Akhlak

Karakter Ridha: Amalan Hati Menuju Hamba yang Taat

12 Mins read

Karakter Ridha I Saat berada pada keadaan psikologis yang menguntungkan seperti: menang, tenang dan aman, tentu seseorang dapat menjalani kehidupan dengan rasa sukacita tanpa tekanan, hambatan dan tantangan. Namun kehidupan tidak selalu berbanding lurus antara keinginan dan kenyataan, sehingga fase kehidupan terkadang mengalami kegagalan, sakit, kekalahan, cemas, kecewa tertekan dan segala yang bersifat memunculkan purbasangka terhadap diri sendiri, orang lain, lingkungan dan Tuhan.

Para penyuluh agama sering memberi nasehat supaya selalu bersabar dan bersyukur atas segala kekecewaan, kegagalan, kesedihan, kekalahan dan segala yang menjadi beban hidup. Hal tersebut terkadang secara psikologis susah diterima dikarenakan emosi dan juga keinginan-keinginan untuk menjadi lebih baik telah melekat di dalam kesadaran emosi dan ambisi.

Nasehat-nasihat kebaikan yang bersifat psikologis memang sangat baik bagi orang-orang yang mengalami kekalahan, namun akan sulit diterima dalam bentuk kenyataan. Walaupun dia seorang yang sering melakukan ritual ibadah dan juga selalu melakukan kebaikan-kebaikan yang bersifat eksoteris atau hal-hal yang bersifat lahiriah, yang tampak dan juga yang selalu dibuat khusyuk pada pandangan mata orang banyak dengan segala asesoris agamis.

Ketika aspek-aspek eksoteris hanya bisa ditangkap secara lahiriah saja tentu amat berbeda dengan dimensi-dimensi yang bersifat esoteris yang bersifat spiritualistik. Kadar kesadaran insani dan rohani akan menjadikan seorang hamba senantiasa mencari makna dari spitualistik atas kehambaannya kepada Allah Azza wa Jalla.

Penghambaan sejati dan juga persembahan secara hakiki itulah yang akan membedakan antara makna esoteris dalam penghikmatan dan pengabdian kepada Allah dari hamba-hamba yang mempersembahkan segala bentuk ritual dan juga tradisi keagamaan yang bersifat Ilahiah-transedental.

Dari hal tersebut, maka sangat perlu kita melakukan kajian terhadap karakter ridha, yakni memaknai esoteris- spiritualistik kehambaan. Sehingga kita mengetahui bagaimana posisi kita dalam diri kita sendiri, di hadirat Allah dan juga dalam kehidupan sosial kemanusiaan.

Pengertian Ridha

Ridha adalah amal hati yang agung, ia merupakan amal yang sangat penting.

Ridha adalah kebalikan dari murka yang sering diungkapkan dalam munajad kepada-Nya, “Ya Allah! Aku berlindung kepadaMu dengan ridhaMu dari murkaMu.”

Ridha dalam syariat adalah keridhaan hamba kepada Allah. Tidak murka terhadap yang ditetapkan dalam qadha-Nya, ridha Allah kepada hamba manakala Dia melihatnya melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Kata Ardhaahu adalah memberikan apa yang diridhain-Nya, taradhahu adalah meminta ridha-Nya.

Kedudukan Karakter Ridha

Kedudukan Ridha akan membuahkan cinta kepada Allah, selamat dari neraka, meraih surga penuh ridhaan Allah, baik sangka hamba kepada Rabbnya, jiwa yang tenang dan kehidupannya baik.

Sebagaimana dijelaskan oleh para salaf berikut ini:

Abu Darda ra berkata, “Sesungguhnya Allah jika menetapkan qadha-Nya, maka Dia suka jika hamba meridhainya.”

Ibnu Mas’ud ra berkata, “Sesungguhnya Allah dengan bagian dan keadilan-Nya menjadikan kelapangan dan kebahagiaan dalam yakin dan ridha serta menjadikan kebimbangan dan kesedihan dalam keraguan.

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Saya berada di waktu pagi, dan tidak akan bahagia kecuali pada yang telah ditakdirkan Allah dan ditetapkan dalam qadha-Nya.” Maka konsep ini melahirkan kelapangan dan ketentraman dalam jiwanya. Barang siapa mencapai derajat ini, maka seluruh hidupnya adalah nikmat dan bahagia, sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)

Sebagian salaf berkata, “Kehidupan yang baik adalah ridha dan merasa puas.”

Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ridha adalah pintu Allah yang agung, surga dunia dan tempat istirahat orang-orang yang beribadah.” Barangkali seorang yang sedang diuji merasa ridha sehingga tidak lagi merasakan kesakitan, seperti dalam syair diungkapkan: “Siksaan di jalanMu terasa tawar serta jauhnya adalah anugerah dan kedekatan.”

