Berbicara mengenai al-Qur’an, tentulah kita tidak akan pernah lepas dari yang diamanahi untuk menyampaikan kalam sucinya kepada seluruh alam yaitu Nabi besar baginda Nabi Muhammad Saw. Beliau merupakan seorang nabi terakhir yang memiliki tugas berat daripada nabi sebelumnya tidak hanya wajib menyampaikan dakwah dan risalah Islam kepada kaumnya bahkan kepada seluruh umat manusia, bahkan juga kepada seluruh makhluk ghaib (Jin) karenanya di dalam al-Qur’an disebutkan, “tidaklah kami mengutusmu kecuali untuk memberikan rahmat kepada seluruh alam”. Namun demikian, ada semut pasti juga ada gula, tetap saja akan adanya yang menentang, melawan bahkan ingin menghancurkan umat Islam daripadanya.
Terlebih karenanya mereka sangat mengkhawatirkan bila al-Qur’an menjadi pegangan hidup umat Islam. Dengan al-Qur’an, umat Islam memiliki pemikiran-pemikiran yang aktual dan strategis dalam membangun kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, umat Islam dalam pikiran kaum ekstremis dan kaum orientalis terutama mereka harus dijauhkan dari al-Qur’an. Salah satu serangan mereka dalam upaya meragukan umat Islam tersebut adalah dengan menghujat penulisan dan kompilasi al-Qur’an.
Serangan Para Orientalis
Berbagai macam serangan yang dilontarkan oleh para Sarjana Barat dalam meragukan keotentikan al-Qur’an. Sebagaimana beberapa argumen mereka berikut ini:
Pertama, dalam pandangan sarjana Barat mereka tidak mempercayai adanya penyatuan al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Menurut mereka, tidak terhimpunnya al-Qur’an pada masa Nabi dimaksudkan agar Nabi mudah melakukan revisi, penambahan dan pengurangan.
Kedua, kritikan dan serangan oleh Richard Bell dan Friedrich Schwally. Mereka menyatakan penolakannya terhadap pengumpulan materi wahyu (al-Qur’an) pada masa Abu Bakar. Adapun beberapa alasan yang diungkapkan oleh Friedrich adalah sebagai berikut:
1) Hadis yang menautkan al-Qur’an dihimpun dengan banyaknya qurra yang meninggal dalam perang Yamamah sebenarnya palsu karena dua faktor. Pertama, para qurra yang meninggal pada perang tersebut jumlahnya sedikit. Kedua, keterkaitan antara dihimpunnya al-Qur’an dengan banyaknya para qurra yang meninggal dalam perang Yamamah tidak logis. Alasannya, ketika Muhammad masih hidup, al-Qur’an telah ditulis secara bertahap. Oleh karenanya, tidak tepat menjadikan kematian para qurra sebagai alasan untuk menghimpun al-Qur’an.
2) Terdapat perbedaan riwayat, apakah al-Qur’an yang dihimpun pada zaman Abu Bakar identik dengan yang dihimpun dengan pada masa Utsman. Schwally menyatakan bahwa riwayat palsu yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah dihimpun pada masa Abu Bakar.
3) Jika al-Qur’an yang dihimpun oleh Abu bakar dan diwariskan kepada Umar merupakan edisi resmi maka terdapat kontradiksi. Karena mushaf para sahabat masih banyak beredar dan digunakan di berbagai kawasan. Selain itu, Umar mewariskan mushaf yang dihimpun pada zaman Abu Bakar itu kepada Hafsah, bukan kepada Utsman. Hal ini menunjukan mushaf tersebut bukanlah salinan resmi. Sehingga Schwally menyimpulkan riwayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah dihimpun pada zaman Abu Bakar adalah rekayasa belakangan supaya al-Qur’an yang dihimpun oleh Utsman, yang ditolak oleh sebagian komunitas muslim menjadi lebih otoritatif.
