Forum permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah dikenal dengan istilah muktamar. Sebelum istilah muktamar digunakan, Muhammadiyah menggunakan istilah congres untuk menyebut forum permusyawaratan tertinggi. Dan, sebelum istilah congres digunakan, Muhammadiyah mengikuti tradisi organisasi-organisasi modern pada zaman kolonial Belanda menggunakan istilah jaarvergadering (rapat tahunan) atau openbare vergadering (rapat umum terbuka). Pertanyaan penting, kapan dan di mana Muhammadiyah menggelar permusyawaratan tertinggi pertama?
Berdirinya Muhammadiyah
Berdasarkan sumber Ahmad Adaby Darban (2000), pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan (Khatib Amin) telah meminta bantuan kepada Raden Sosrosoegondo, seorang guru bahasa Melayu di Kweekschool Jetis, untuk membuatkan rancangan Statuten (Anggaran Dasar) sebuah perkumpulan. Perkumpulan (organisasi) ini bernama ”Muhammadiyah”—nama yang diusulkan oleh Kiai Sangidu (Mohammad Kamaludiningrat) dalam sebuah pertemuan di Langgar Duwur setahun sebelumnya (1911).
Ketika Soesrosoegondo menyusun draf Statuten Muhammadiyah, tanggal lahir (berdiri) organisasi ini belum terisi. Nah, di sinilah cerita menarik itu dimulai. Berdasarkan hasil wawancara Adaby Darban dengan Haji Djilli (1988)—pelaku sejarah Muhammadiyah di Kauman generasi awal—konon proses penentuan hari dan tanggal berdiri Muhammadiyah berdasarkan kesepakatan bersama tokoh-tokoh perintis Muhammadiyah. Dalam alam pikiran dan tradisi orang Jawa, untuk menandai suatu kejadian biasanya menggunakan tetenger (patokan: tanda-tanda). Adapun tetenger berdirinya Muhammadiyah adalah sehari sebelum Hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah). Sehari sebelum Hari Arafah berarti tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya pada tahun 1330 H. Menurut hasil penelusuran Ir Basit Wahid (1977), pakar Astronomi Majelis Tarjih, hari dan tanggal berdiri Muhammadiyah adalah hari Senin tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912.
Nama organisasi dan penentuan hari serta tanggal berdirinya telah selesai, tinggal proses pengajuan ijin kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. KH. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan dibantu pengurus Boedi Oetomo cabang Yogyakarta dalam proses ini. Namun, berdasarkan sumber Adaby Darban, untuk mendapatkan rechtpersoon, Muhammadiyah masih harus menunggu sekitar 20 bulan pasca pengajuan kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Openbare Vergadering 1912
Tanpa harus menunggu rechtpersoon dari Gubernur Jenderal Idenburg, KH. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan langsung menggelar rapat umum terbuka dalam rangka sosialisasi berdirinya organisasi Muhammadiyah. Peristiwa ini, berdasarkan sumber Kiai Syuja (2010), disebut sebagai “malam yang diberkati” karena KH. Ahmad Dahlan berhasil mengundang seluruh elemen masyarakat di Yogyakarta, dari perwakilan pemerintah kolonial Belanda, perwakilan Kraton Yogyakarta, para ulama di Kauman dan Pakualaman, para jurnalis media massa, dan masyarakat umum.
Kapan dan di mana penyelenggaraan openbare vergadering Muhammadiyah? Sumber Kiai Syuja’ menyebut peristiwa ini terjadi pada minggu akhir bulan Desember. Dalam penelusuran dokumentasi Tim IBTimes.Id, minggu akhir bulan Desember 1912 jatuh pada tanggal 29 (hari Ahad malam). Peristiwa permusyawaratan tertinggi pertama di Muhammadiyah—organisasi yang baru lahir pada waktu itu—dilaksanakan di gedung Loodge Gebouw Malioboro. Warga sekitar menyebut gedung ini dengan sebutan Loji Setan (sekarang Gedung DPRD DIY).
Openbare vergadering pada 1912 yang diselenggarakan di Loji Setan inilah permusyawaratan tertinggi yang pertama kali digelar Muhammadiyah. Isinya berupa sosialisasi tentang maksud dan tujuan didirikan Muhammadiyah. Struktur kepengurusan sudah terbentuk lebih dahulu dengan komposisi sembilan orang. KH. Ahmad Dahlan sebagai President Hoofdbestuur Muhammadiyah dan KH. Abdullah Siradj sebagai sekretaris (juru tulis).
Penulis : Mu’arif
Tim Riset : IBTimes.Id
Editor : Yahya FR