Perspektif

Kadang Islam Perlu Menjadi Oposisi Penguasa

4 Mins read

Agenda PEMILU pada tahun ini sudah selesai, tinggal menunggu waktu lagi untuk bisa mengetahui siapa pemimpin selanjutnya untuk Indonesia. Apapun hasilnya kita sebagai umat beragama perlu melihat lagi peran agama yang bersifat oposisi dalam kehidupan masyarakat dan tak terkecuali dalam kehidupan bernegara.

Dalam sejarahnya, Agama Islam sering dijadikan simbol perlawanan atau oposisi itu sendiri. Bisa kita lihat mengenai sejarahnya, pelopor dari gerakan oposisi itu adalah Abu Bakar sepeninggal Nabi Muhammad. Abu Bakar adalah pelopor dari gerakan oposisi pemerintah yang memberikan evaluasi dan meluruskannya. (Hasyim:2016).

Bisa kita lihat ketika Agama Buddha itu lahir, bagaimana dia bisa menjadi antitesa dari sistem kasta itu sendiri. Begitu juga dalam tradisi Kristen ketika lahirnya Renaissance atas respon masyarakat terhadap dominasi gereja terhadap seluruh aspek masyarakat eropa. Tak terkecuali untuk Agama Islam.

Berbagai cerita tersebut merupakan sebuah tanda bahwa memang agama merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan terkadang agama menjadi sebuah simbol perlawanan ataupun simbol yang dilawan.

Hal ini membuktikan bahwa kisah mengenai agama selalu relevan dengan masyarakat sampai saat ini. Meskipun kisah tersebut sudah terlalu jauh dengan kondisi saat ini, tetapi kita masih bisa mengambil nilai-nilainya.

Apakah Islam Menganjurkan Oposisi?

Dalam mengkaji mengenai apakah Islam memang menganjurkan oposisi atau tidak, maka lebih baik kita melihat sejauh mana nilai-nilai oposisi itu dijalankan dan oposisi apa yang sebenarnya kita pahami. Jangan sampai pada akhirnya oposisi yang kita pahami sampai saat ini hanya sekedar oposisi yang membenci pemerintah.

Jika kita meneliti secara bahasa arab, bahwa oposisi itu memiliki sebutan mu’āraldah yang dalam pelaksanaanya terdapat dua aspek yaitu doktrin kultural dan institusi struktural. Doktrin kultural diartikan bahwa oposisi merupakan kewajiban bagi syariah itu sendiri dan tanggung jawab moral. Sedangkan dalam institusi struktural, keterlibatan organisasi sipil menjadi suatu hal yang diperlukan untuk menjadi oposisi itu sendiri.

Baca Juga  Sejarah dan Hadirnya Islam di Alam Minangkabau

Dalam negara demokrasi, oposisi sangat diperlukan kehadirannya sebagai instrumen untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Untungnya, Indonesia saat ini merupakan negara demokrasi sehingga oposisi sangat diperlukan.

***

Saat ini oposisi mempunyai stigma bahwa mereka ada pembenci pemerintah, entah muncul dari mana stigma ini, yang pasti kehadiran oposisi dianggap sebagai kontrol dari kebijakan pemerintah itu sendiri. Saat ini, partai yang paling dianggap posisinya sebagai oposisi adalah PKS. Partai ini dalam statement nya mengatakan bahwa mereka merupakan oposisi loyal, yang dimana oposisi loyal adalah berada di luar pemerintahan tetapi kritis dan positif terhadap kebijakan pemerintah.

Bukan hanya partai, tetapi organisasi sipil juga melakukan hal yang serupa. Kita mengenal Organisasi Masyarakat Islam di Indonesia yang menjadi oposisi semenjak mereka berdiri. Kita sebut saja Muhammadiyah yang dari awal berdirinya menjadi organisasi oposisi. Hal ini bisa ditinjau ketika Ahmad Dahlan memberikan makan kepada fakir miskin lalu memberikan fasilitas pendidikan kepada mereka. Rutinitas itu merupakan representatif bagaimana Ahmad Dahlan menjadi oposisi dalam sosial masyarakat pada konteks kesejahteraan.

Nahdlatul Ulama juga melakukan hal yang demikian, melalui LBH Ansor-nya organisasi tersebut siap untuk melakukan advokasi untuk warga wadas. Berbagai langkah yang dilakukan oleh partai atau organisasi sipil merupakan sebuah tanda bahwa kadang Islam bisa menjadi oposisi dan tidak. Namun bukan hanya itu saja, dalam sejarahnya Islam memang terkenal dengan sifat dan sikap oposisinya.

