Junaid Al-Baghdadi | Pada zaman sekarang, problematika yang dihadapi oleh umat Islam adalah hilangnya sikap kewaspadaan terhadap diri sendiri dan sekitarnya, sehingga menyebabkan hilangnya kebutuhan bertuhan dalam diri yang bisa menyebabkan jauh dari Allah.
Tidak heran jika sekarang banyak umat Islam yang terjerumus pada hal-hal buruk bahkan sampai pada taraf yang diharamkan oleh syariat dianggap sebagai hal yang biasa. Untuk memecahkan problematika tersebut, perlu penanaman nilai tasawuf terhadap diri sendiri terutama tentang wara’ agar mempunyai sikap kewaspadaan dalam setiap situasi dan kondisi apapun. Salah satu tokoh tasawuf yang menjelaskan ajaran tasawufnya, terutama perihal wara’, adalah Imam Junaid al-Baghdadi.
Siapa Junaid al-Baghdadi
Junaid al-Baghdadi merupakan seorang sufi beraliran suni di mana ajaran-ajaran tasawufnya didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah. Intisari ajaran Imam Junaid terletak pada dua doktrin utama, yaitu doktrin tentang tauhid dan ketenangan jiwa (sahw).
Dua doktrin tersebut melibatkan dua kondisi kesadaran manusia, yaitu kesadaran yang diambil alih oleh Tuhan dan membersamainya serta kesadaran aku sebagai subjek yang hidup di dunia.
Dalam tasawufnya, Imam Junaid menjelaskan bahwa tauhid merupakan kembalinya seorang hamba kepada tujuan awalnya, maka jadilah ia seperti halnya sebelum ada (berwujud).
Sedangkan, ketenangan hati (sahw) merupakan kondisi setelah tenggelam dalam kebersamaan dengan Tuhan menuju kesadaran dirinya yang dapat merenungi segala sesuatu untuk menempatkannya sebagaimana tempatnya.
Wara’ dalam Pandangan Junaid Al-Baghdadi
Wara’ dalam ajaran tasawuf Imam Junaid terletak pada sahw ini, yaitu ketika manusia berada pada kesadaran normalnya saat proses pencarian pada Allah sampai tiba pada fase fana’ yang berujung pada tauhid, hingga dikembalikan lagi pada kesadaran normalnya. Sikap wara’ terus ditekankan pada murid dan sahabat-sahabatnya dengan tujuan menghindari keterjerumusan dalam hasrat duniawi.
Ajaran tasawuf Imam Junaid tidak terlepas dari pengaruh kedua gurunya, yaitu Sari as-Saqathi dan Abu Harits al-Muhasibi yang keduanya merupakan seorang wara’ terhadap hal-hal duniawi.
Dalam wara’, seseorang tidak terlepas dari sifat buruk, namun bagaimana ia dapat menghindari dan mewaspadai hal tersebut. Seseorang dikatakan sudah melakukan wara’ ketika ia mampu menjaga seluruh anggota tubuhnya dari hal-hal yang haram.
Dimensi yang menjadi batasan dari wara’ mencakup dua hal, yaitu dzahir dan batin. Zahir melingkupi perilaku diri dan anggota tubuh, sedangkan batin melingkupi pada kewaspadaan agar hati tidak terpaut apapun kecuali hanya kepada Allah.
Tingkatan-tingkatan wara’ dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, Wara’ Awam
Tingkatan ini tidak terlepas dari ajaran halal dan haram dalam agama, bukan sekadar aspek makanan, melainkan pada perintah agama terhadap manusia, ketika dihadapkan pada dua hal yang masih belum jelas dalam aturan agama, maka memilih untuk meninggalkannya. Ketika seseorang dihadapkan pada sesuatu yang dilarang oleh agama, seperti mencuri, membunuh, dan sebagainya, maka akan lebih memilih untuk menjauhinya.
Kedua, Wara’ Khawas
Menurut al-Muhasibi, wara’ khawas merupakan kehati-hatian terhadap bisikan hati, dorongan nafsu, dan kesalahan persepsi akal. Akal harus tetap diwaspadai karena sering kali salah dalam mempersepsikan sesuatu karena tergoda dengan kemewahan dunia. Akal merupakan buah pikiran yang berfungsi menerima pengetahuan.
Akibat dari ketidakwaspadaan manusia, dapat menjadikan akal tumpul dalam memahami sesuatu. Akibatnya, akal bisa tidak dapat dikendalikan serta jatuh pada kepentingan duniawi saja.
Sama halnya dengan akal, nafsu merupakan potensi ilmiah yang dimiliki manusia yang memiliki daya dorongan atau hasrat dalam diri manusia. Agama tidak mengajarkan untuk melawan nafsu, melainkan mengontrolnya agar terarah pada hal-hal yang baik.
Imam Junaid mengingatkan bahwa seseorang harus berhati-hati pada kemalasan yang akan mengakibatkan pada berkurangnya keteguhan diri serta waspada pada hasrat untuk dipuji dan dihormati sebagai imbalan atas pengetahuan.
Ketiga, Wara’ Khawasul Khawas
Tingkatan ini merupakan tingkatan paling sulit dalam wara’. Pada tingkatan ini, seseorang mewaspadai dirinya agar tidak lali dari Allah, baik tiga daya yang dimiliki manusia, yaitu nafsu, akal, dan hati maupun wujud fisik manusia.
Imam Junaid mengingatkan agar menjaga diri untuk tidak lalai dari Allah, sehingga dapat menyebabkan ia menjauh dari diri mereka. Hal ini menunjukan bahwa orang yang mencapai maqam tauhid tidak akan lepas dari rintangan kelalaian, seringkali manusia lalai dalam mengingat Allah, namun harus cepat-cepat kembali untuk mengingat-Nya. Selain menjaga dari kelalaian, seseorang hendaknya menjaga hati dari terpautnya pada sesuatu selain Allah.
Editor: Yahya FR