Membaca sebuah buku yang berisikan pembahasan berat, seperti agama, tentu akan membuat kerut kening siapa pun yang membacanya. Apalagi bila buku itu berisikan jawaban mengenai banyaknya kesalahtafsiran yang membuat seseorang salah kaprah dalam menilai agama, tentu hal itu akan menjadi sebuah kebimbangan tersendiri bagi pembaca ketika hendak membacanya.
Akan tetapi, hal itu tak berlaku bagi buku Islam Alternatif (2021) yang ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat. Karena meski buku tersebut membahas mengenai pembahasan yang berat, Kang Jalal, selaku penulis dan juga pakar komunikasi, dapat menuliskannya dengan bahasa sederhana yang mudah dicerna. Sehingga hal itu dapat membantunya dalam mengomunikasikan hal yang dimaksudkannya.
Bab Pertama
Dalam bab pertama, sekaligus pembuka buku itu, pembaca akan langsung diperlihatkan dengan kecerdasan Kang Jalal ketika menjawab pernyataan-pernyataan “miring” yang dilontarkan para tokoh dunia yang memandang buruk keberadaan agama.
Dalam tulisannya, ia menjawab pernyataan-pernyataan itu dengan sebuah temuan dari aliran mereka sendiri yang membuatnya menjadi “boomerang” bagi para tokoh tersebut. Setelah menjawab “serangan” dari para tokoh itu, dengan kebijakannya, ia menafsirkan alasan yang menjadi pendorong para tokoh itu untuk “mencap” buruk keberadaan agama dan menjelaskannya secara rinci dalam buku yang ia tulis.
Selain itu, kecerdasan lainnya, Kang Jalal pun memberikan beberapa contoh kasus dalam tulisannya yang membuatnya semakin mudah dipahami. Bukan semata-mata contoh kasus, tapi sebuah contoh kasus yang relatable dengan kehidupan manusia saat ini. “… paling tidak ada tiga hal yang sering merusak tauhid al-ummah … ketiga hal itu ialah keturunan, kekuasaan, dan kekayaan” (hlm, 38).
Selain membeberkan mengenai segala hal dasar yang menjadi faktor penyebab munculnya permasalahan, Kang Jalal pun memberikan solusi terhadap hal yang disebutkannya. Sehingga, hal itu dapat menjadi dasar bagi seseorang untuk dapat mengklaim bahwa Kang Jalal merupakan seorang yang bertanggung jawab.
Solusi yang diberikan pun bukanlah sebuah solusi yang tanpa dasar, tetapi solusi yang berdasarkan ilmu agama yang menjadi pemahamannya. Sembari mengutip QS 6: 162-163, Ia menjawab “Untuk melenyapkan perbudakan, kita memerlukan manusia-manusia yang mencontoh Ibrahim a.s dan keluarganya” (hlm, 40).
Kecerdasan Kang Jalal
Dari paparan di atas, selain dapat melihat kecerdasan, kebijakan, dan tanggung jawab dari Kang Jalal, dalam bukunya, pembaca pun dapat melihat keberaniannya. Hal itu dapat dilihat ketika ia mencoba untuk menyinggung dan menaikan keburukan-keburukan yang terjadi di masyarakat, terutama dalam berbagai profesi yang sedang dilakoni. Sehingga, bila itu dapat dipahami, secara tidak langsung, ia mengingatkan kepada siapa pun untuk tidak melakukan keburukan yang dapat merugikan dirinya sendiri.
“Dewasa ini masih banyak kita lihat Fir’aun kecil yang tertawa gembira di atas penderitaan orang lain; Fir’aun-Fir’aun kecil yang menggunakan wewenang untuk berbuat sewenang-wenang” (hlm, 39).
“Tauhid al-ibadah bagi seorang pejabat ialah bila memperoleh kesempatan untuk memperkaya diri dengan wewenangnya, ia ingat bahwa jabatan adalah amanat Allah dan amanat rakyat (hlm, 41).
Dari dua kutipan di atas, dapat dilihat bahwa kedua hal tersebut memang sering terjadi saat ini. Ketika seseorang menjadi lebih berkuasa dan kaya, seakan mereka memiliki hak untuk menindas orang lain dengan seenaknya.
Ketika mereka, para pejabat, memperoleh kesempatan untuk mengatur tatanan negara, malah justru lupa kepada amanatnya. Bila tidak merasa benar dan berani, tentu Kang Jalal tidak akan memasukan itu kepada tulisannya.
Yang Abu-Abu dalam Tulisan Kang Jalal
Meski terlihat hampir seluruh tulisannya “sempurna”, setidaknya ada satu yang berwarna “abu”. Keabuan itu ialah ketika ia mencoba masuk ke dalam ranah agama lain. Hal itu tentu perlu verifikasi lebih dalam lagi untuk mengetahui maksud Kang Jalal membahas sedikit agama lain dalam bukunya, sehingga dapat meminimalisir sebuah ketersinggungan dan konflik.
Meski begitu, isinya pun bukanlah hal buruk. Ia mungkin hanya membuat simpulan dari pengamatannya atau bahkan ia sebenarnya sempatkan bertanya kepada pemuka agamanya.
Sehingga, hal itu bisa menjadi benar dan bukan menjadi masalah. “Kalau saya tidak salah lihat, Katolik mempunyai titik berat dimensi ritual yang lebih banyak daripada Protestan” (hlm, 45-46).
Secara keseluruhan, terutama bab pertama, Kang Jalal berhasil menyederhanakan pembahasan berat dengan bahasanya sendiri tanpa melupakan Islam sebagai dasarnya. Sehingga, hal itu dapat membuat siapa pun yang membacanya dapat paham dengan maksud yang hendak disampaikan. Karena tak semua orang bisa menyederhanakan kerumitan dengan tepat, tapi Kang Jalal merupakan salah satu orang yang dapat melakukannya.
Editor: Yahya FR