Setelah meneroka bahasa ala Soekarno dan Soeharto, kita berakselerasi dahulu untuk langsung melihat bahasa rezim Joko Widodo. Dua istilah yang dipasarkan di rezim ini adalah “blusukan” dan “revolusi mental”. Seiring itu ada pula label “sederhana” dan “merakyat” yang tersemat padanya.
Karier Jokowi di panggung politik bisa dibilang melesat cepat. Setelah menjadi wali kota di Solo, ia mengadu nasib ke ibu kota sebagai gubernur dan urung menuntaskan satu periode sebelum kemudian terpilih sebagai presiden.
Joko Widodo, sebagaimana ditulis Dadang (2020), sesungguhnya bukanlah orang yang lahir dari rahim reformasi karena tidak ikut berkeringat dalam menyuarakan reformasi. Namun juga bukan sosok yang terlibat dalam pembusukan dan pematangan politik Orde Baru. Ia hanyalah seorang pedagang mebel dan penantang politik di PDIP yang terjun ke dunia politik pada 2005. Ia jauh dari gempita tokoh-tokoh gaek sarat pengalaman semacam Prabowo Subianto, M. Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Dahlan Iskan, hingga Mahfud MD. Tapi, Jokowi menyuguhkan modal politik yang berbeda dan kelak sebagian nama di atas menjadi bawahannya.
Irit Bicara
Sama-sama berlatar suku Jawa, Jokowi dan Soekarno memiliki perbedaan yang sangat signifikan dalam gaya memimpin. Bung Karno, seperti yang kita tahu, tipe orator ulung dengan bahasa yang berapi-api. Jokowi sebaliknya: tidak mengobral banyak kata. Setiap masa memang menghadirkan tipe kepemimpinan yang berbeda, tentu dengan plus-minusnya.
Karena itulah, Tempo (2014) pernah menulis, “Jokowi bukan orator hebat. Ia berasal dari keluarga kebanyakan, dan selalu tampil sebagai orang biasa –seperti ‘kita’. Tempo melanjutkan, “Jokowi tidak tumbuh dengan kultur kata-kata. Ia, misalnya, tak akan memberikan jawaban panjang ketika ditanyai alasannya menyukai musik metal, walau ia mengoleksi kaset dan cakram padat berbagai grup alisan musik itu. Ia juga tidak pernah menyusun pidatonya dengan kata-kata indah, bahkan sering lupa konsep sambutan yang telah disusun anggota timnya. Ia lebih menyukai kehadiran fisik.”
Hingga kepemimpinan periode kedua ini, Jokowi juga tetap menggunakan bahasa sederhana dan teknis. Langsung dan apa adanya.
Ia, tampaknya, ingin menjadi antitesis dari corak kepemimpinan periode sebelumnya (baca: Susilo Bambang Yudhoyono) yang dikenal begitu lihai bertutur kata, tapi di sisi lain dianggap sebagai pencitraan belaka. Nah, Jokowi, kelihatannya, tak mau dirinya dianggap demikian. Ia pun bergeming saja terhadap sebagian anggapan yang menyatakan bahwa gaya komunikasinya masih jauh dari standar gaya seorang pemimpin: kurang berwibawa, cengengesan, tidak artikulatif. Ia juga abai atas tuduhan bahwa dirinya lebih cocok sebagai manajer atau pelaksana tugas di lapangan ketimbang menjadi presiden.
“Ia tak pandai menyampaikan gagasan. Ia bukan pemikir yang piawai menelurkan ide,” tulis Tempo lebih lanjut.
Kalangan akar rumput seperti terwakili oleh sosok Jokowi yang diidentifikasi Tempo sebagai ”kita”. Kita yang berarti “wong cilik”, “sederhana”, “kelas pekerja”. Jokowi ingin menampilkan dirinya figur yang tidak mengobral kata-kata di panggung, tapi langsung terjun bersama masyarakat. Itulah kurang lebih definisi dari “blusukan”, kata yang sukses dipasarkan di era Jokowi.
