Perspektif

Pernikahan Dini: Bukan Cintanya yang Terlarang, Hanya Waktu Saja Belum Tepat

3 Mins read

Sebelum membahas mengenai pernikahan dini, mari kita bahas dulu apa yang dimaksud dengan pernikahan.

Apa itu Pernikahan?

Menurut UU No.1 tahun 1974, penikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum: 21, yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Pernikahan Dini

Pernikahan dini adalah pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 19 tahun (masih berusia remaja). Karena sesuai UU No.16 Tahun 2019, pernikahan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Berdasarkan hasil Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, usia ideal pernikahan bagi perempuan dan laki-laki adalah 21 tahun.

Jika di Indonesia sudah ada UU yang mengatur batas usia untuk melangsungkan pernikahan, lantas apa yang menjadi faktor adanya pernikahan dini?

Faktor-faktor Pernikahan Dini

Faktor ekonomi, apabila dalam suatu keluarga memiliki anak lebih dari empat. Kemudian, mereka tidak mampu untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka. Maka, bisa saja orang tua beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya kepada seseorang yang lebih mampu akan mengurangi biaya kehidupan sehari-hari.

Faktor orang tua, ada beberapa orang tua yang beranggapan bahwa lebih baik menikahkan anaknya sesegera mungkin daripada anaknya melakukan zina saat berpacaran.

Faktor lingkungan, ketika sudah terjadi pergaulan bebas yang menyebabkan si anak hamil di luar nikah, maka orang tua akan menikahkan anaknya dengan orang yang sudah menghamilinya.

Baca Juga  Guru Sesungguhnya, Guru di Masa Pandemi

Faktor pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan membuat para remaja tidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan dini.

Faktor adat istiadat, ada beberapa daerah yang memiliki adat istiadat menjodohkan anaknya sedari ia kecil. Karena itu, orang tua ingin segera menikahkan anaknya demi menjalin hubungan kekerabatan yang telah dibangun sejak lama.

Risiko Pernikahan Dini

Dikutip dari suara.com (16/12/2019), Jika dilihat dari segi kesehatan fisik perempuan, organ reproduksi pada perempuan di bawah usia 20 tahun belum matang dengan sempurna. Perempuan yang melakukan aktivitas seksual di bawah usia 20 tahun dapat berisiko menimbulkan berbagai penyakit, seperti kanker serviks dan kanker payudara.

Selain itu, risiko masalah kesehatan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu belum cukup umur antara lain: BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), kelainan kongenital (cacat bawaan), hingga kematian janin. Kesedihan tentu akan dirasakan oleh pasangan jika buah hatinya mengalami masalah kesehatan yang dapat membahayakan nyawa janin tersebut.

Tidak hanya dari segi kesehatan fisik, pernikahan dini berdampak negatif pada kesehatan mental atau kondisi psikologis pasangan tersebut beserta anaknya. Ketidakstabilan emosi pada remaja dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Upaya Mengurangi Pernikahan Dini

Dikutip dari kemenpppa.go.id (04/02/2020), pencegahan perkawinan anak adalah satu-satunya program percepatan yang tidak bisa ditunda lagi. Menilik data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi, yaitu mencapai 1,2 juta kejadian.

Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan umur 20 – 24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak. Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20 – 24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki, di mana 1 dari 100 laki-laki berumur 20 – 24 tahun menikah saat usia anak.

Baca Juga  Perhelatan Pernikahan, Bagaimana Tata Caranya di Era New Normal?

Untuk mengurangi tingkat pernikahan dini, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, seperti:

Pertama, memperdalam ilmu agama. Ketika hubungan dengan Sang Pencipta semakin dekat, maka diharapkan remaja tidak melakukan apa yang dilarang Allah. Kedua, menyosialisasikan Undang-Undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksi bila melakukan pelanggaran. Ketiga, memberi bimbingan kepada remaja tentang sex education, dan penyuluhan kepada orang tua serta masyarakat mengenai pernikahan dini.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai pemuda, siapa yang mampu menikah, maka menikahlah, karena sungguh hal tersebut lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu (menikah) maka hendaklah ia berpuasa, karena (puasa menjadi) pengendali baginya.” (HR. Bukhari)

Keempat, berdasarkan hadis di atas, sudah jelas apabila seseorang belum atau tidak mampu menikah, sebaiknya ia berpuasa karena puasa menjadi pengendali (tameng) baginya.

Bukan Cintanya yang Terlarang, Hanya Waktu Saja Belum Tepat

Secara hukum di Indonesia, pernikahan dini melanggar hukum, karena pernikahan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Walaupun dalam agama Islam pernikahan dini diperbolehkan apabila telah siap dari segi ilmu, materi (harta), dan fisiknya, tetapi pernikahan dini banyak memberi dampak negatif bagi remaja.

Seperti sebuah lagu, “Pernikahan dini bukan cintanya yang terlarang, hanya waktu saja belum tepat”. Jadi, sebaiknya kita melakukan pernikahan ketika sudah siap, baik dari segi ilmu, materi (harta), fisik, dan juga umur, agar kita terhindar dari dampak negatif pernikahan dini.

Editor: Lely N

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *