Feature

Kaffah Lahiriah dan Batiniah

1 Mins read

Lahiriah & Batiniah

Ayat “Udkhuluu fi al-silmi kaaffah” (al-Baqarah 208) amatlah populer. Ayat ini jadi lecutan sebagian pihak untuk mendirikan khilafah atau setidaknya membentuk perda syariah dsb.

Dalam kalimat “Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah”, ada sebagian yang menafsirkan kata Kaffah dalam ayat ini dengan merujukkannya pada “kalian”, bukan pada kata “al-silmi”. Jadi maksudnya kaffah itu “kalian seluruhnya, tanpa kecuali”. Arti ayatnya menjadi, “Masuklah kalian semua tanpa kecuali ke dalam al-Silm”.

Ada yang menafsirkan bahwa kaffah itu merupakan “penegasan cara” memasuki al-silmi. Jadi artinya, “Masuklah kalian ke dalam al-Silm secara kaffah”. Ini yang tampaknya lebih populer di masyarakat kini.

Dalam memaknai kata “Kaffah” ini, Guru saya memunasabahkan Ayat 208 pada ayat-ayat sebelumnya, yakni ayat 204-207. Ayat 204 berisi tentang orientasi manusia (dan peradabannya) yang matrialistik-duniawiyah, terjemahnya:

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan persaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras.”

***

Sedangkan ayat 205-206 menjelaskan lebih detil apa yang diberitakan di ayat 204. (Monggo dibuka mushafnya)

Sementara itu, ayat 207 berisi mengenai orientasi manusia (dan peradabannya) yang spiritual-ukhrawiyah, terjemahnya:

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha penyantun kepada hamba-hambaNya.”

Nah, sesungguhnya ayat 208 merupakan petunjuk atau jawaban Allah bahwa menjadi mukminuun itu harus Kaffah. Terkait dengan isi ayat 204-207, maka kaffah yang dimaksud adalah tidak hanya materialistik-duniawiyah tapi juga spiritualistik-ukhrawiyah; tidak hanya spiritualistik-ukhrawiyah tapi juga materialistik-duniawiyah.

Lalu terkait kata al-Silm (kita bahas di postingan lalu) yang bermakna “damai/tenteram”, maka ayat ini mendorong mukminun itu hidup dalam peradaban yang damai dan tenteram, dengan melakukan tugas kehambaan-mukminnya demi Rahmah pada urusan dunawi dan ukhrawi sekaligus. Itulah gambaran ideal peradaban manusia. Kaffah. Demikian tafsir guru saya.

Baca Juga  Alasan Tidak Ada Wali di Muhammadiyah!

Atas tafsir tersebut, lalu saya merenung apakah ini juga membawa petunjuk yang lebih teknis bahwa seorang mukmin itu harus selaras antara apa yang ada di dalam batin dan apa yang aktual dalam perilaku? Dan untuk itu, seorang mukmin harus menjalankan aturan lahiriah agama yang di saat yang sama juga menyelami samudera batiniahnya?

Tentu saya tidak berani menafsiri, maka sedang saya tanyakan renungan saya tersebut pada guru saya. Mari merenung.

Avatar
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *