the New Antrophology” is the insistence that analysis starts from individuals’ effort to grapple with those resources and shape those practices in meaningful ways.”

Studi demikian memperlihatkan bahwa adanya hubungan yang gamblang antara sumber interpretatif dengan praktik yang melibatkan kontak sosial. Studi seperti ini melibatkan komponen-komponen yang kompleks untuk mendapatkan kesimpulan.

Baca Juga  Averroes, Nalar, dan Syariat

Praktik New Antropologhy of Religion-Islam an Example

John Bowen mencontohkan cara kerja yang bisa dilakukan oleh seorang antropolog (Bowen) yakni melihat ide-ide dan seperangkat metode dari teks-teks yang digunakan setiap kultur muslim yang berbeda-beda.

Kemudian, memeriksa jalur yang berbeda tersebut dari setiap interpretasi yang diteliti. Sebagai contoh, John Bowen melakukan penelitian tersebut di Asia Tenggara dan Eropa. Pada saat yang sama, Bowen meminta teman yang berada di wilayah tersebut untuk meneliti hal yang sama namun pada waktu yang berbeda.

Analisis tersebut bertujuan untuk membongkar epistemologi dasar dari keagmaan Islam, mengapa keragaman lintas masyarakat muslim menghasilkan praktik dan kondisi yang beda-beda.

Pengklasifikasian metode Bowen digunakan dalam melihat kultur keberagamaan (Dewi, 2016):

(Focusing Inward) Fokus ke dalam

Akses pertama ini ialah fokus terhadap internal keberagamaan, yakni melacak sumber-sumber ortodoksi ataupun sumber-sumber suci. Melalui peran etnografer, kita dapat memahami emosi, pemikiran, pemahaman, dan kondisi psikologis komunitas-komunitas tertentu.

Sebagai contoh, apa makna bagi seorang Muslim dalam mengikuti tradsi syawalan, kemudian dari praktik tradisi tersebut kita kemudian melangkah ke tahap selanjutnya yakni menanyakan, apakah hubungan praktik yang dilakukan berdasar dari pemahaman atas hadis/syarh hadis/atau al-Qur’an/ dll? Kemudian apakah keikutsertaannya tersebut membuat posisinya sebagai pelaku menjadi kuat atau mendapat jabatan tertentu dari kekuasaan?

(Opening Outward) Bersikap Terbuka

Akses yang kedua ini ialah bagaimana individual atau komunitas tertentu bersikap terbuka terhadap kondisi di luar mereka. Yang mana, dapat berpengaruh terhadap praktik berislam dan signifikasi sosialnya.

Langkah pertama ialah dengan melakukan komparasi setting sosial dengan tujuan mengetahui bagaimana perbedaan praktik dalam kondisi yang berbeda namun menggunakan sumber interpretatif yang sama.

Baca Juga  H. M. Rasjidi dan Harun Nasution: Perdebatan mengenai Filsafat dan Teologi

Kemudian melacak semua kondisi yang terkait dengan penelitian sehingga dapat mempengaruhi munculnya komunitas-komunitas tertentu.

Dengan demikian, dalam memahami praktik keberagamaan Muslim maupun agama lainnya, hendaknya melalui perangkat-perangkat antropologi Islam baru.

Sebagaimana yang dicontohkan Bowen pada akhirnya tidak hanya berlaku pada tradisi-tradisi tertentu akan tetapi dapat digunakan untuk mengolah isu-isu kontemporer.

Pendekatan antropologi Islam baru ini sangat diperlukan agar memperoleh hasil yang holistik dan mendalam, dalam artian tidak melulu membahas hal-hal yang menerawang dalam pemikiran namun nihil dalam praktik.

Bagi Bowen, bagaimana praktik tersebut menjadi tradisi, apa hubungannya dengan teks dan gejala-gejala sosial lainnya.

Editor: Yahya FR

Iftahul Digarizki
8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds