Fikih

Melihat Fikih Lewat Kaca Mata Lingkungan Hidup

3 Mins read

Bab Thaharah dalam Kitab Fikih

Fikih Lingkungan – Hampir semua kitab fikih dimulai pembahasannya dengan bab Thaharah. Yang dimaksud dengan Thaharah adalah bersuci dari hadas dengan cara mandi, wudu dan menghilangkan najis. Untuk bisa bersuci yang sah diperlukan air yang suci dan mensucikan.

Di antara syarat air dianggap suci, apabila ia tidak tercampur dengan sesuatu yang larut. Misalkan, air suci tercampur dengan susu. Apabila air tersebut berubah sehingga tidak bisa lagi disebut dengan air mutlak, melainkan air susu, maka ia tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci.

Perubahan status air yang awalnya suci dan mensucikan menjadi hanya berstatus suci dan tidak lagi mensucikan bisa menjadi inspirasi bahwa sudah seharusnya sumber-sumber air harus dijaga. Jangan sampai air yang ada tercemar karena ulah tangan manusia sendiri.

Pembuangan limbah, baik dalam bentuk benda padat maupun cair ke air laut, sungai atau mata air lainnya harus ditinggalkan. Karena hal itu akan merusak status air tersebut. Minimal merubahnya menjadi tidak bisa dipakai lagi.

Bahaya maksimumnya, akan berefek terhadap rusakanya ekosistem air baik di mata air, laut, sungai, dan lainnya. Para binatang laut juga akan mendapatkan dampaknya. Sudah sering kita mendengar berita di mana paus mati. Ketika dibuka perutnya, penuh dengan tumpukan sampah. Kepala kura-kura tertusuk benda tajam yang terbuang di laut.

Fikih Lingkungan: Meninggalkan Segala Hal yang Dapat Mengubah Status Air

Meski dalam fikih, yang bisa merubah status air itu menjadi tidak lagi mensucikan adalah apabila tercampur cairan, kita harus mengambil inspirasi darinya dengan meninggalkan segala hal yang bisa merubah status air itu. Segala hal yang berlebihan pasti merusak, termasuk limbah.

Baca Juga  Melihat Perempuan Non Muslim Tidak Berhijab, Haram?

Oleh karenanya, Fikih memaklumi kalau ada benda najis yang tidak terlihat oleh mata, atau kejatuhan bangkai yang tidak mengalir darahnya, air tersebut tetap bisa mensucikan. Karena yang jatuh ke dalamnya adalah barang yang kecil dan sedikit.

Berbanding terbalik jika yang jatuh ke air adalah benda najis yang besar dan nampak oleh mata, atau bangkai yang mengalir darahnya, maka ia bisa merubah status air menjadi mutanajjis.

Meminimalisir Proses Penambangan Emas yang Tidak Sehat

Dalam bab Thaharah juga, cakupan pembahasannya melebar ke persoalan bejana. Seseorang boleh memakai bejana yang terbuat dari apapun itu. Namun fikih, mengecualikan bejana yang terbuat dari Emas dan Perak. Kebolehan menggunakan emas dan perak sebagai bahan baku bejana, hanya sebatas jika emas dan perak itu lebih kecil porsinya dibanding bahan baku yang lain.

Contohnya, satu mangkok, bahan bakunya terdiri dari tembaga dan emas. Jika jumlah tembaganya lebih besar dibanding emasnya, maka itu boleh dipakai. Apabila sebaliknya, maka tidak boleh dipakai.

Dalam dimensi sosial, pembatasan penggunaan emas sebagai bahan baku bejana ini bisa menjadi inspirasi bahwa dalam mengeruk bahan alam khususnya emas dan perak dari bumi harus dibatasi. Jangan sampai, kerasukan manusia untuk mencari kekayaan dengan mencari emas dan perak merusak ekosistem alam.

Contoh nyata yang terjadi para PT. Freeport. Sebagaimana data yang dikelurkan pada tahun 2017 oleh Badan Pemeriksaan Keuangan, menunjukkan bahwa kerugian negara di bagian hulu sebesar Rp. 10,7 triliun dan di bagian muara sebesar Rp. 8,2 triliun. Sedangkan Laut Arafura, negara rugi Rp. 166 triliun.

Kerugian yang tentunya tidak sedikit ini diakibatkan pengelolaan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan dengan baik, diakibatkan proses penambangan emas yang berlebihan oleh pihak PT. Freeport. Ditambah lagi, lemahnya negara untuk bisa me-loby pihak perusahaan agar bisa mengurangi tambang mereka.

Baca Juga  Haruskah Bermazhab Fikih di Zaman Sekarang?

Menyayangi Binatang

Dalam persoalan hewan. Fikih telah menyatakan bahwa hewan yang boleh dimakan tapi disembelih dengan tidak syar’i, maka ia tergolong bangkai yang najis dan tidak boleh dimakan.

Syarat suatu sembelihan dianggap sah apabila alat pemotongnya tajam, sembelihannya dilakukan di bagian leher, dan harus terputus tenggorokan dan hablul waridnya.

Dalam proses penyembelihan, hewan yang disembelih harus dijatuhkan, jangan sampai dalam kondisi berdiri dan juga hewan yang lain harus dijauhkan, agar tidak melihat proses pemotongan tersebut.

Dengan cara memotong seperti ini, hewan yang disembelih tidak akan merasa kesakitan yang lama, sehingga ia tidak merasa tersiksa. Begitulah Islam mengajarkan untuk menyayangi binatang.

Hal ini berbanding terbalik dengan cara pemotongan modern yang banyak dikenal sangat tidak hewani. Barat mengklaim bahwa pemotongan cara mereka lebih baik dari cara Islam. Salah satu metode mereka adalah dengan Captive Bolt Pistol (CBP). Caranya dengan menembakkan hewan hingga pingsan. Cara seperti ini sebenarnya sangat baruk.

Karena implikasinya akan mengakibatkan darah hewan tidak mengalir keluar dengan deras. Kondisi jantung yang bertedak tidak normal, dan akhirnya sel darah akan menumpuk dan membeku di pembuluh darah.

Hal ini berbanding sebaliknya dengan cara penyembelihan dalam Islam, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti asal Universitas Hannover Jerman, Prof. Schult dan Dr. Hazim, yang membandingkan kedua metode penyembelihan, Islam dan Barat.

Hasilnya adalah hewan penyembelihan dengan metode Islam, darahnya keluar dengan lancar, detak jantung sebelum disembelih normal, dan tentunya kondisi ini mempengaruhi makanan menjadi lebih higienis.

Membaca Fikih Lewat Perspektif Lingkungan Hidup

Pembacaan fikih dengan dimensi lingkungan seperti ini perlu digalakkan. Bab Thaharah yang penulis tulis disini adalah salah satu gambaran bagaimana Islam bisa menjadi inspirasi budaya kritis terhadap realitas.

Baca Juga  Daftar Tiga Pesantren Berwawasan Lingkungan di Indonesia

Dalam fikih, masih banyak lagi bab-bab yang bisa dikaji dengan pendekatan sosil dan lingkungan. Karena Islam adalah agama yang peka terhadap kedzaliman yang diperbuat oleh manusia.

Editor: Yahya FR

Muhammad Kholid
2 posts

About author
Guru di Pesantren At-Taqwa Depok
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *