Kapan keadilan dalam bentuk kesetaraan pendapatan antara penduduk desa dan kota dapat terwujud? Kebijakan pemerataan ekonomi yang berpusat di perkotaan menjadi sebab timpangnya hubungan antara masyarakat desa dan kota. Pertumbuhan ekonomi di pedesaan tetap terbelakang sementara di perkotaan melaju pesat sehingga memicu gejolak urbanisasi dan segala dampak turunannya, seperti pemukiman kumuh, kejahatan kriminal, dan lain-lain.
Pembangunan Berbasis Perkotaan
Pembangunan ekonomi berbasis perkotaan bukan masalah baru di negeri ini. Sejak masa Kolonial Belanda telah ada kebijakan untuk memusatkan perekonomian di kota. Hal ini terlihat dengan pembangunan fasilitas produksi dan perkantoran sebagai penunjang. Maka perekonomian di perkotaan tumbuh pesat seiring dengan pembangunan fasilitas-fasilitas produksi dan faktor-faktor penunjang lainnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan di pedesaan. Penduduk di pedesaan hanya mampu menghasilkan komoditas mentah untuk dikirim dan diolah menjadi barang jadi di kota. Hubungan keduanya selalu menempatkan ketidakadilan. Sebab, orang di kota yang tidak membantu jerih payah penduduk desa untuk menghasilkan komoditas, tetapi menikmati hasil yang lebih banyak dibanding penduduk pedesaan.
Dengan ketersediaan alat-alat produksi dan segala fasilitas penunjang lainnya, penduduk kota sebenarnya hanya menerima komoditas mentas kemudian sedikit mengolah dan menyalurkan lewat proses yang sangat singkat. Akan tetapi, justru mereka dapat menghasilkan keuntungan melebihi apa yang didapatkan dari penduduk desa.
Akibatnya, kota-kota besar di Indonesia selalu menjadi magnet urbanisasi penduduk desa. Sebagai contok dua kota megapolitan yang menampung kehidupan penduduk Indonesia bagian barat, yakni Jakarta dan Indonesia Timur, yakni Surabaya. Keduanya telah terkonstruksi dari sejak pemerintahan kolonial Belanda.
Kesenjangan
Bertahap kemudian kedua kota tersebut mengalami pertumbuhan penduduk begitu cepat sejak Indonesia mulai merdeka, setelah dilakukan sensus penduduk. Kepadatan itu berakibat pada kualitas kehidupan penduduk di perkotaan. Penduduk dari desa mayoritas berpendidikan rendah yang datang ke kota sehingga menjadikan mereka hanya mampu mengisi pekerjaan-pekerjaan informal. Seperti tukang becak, pedagang kaki lima, pemulung, bahkan banyak juga di antara mereka menjadi pengemis. Permasalahan ini sebenarnya sudah dirasakan sejak masa awal kemerdekaan.
Permasalahan urbanisasi sebenarnya telah beberapa kali diatasi, salah satu contohnya di Jakarta pada saat era Gubernur Ali Sadikin. Pada waktu itu Gubernur DKI membuat kebijakan Jakarta sebagai “kota tertutup.” Penduduk dari luar yang tidak mempunyai KTP Jakarta dilarang tinggal atau menetap. Namun, kebijakan ini tidak bertahan lama.
Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi di Surabaya. Seperti halnya di Jakarta, di Surabaya pun akhirnya mengalami masa di mana banyaknya jumlah pengangguran sehingga mengakibatkan permasalahan sosial lainnya. Dan salah satu permasalahan sosial yang menyita perhatian pemerintah kota adalah munculnya pemukiman-pemukiman kumuh di berbagai sudut kota.
Sejak pemerintahan Orde Baru, kebijakan untuk mengakselerasi pembangunan di kota dengan membuka investasi selebar-lebarnya membuat kesenjangan sosial semakin meningkat. Pertumbuhan masyarakat kaya baru di perkotaan semakin tinggi, namun hanya segelintir orang. Sebaliknya, pertumbuhan masyarakat miskin kota begitu tinggi sehingga banyak di antara mereka yang tidak mampu bersaing dengan kerasnya kehidupan di perkotaan.
Desa Tetap Tertinggal
Kondisi yang sama masih terus berlanjut hingga saat ini. Persoalan kemiskinan masih belum teratasi, tetapi pemerintah kota seolah ingin menutup persoalan kemiskinan yang ada di kota. Para pemimpin hanya berlomba-lomba menunjukkan keindahan penataan kota. Mulai dari gedung-gedung, jalan-jalan yang lebar, fasilitas umum yang memadai, ruang publik berupa taman-taman, dan berbagai fasilitas yang menarik lainnya yang dapat mereka tunjukkan melalui sosial media.
Sampai hari ini, belum ada kebijakan bagaimana menaikkan pendapatan perkapita masyarakat desa sehingga bisa setara dengan pendapatan masyarakat di kota. Amat miris ketika melihat seorang petani meminta agar anaknya tidak bercita-cita menjadi petani seperti bapaknya. Kondisi ini yang membuat segala kebijakan untuk membangun kota tidak akan bermanfaat apabila tidak berbanding lurus untuk membangun kekuatan perekonomian di desa.
Kita pun berharap, kapan terwujudnya kesetaraan pendapatan penduduk kota dan desa? Harapan tersebut mudah-mudahan didengar oleh pemangku kebijakan di pusat pemerintahan.
Editor: Arif