Kisah Islam Menjadi Oposisi

Banyak sekali kisah-kisah yang menunjukkan bahwa Islam merupakan oposisi. Hal ini bisa dibuktikan dengan sirah-sirah yang telah tertulis, seperti instruksi Umar ketika pertama kali terpilih sebagai pengganti Abu Bakar, pertarungan antara Nabi Daud dan Raja Jalut, bahkan bisa kita bilang awal terbentuknya Kaum Khawarij adalah ketika mereka menjadi oposisi Ali bin Abi Thalib.

Baca Juga  Konten Kreator kontroversial, “Numpang Viral” Ustadz Terkenal

Kisah mengenai Musa dan Fir’aun juga patut kita jadikan sebagai kisah antara oposisi dan penguasa, bagaimana Musa dalam konteks politiknya menjadi antitesa dari Fir’aun itu sendiri, serta mengkritisi kebijakan Fir’aun pada masa itu. Begitu juga Nabi Ibrahim dengan Raja Namrud, pada saat ini bisa kita artikan bahwa Ibrahim merupakan simbol oposisi di Babilonia.

Dari kisah-kisah tersebut, kita bisa pahami bahwa sejatinya gerakan oposisi sudah dilakukan sejak dahulu kala. Meskipun tidak secara spesifik menyebutkan bahwa itu merupakan kisah antara oposisi dan penguasa, tetapi nilai-nilai oposisi sudah dijalankan sejak dahulu. Sehingga bukan dijadikan alasan untuk tidak beroposisi untuk pemerintah dalam masa sekarang, karena hal tersebut sudah sering terjadi dalam sejarah, hanya aktornya saja yang berbeda.

Oposisi dalam Qur’an dan Hadis

Jika kita lihat secara keseluruhan pada teks agama, sangat sulit diungkapkan bahwa kata mengenai oposisi tidak ada dalam teks agama. Tapi yang perlu kita sadari adalah tidak ada satupun dalil atau pendapat yang secara spesifik menjelaskan mengenai oposisi itu sendiri. Maka dari itu perlu kita tinjau dari Qur’an atau Hadis itu sendiri mengenai nilai-nilai oposisi.

Secara teks, Qur’an dan hadis tidak menyebutkan secara spesifik mengenai kata oposisi atau mu’āraldah yang bahkan bisa dibilang tidak didefinisikan secara detail. Tidak adanya penjelasan bukan berarti tidak bisa dilaksanakan, banyak ayat dan hadis yang membahas mengenai keberpihakan dengan masyarakat tertindas, dan juga mengenai hadis tentang teguran kepada kemungkaran. Berbagai dalil tersebut merupakan instruksi Islam kepada umatnya untuk menjadi oposisi jika melihat kemungkaran.

Surah An-Nisa ayat 75 salah satunya. Dalam ayat tersebut Umat Islam diinstruksikan untuk membela kaum yang lemah atau bahasa Kuntowijoyo adalah kaum yang ditindas oleh sistem. Ayat ini merupakan sebuah perintah bahwa umat Islam dibolehkan untuk menjadi oposisi ketika membela kaum tertindas, karena salah satu fungsi menjadi oposisi adalah Amar, Makruf, Nahi, Munkar.

Upaya untuk bisa mencapai Amar, Makruf, Nahi, Munkar  juga tertera dalam hadis, hal ini tertulis dalam hadis Shahih Muslim no 49. Hadis ini juga menginstruksikan kita untuk selalu mencegah kemungkaran apabila kemungkaran itu datang melalui beberapa langkah. Langkah pertama adalah dengan tangan, jika tidak bisa dengan perkataan, dan jika masih belum bisa maka dengan hati.

Baca Juga  Pesantren di Indonesia sebagai Pewaris Keilmuan Islam

Untuk bisa meyakinkan kita bahwa untuk menjadi oposisi sangat diperlukan hanya perlu dua dalil tersebut, yaitu An-Nisa: 75 dan Hadis Shahih Muslim no 49. Dua dalil ini sangat bisa kita jadikan landasan dalam beroposisi, karena jika bukan kita, siapa lagi yang akan beroposisi? Maka jika tidak ada yang melakukan sikap oposisi, mulai terkikislah tujuan kita hidup di muka bumi ini yaitu Amar, Makruf, Nahi Munkar.

Wallahu a’lam Bishawab

Editor: Ahmad

Avatar
5 posts

About author
Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds