Kalender Islam | Harus diakui, sesungguhnya kalender Hijriah kalah tenar dibandingkan dengan kalender Masehi. Hal ini dibuktikan dengan digunakannya kalender Masehi di setiap kegiatan kita. Hampir setiap kegiatan yang kita jalani justru menggunakan tanggal dari Masehi.
Bahkan, dalam menentukan awal Ramadan sekalipun, meski mengacu pada Hijriah, pada akhirnya nanti dikonversi ke Masehi. Kemungkinan hanya kultur dan konvensi yang menjadikan kalender Masehi seolah-olah lebih dominan daripada kalender Hijriah.
Padahal di sisi yang lain sesungguhnya kalender Hijriah telah melintasi garis sejarah yang panjang. Dalam kalender Hijriah itu sendiri ada suatu pembahasan yang mungkin sangat menarik untuk diulas.
Kita paham bahwa perbedaan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Di dalam dunia Islam sendiri, telah terjadi polarisasi antara ilmu agama dan ilmu nonagama (umum). Sepanjang perjalannya, kedua ilmu ini seolah-olah dibentur-benturkan dan tidak menemukan titik temu.
Sampai akhirnya muncul suatu gagasan untuk mengintegrasikan dan menginterkoneksikan antara dua elemen tersebut. Salah satu pemikir yang konsen menyuarakan integrasi-interkoneksi adalah Prof. Amin Abdullah. Seterusnya polarisasi seperti itu menimbulkan banyak implikasi-implikasi. Salah satu yang mungkin, menurut hemat saya, berimplikasi pada posisi pengguna rukyat dan hisab.
Antara Rukyat dan Hisab
Pada dasarnya, antara rukyat dan hisab berkisar pada persoalan metodologis. Pada awalnya, keduanya merupakan pertentang suatu sistem metodologi dalam menentukan bulan Kamariah—secara spesifik awal Ramadan dan Syawal. Entah sengaja atau tidak dampaknya justru tidak main-main yang menjadikan keduanya menjadi pakem ideologis.
Perbedaan keduanya menjadi semakin kental sembari menegasi satu sama lain. Pengguna rukyat mempertanyakan pengguna hisab dalam memosisikan hadis dan Al-Qur’an. Sementara pengguna hisab menodong dengan bertanya bagaimana pengguna rukyat memosisikan sains modern. Ini memberikan potret kepada kita ihwal polarisasi ilmu agama face to face sains serta implikasinya terhadap problem hisab dan rukyat.
Perselisihan Akibat Beda Pendapat
Pertentangan rukyat dan hisab memang sudah menegang sejak bertahun-tahun. Bahkan, pada Idul fitri 1969 terjadi bentrok fisik akibat dari keyakinan kedua kubu.
Pendukung keduanya melakukan duel fisik untuk menegaskan superioritas metode masing-masing. Penulis buku ini mengutip Andre Moller dan mengilustrasikan pertentangan terselubung keduanya.
Jika terjadi perbedaan dalam menentukan bulan Kamariah, ketika kedua belah pihak berkumpul, mereka cenderung tenang dan menahan emosi. Namun, bila pengguna rukyat saja yang berkumpul atau sebaliknya, maka pembahasannya jauh lebih menohok. Pengguna hisab menyindir kekolotan pengguna rukyat dan sebaliknya pengguna rukyat menanyakan bagaiaman ahli hisab menafsirkan Al-Qur’an.
Kalender Islam Bersatu
Oleh sebab itu dan banyak alasan lain, penulis buku ini mencoba untuk mengajukan gagasan penyatuan kalender Islam. Penulis barangkali menyadari, bahwa sesungguhnya lama-lama tenggelam dalam berbedaan tidak begitu menguntungkan, bahkan rawan menjadikan kebingungan.
Benar saja, dalam menentukan awal puasa dan lebaran, kita masih terpecah-pecah dan bingung. Seandainya unifikasi kalender Islam terwujud alangkah menyenangkan jika nantinya tidak ada lagi perbedaan menentukan bulan Kamariah. Namun, penulis juga menydari, bahwa langkah penyatuan tersebut tidak pernah mudah. Ada banyak hal yang harus diusahakan untuk mencapai unifikasi.
Proses penyatuan itu telah lama didengungkan, namun masih belum pada tahap terang. Ada banyak sekali gagasan yang tertuang dalam bentuk jurnal, opini, bahkan seminar. Banyak konferensi yang dilakukan untuk membahas tentang topi itu, dari taraf nasional sampai internasional.
Di Indonesia ada beberapa kalender Islam yang berlaku. Di antaranya, kalender Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiya dan telah dirintis sejak KH. Ahmad Dahlan. Kemudian juga ada Almanak PBNU yang dipelopori oleh Tim Lajnah Falakiyah PBNU.
Ada juga almanak Islam PERSIS yang dikelurkan ooleh Dewan Hisbah PERSIS. Terakhir, ada taqwim standart Indonesia. Keempat kalender yang berkembang tersebut punya keunikan dan kecenderungan masing-masing(hlm.72)
Tidak cukup sampai di situ sebetulnya, penulis buku juga memaparkan pemikiran Hamka dan Hasbi Ash-Shiddieqy ihwal kalender Islam.
Hakma tenar dengan tafsirnya yang bertajuk Al-Azhar, sedang Hasbi dengan gagasan fikih Indonesia. Keduanya, menyarakan agar negara tidak memberikan ruang bagi terkotak-kotaknya umat Islam dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan.
Bahkan, Hasbi menyuarakan pentingnya Lajnah Rukyat Internasional, meski gagasannya saat itu diklaim sulit terealisasi. Nyatanya tidak. Pada 1998, Nidhal Guessoum, Jalaluddin Khanji, serta Muhammad Odeh, mendirikan Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP). Lembaga yang menjadi referensi bagi para pemburu hilal di seluruh dunia.
Buku ini memang menarik, sebab mengkaji hal-hal yang mungkin tidak begitu mainstream di khazanah kita. Ditambah lagi, realitas bahwa dominasi kalender Masehi masih satu setrip di atas kalender Hijriah. Kajian ini menarik dan perlu disikapi lebih lanjut.
Judul Buku : Penyatuan Kalender Islam
Penulis : Susiknan Azhari
Penerbit : Absolute Media
ISBN : 978-602-492-058-6
Editor: Yahya FR