Ketiga, kritik dan serangan oleh Friedrich Schwally terhadap penghimpunan al-Qur’an oleh Zaid bin Tsabit di masa Abu Bakar, yang nantinya akan digunakan untuk model yang akan disalin. Menurutnya, ada hal yang aneh karena Utsman telah menunjuk sebuah tim lagi untuk menghimpun dan mengedit al-Qur’an di bawah naungan Zaid, sehingga muncul lah pertanyaan mengapa Zaid bin Tsabit tidak dapat memanfaatkan penyiapan Suhuf tersebut saat di masa Abu Bakar?
Dengan demikian, dari sekian pertanyaan kritik dan serangan oleh sarjana Barat tersebut. Para ulama Muslim menjawabnya dengan sangat lugas dan logis. Berikut jawabannya:
Bantahan Para Ulama Muslim
Pertama, jawaban atas tidak percayanya mereka atas penyatuan al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dikarenakan terdapat riwayat palsu yang menyatakan bahwa al-Qur’an telah dihimpun pada masa Abu Bakar. Tentunya hal itu dijawab oleh beberapa ulama dengan beberapa referensi seperti dari karya al-Thabari, yang menyebutkan bahwa perang Yamamah terjadi pada tahun 11 H, sedangkan Ibnu Qani pada akhir tahun 11 H.
Namun menurut Ibnu Hazm, hal itu terjadi 7 Bulan setelah pelantikan Abu Bakar menjadi khalifah, juga al-Waqidi menyebut 12 H. Tetapi Ibnu Katsir mendamaikannya dengan menyebut perang Yamamah dimulai 11 H dan berakhir 12 H. Dengan demikian terdapat waktu sekitar beberapa bulan dalam menghimpun al-Qur’an. Oleh karenanya, al-Qur’an dihimpun pada masa Abu bakar memang terjadi, dan bukan sebuah rekayasa.
Kedua, jawaban atas hanya dua orang dari qurra yang meninggal pada Perang Yamamah. Hal itu tidaklah logis, sebab diperkirakan sebanyak 600 sampai 700 orang muslim meninggal pada perang tersebut. Pendapat al-Thabari 300 diantaranya adalah kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedangkan menurut Ibnu Katsir, 450 orang muslim yang terbunuh, dan 50 diantaranya Muhajirin dan Anshar. Adapun pendapat lainnya, semua yang meninggal berjumlah 700 dan semuanya adalah qurra, juga ada yang berpendapat 70, dengan demikian yang pasti bahwa yang meninggal bukan 2 orang, tetapi banyak.
Ketiga, jawaban atas kritik oleh Schwally bahwa riwayat yang menyatakan al-Qur’an telah dihimpun pada zaman Abu Bakar adalah rekayasa belakangan supaya al-Qur’an yang dihimpun oleh Utsman, yang ditolak oleh sebagian komunitas muslim menjadi lebih otoritatif. Adapun jawabannya pertama perlu diketahui bahwa ketika Utsman menyuruh menghimpun Al-Qur’an, Usman menggunakan mushaf yang di tangan Hafsah. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar memang mengkompilasi Al-Qur’an. Adapun bahwa mushaf yang di tangan Hafsah tidak sepenuhnya mewakili Al-Qur’an bukanlah isu penting bagi kaum muslim. Sebabnya, kaum muslim meyakini kebenaran yang ada pada mushaf Utsman bukan pada mushaf Abu Bakar.
Kemudian jawaban atas pernyataan Friedrich Schwally, mengapa Zaid bin Tsabit tidak dapat memanfaatkan penyiapan Suhuf tersebut saat di masa Abu Bakar? Mustafa al-A’zami memberikan analogi logisnya begini; “agar mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid mesti bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru peribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan teks itu.”
Kemudian dari analogi di atas ia tarik sebagai bantahan yang logis namun ilmiah bahwa, “demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid Bin Tsabit. Dalam mendikte ayat-ayat al-Qur’an kepada para sahabat, Nabi Muhammad melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang lebih terpercaya didasarkan pada hubungan antara guru dan murid; sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka ia tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain”.
Editor: Soleh