Negara Saudi Arabia (Al-Mamlakah as-Su’udiyyah al-Arabiyyah) didirikan pada 23 September 1932 oleh Abdulaziz Al-Saud, cucu dari Muhammad bin Saud, pemimpin Kota Diriyah. Sejak pendiriannya, negara ini menetapkan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar hukum negara dan bahasa Arab sebagai bahasa nasionalnya. Meskipun begitu, tahukah Anda bahwa Kerajaan Saudi baru menghapuskan perbudakan pada tahun 1960-an setelah presiden Amerika ke-35, John F. Kennedy, mendesak Raja Saud bin Abdulaziz untuk mengakhiri praktik perbudakan di kerajaannya.
Arab Saudi dan Isu HAM
Arab Saudi, sebuah monarki yang berada di pusat Timur Tengah, menerapkan hukum syariah yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan dalam seluruh aspek kehidupan di negara terbesar di kawasan Timur Tengah tersebut. Dalam implementasinya, hukum Islam di Arab Saudi memiliki penafsiran yang konservatif dan cenderung bersifat patriarkal, memuliakan peran garis keturunan ayah dan nilai-nilai maskulinitas sebagai penentu utama dalam segala hal yang berkaitan dengan etika dan kebenaran dalam tatanan sosial. Perspektif ini sesungguhnya merupakan hasil dari pengaruh kuat budaya tribal tradisional yang masih berakar dalam kesadaran masyarakat Arab Saudi secara menyeluruh.
Tidak dapat dihindari bahwa Arab Saudi memiliki konservatisme dalam sistem hukumnya, yang menyebabkan negara ini cenderung enggan mengadopsi norma-norma yang sedang berkembang di tingkat internasional. Akibatnya, prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal, termasuk hak asasi manusia, memiliki sedikit dampak pada perkembangan hukum nasional di Arab Saudi. Organisasi Human Rights Watch dan Amnesty International pernah mencatat bahwa “Arab Saudi gagal melaksanakan sebagian besar perjanjian dan konvensi hak asasi manusia yang penting.”
***
Situasi ini menggambarkan bagaimana Arab Saudi tetap mempertahankan pendekatan konservatifnya dalam mengembangkan sistem hukum, sehingga menyebabkan ketidaksepahaman dengan norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Laporan tersebut menyoroti kegagalan negara ini dalam menerapkan dan mematuhi banyak perjanjian dan konvensi hak asasi manusia yang memiliki relevansi penting di tingkat internasional.
Masalah mentalitas dan pemikiran memperbudak manusia juga masih menjadi isu yang berakar dalam masyarakat Arab Saudi. Meskipun perbudakan secara resmi dihapuskan pada tahun 1962, hanya berselang 19 tahun setelah negara Mauritania menghapus praktik perbudakan, situasi ini menciptakan suatu anomali mengingat Arab Saudi telah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tiga tahun sebelum diadopsinya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948.
John F. Kennedy dan Pembebasan Perbudakan di Arab
Pembebasan perbudakan di Arab Saudi tidak dapat dipisahkan dari pertemuan Raja Saud bin Abdulaziz dengan John F. Kennedy di Florida setelah sang raja menjalani operasi pada tahun 1962. Dalam pertemuan tersebut, John F. Kennedy membahas rencana reformasi di Arab Saudi, termasuk isu penting tentang penghapusan perbudakan. Hubungan diplomatik antara Kerajaan Saudi dengan Amerika Serikat telah terjalin sejak masa kepemimpinan Franklin D. Roosevelt, Presiden ke-32 Amerika Serikat.
Hubungan bilateral antara kedua negara meliputi berbagai aspek seperti pendidikan, sosial, ekonomi, dan kerjasama di bidang pertahanan. Salah satu contoh kerjasama pertahanan adalah melibatkan perusahaan militer swasta seperti Vinnell Corporation dalam proyek modernisasi Pasukan Al Haras Al Watani As-Suudiyyah (Saudi Arabia National Guard).
Kesolidan hubungan diplomatik ini menjadi salah satu faktor penting dalam persetujuan Raja Saud bin Abdulaziz terhadap proposal reformasi yang diajukan oleh John F. Kennedy, karena diharapkan dapat memperkuat dan mempertahankan kerjasama yang baik antara kedua negara tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa negara Saudi Arabia, sebagai negara Islam, tidak secara tegas menegakkan HAM dan bahkan harus diintervensi oleh negara Amerika yang berlandaskan sistem sekuler-liberal. Selain itu, keberlanjutan praktik perbudakan di Saudi yang seharusnya menghormati nilai-nilai Islam juga menimbulkan pertanyaan. Apakah ada kemungkinan bahwa selama ini umat Islam mengalami salah penafsiran terhadap Al-Quran dan Sunnah? Selanjutnya, bagaimanakah pandangan sebenarnya dalam Islam mengenai perbudakan? Tentu hal-hal ini mengundang refleksi dan penelusuran lebih lanjut untuk memahami kompleksitas isu ini dengan baik.
Islam: Pelopor Pembebasan Perbudakan
Islam secara tegas menolak praktik perbudakan (milkul yamin) karena bertentangan dengan semangat kemanusiaan yang dianutnya. Dalam pandangan Islam, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka sebagai sebuah kemuliaan dan anugerah ilahi yang besar. Status kemerdekaan setiap individu dianggap sebagai fitrah yang ditentukan oleh Allah Swt.
Namun, pada masa lalu, adanya situasi sosial dan politik tertentu menyebabkan banyak orang terperangkap dalam kondisi perbudakan yang kelam dan menyedihkan. Syekh M. Khudhari, dalam karyanya “Tarikhut Tasyri’ Al-Islami”, berusaha memeriksa ayat-ayat yang berhubungan dengan perbudakan dari perspektif sejarah. Ia melihat bahwa sebelum Islam muncul, sistem perbudakan telah berakar dan diakui di tengah masyarakat Arab pada saat itu.
كان الرقيق موجودا بأيدي العرب حين جاء الإسلام فأقرهم على ما كان بأيديهم
Artinya: “Budak sudah ada di masyarakat Arab ketika Islam datang. Islam mengakui keberadaan budak di tangan mereka,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 39).
Meskipun demikian, semangat Islam sebagai agama yang menempatkan nilai kemanusiaan sebagai prioritas utama, secara bertahap berusaha untuk menghapuskan praktik perbudakan dan meningkatkan martabat setiap individu sebagai manusia yang merdeka dan setara di hadapan Allah Swt. Ajaran Islam, yang datang sebagai rahmat bagi seluruh umat, tidak secara langsung mencabut perbudakan, karena hal tersebut dapat menyebabkan penolakan yang besar. Oleh karena itu, Islam memilih untuk menghapuskan perbudakan secara bertahap dengan pendekatan yang bijaksana.
***
Dalam ajaran Islam, pembebasan budak dianggap sebagai kewajiban dan bentuk syukur kepada Allah (Surat Al-Balad ayat 11-18). Selain itu, pembebasan budak juga digunakan sebagai sanksi atas perbuatan dosa, termasuk kejahatan kriminal.
Rasulullah juga mengalokasikan hasil zakat untuk pembebasan budak melalui pembelian atau melalui konsep mukatab, di mana budak dapat membebaskan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada majikannya. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana Islam berusaha secara bijaksana dan manusiawi untuk menghapuskan perbudakan dan memberikan kesempatan bagi budak untuk memperoleh kebebasan dengan cara yang adil dan bermartabat.
Ide pembebasan perbudakan yang diusung dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw memang jauh melebihi zamannya. Bahkan, Amerika Barat sendiri baru mendeklarasikan pembebasan perbudakan pada masa Abraham Lincoln pada tahun 1863.
Tidaklah mengherankan jika sarjana Barat seperti Karen Armstrong menyebut Nabi Muhammad sebagai “the most remarkable human beings who ever lived” karena kontribusinya yang besar dalam menghapuskan praktik perbudakan dan memandang setiap manusia sebagai makhluk yang setara dan berhak atas kebebasan menjadi pendorong bagi perkembangan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam sejarah peradaban manusia.
Editor: Soleh