Namun, irit bicara yang kadang secara spontan termanifestasi dalam ujaran “gak mikir” itu memiliki konsekuensi. Hanya agar orang lain tidak mudah membaca. Misalnya, ketika dahulu ditanya soal kesiapannya menjadi calon presiden, Jokowi sering menjawab “gak mikir”, “saya gak tahu” , “ingin fokus dulu”. Tapi pada akhirnya bersedia juga, bahkan hingga dua periode, yang sayangnya semakin ke sini malah semakin antikritik.
Jualan “Kerja”
Pada periode pertama, Jokowi membentuk kabinet yang bernama Kabinet Kerja. Soal nama kabinet ini, tiap rezim memang menamakannya sesuai dengan persepsi yang akan dibangun di masyarakat. Sebut saja Kabinet Pembangunan I–VII, Kabinet Reformasi Pembangunan, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, Kabinet Indonesia Bersatu, hingga Kabinet Kerja.
Dengan memilih kata “kerja”, rezim kiwari ini tentu ingin menyampaikan bahwa kabinetnya lebih suka bekerja daripada, misalnya, berkata-kata. Pemilihan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kala itu, saya pikir, juga bagian dari menggulirkan wacana “kerja, kerja, kerja”. Sebab, Susi dikenal (dan pada akhirnya memang terbukti) bertangan dingin dalam urusan pekerjaan.
Dengan menggunakan kata “kerja”, Jokowi ingin membentuk persepsi masyarakat bahwa fokus utama pemerintahannya adalah bekerja. Meskipun demikian, citra “bekerja” Jokowi sering tidak sejalan, atau malah bertabrakan, dengan persepsi lain tentangnya, yaitu “kesederhanaan” dan “merakyat”.
Tirto menilai bahwa proyek infrastruktur, salah satu fokus kerja Jokowi, malah menjadi biang konflik agraria, hal yang berurusan dengan mayoritas rakyat Indonesia. Film dokumenter Sexy Killer (2019) garapan Whatdoc berkisah tentang sisi gelap proyek penambangan batu bara di Kalimantan Timur. Rakyat kecil juga yang akhirnya paling terdampak. Semangat “kerja, kerja, kerja” pun belum seia sekata dengan keberpihakan kepada “wong cilik”.
Media Massa
Jika media massa di era Orde Baru kerap diberedel, di era rezim ini lain lagi. Media massa di era Jokowi, terutama di awal-awal pemerintahan, kerap “berpihak” kepadanya. Itu tak lain karena sejumlah pemilik media tersebut menjadi bagian dari pemerintah.
Metro TV dan Media Indonesia, dua media milik Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, harus disebut paling dahulu. Sebab, dua periode Paloh mendukung penuh Jokowi. Lalu, ada TV One dan grupnya yang dimiliki Aburizal Bakrie, figur Partai Golkar yang jadi oposisi sebentar sebelum kemudian “lompat pagar” ke pemerintah hingga saat ini.
Bahkan, Republika yang dahulu kritis terhadap pemerintah kini “dibungkam” secara tidak langsung dengan menjadikan Eric Thohir sebagai menteri BUMN di periode kedua kepemimpinan (Kabinet Indonesia Maju). Belum lagi Hary Tanoesoedibjo dengan grup MNC-nya, salah satunya koran Sindo.
Maka, tak heran kalau media-media yang bersangkutan turut andil memopulerkan citra Jokowi sebagai pemimpin merakyat dan suka bekerja. Istilah ”blusukan”, terutama, menghiasi media-media itu dalam menggambarkan diri Jokowi.
Ya, Jokowi punya banyak wadah untuk “jualan” bahasa kesederhanaannya. Lewat langgam komunikasinya, gaya kerjanya, maupun media massa yang mendukungnya.
Editor: Yahya FR