Umar Bin Khattab berkata kepada Abu Musa Ra, “Amma ba’du: Sesungguhnya kebaikan itu semuanya ada dalam ridha jika kamu mampu membuatnya dan jika tidak, maka bersabarlah.” Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa ridha adalah kedudukan yang lebih tinggi daripada sabar.

Maimun bin Marham berkata, “Siapa yang tidak ridha dengan qadha, maka tidak ada obat untuk kedungguaannya.”

Abdullah bin Al Mubarok berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya kamu mendapatkan bukti dari ketakwaan seseorang dengan tiga perkara: tawakal yang baik kepada Allah pada yang menimpanya, ridha yang baik pada yang diterimanya, dan zuhud yang baik atas yang hilang darinya. (Al-Munajjid, 2004: 148-149)

Keutamaan Karakter Ridha

1. Ridha adalah wujud kedekatan kepada Allah.

Firman Allah:

“Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun Ridho kepadaNya.” (QS. Bayyinah: 8)

2. Mendapat balasan kebaikan.

Firman Allah:

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)

3. Puncak Ihsan adalah ridha Allah terhadap hambanya, yaitu ganjaran ridha hamba terhadap Allah ta’ala.

Firman Allah:

“Dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar.” (QS. At-Taubah: 72)

4. Allah mengangkat orang yang ridha di atas surga ‘Adn sebagaimana Dia menyebutkannya bahwa mengingat Allah di dalam salat merupakan keutamaan.

Firman Allah:

“Sesungguhnya salat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar (keutamaannya).” (QS. Al-Ankabut: 45)

5. Sebagaimana “menyaksikan” Allah di dalam salat itu lebih besar (keutamaannya) ketimbang salat, demikian pula ridha pemilik surga lebih tinggi ketimbang surga, Bahkan ia merupakan puncak pencarian para penghuni surga.

Baca Juga  Alam Pengadilan itu Memang Ada, Begini Argumen Logisnya!

Sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya Allah ta’ala menampakan diri kepada orang-orang mukmin (di surga) lalu berfirman: “Mintalah kepadaku.” Kemudian mereka berkata, “Ridha-mu.” (HR. Al-Bazzar dan Thabrani)

6. Ridha adalah menjadi tujuan. Sebab tujuan segala tujuan adalah  terangkatnya hijab (penghalang) antara hamba dan Tuhan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah maka hendaklah dunia melihat kedudukan Allah di sisinya; karena sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memberikan kedudukan kepada seorang hamba di sisinya sesuai dengan bagaimana hamba itu memberikan kedudukan kepadanya di sisinya.” (HR. Al Hakim)

7. Orang yang ridha selalu diberi petunjuk kepada Islam, rezekinya dicukupi dan selalu diridhai oleh Allah. (Hawwa, 2005: 387)

Sabda Rasulullah SAW:

“Berbahagialah orang yang telah diberi petunjuk kepada Islam, rezekinya dicukupi dan Dia Ridha kepadanya.” (HR At-Tirmidzi)

8. Orangnya ridha akan mendapat pahala dari Allah.

Sabda Rasulullah SAW:

“Wahai golongan orang fakir, berikanlah kepada Allah keridhaan dari hatimu, maka anda akan memperoleh pahala kefakiran anda. Jika tidak, maka anda tidak mendapatkan pahala.”

9. Ridha muncul dari sikap sabar terhadap segala bentuk pujian dan cobaan hidup.

Sabda Rasulullah SAW:

“Apabila Allah SWT mencintai seorang hamba, maka Allah akan mengujinya. Jika dia bersabar, maka Allah akan memilihnya dan kalau dia ridha,  maka Allah akan mengutamakannya.”

10. Orang yang ridha akan masuk surga tanpa hisab.

Sabda Rasulullah SAW:

“Apabila datang pada hari kiamat,  Allah akan menumbuhkan segolongan umatku beberapa sayap. maka terbanglah mereka dari kuburnya menuju ke surga. mereka bebas di sana dan bersenang-senang menurut apa yang ia suka. berkatalah malaikat-malaikat pada mereka: ‘Apakah anda melihat  hisap?’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak pernah melihat hisab.’ Malaikat berkata kepada mereka: ‘Apakah anda melewati shirath/’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak pernah melihat shirath.’ Malaikat bertanya lagi kepada mereka: ‘Apakah anda melihat jahanam?’Mereka menjawab: ‘Kami tidak melihat jahanam.’

Lalu malaikat bertanya: ‘Dari umat siapakah anda?’ Mereka menjawab: ‘Dari umat Muhammad SAW.’ Malaikat berkata: ‘Kami minta kepadamu kesaksian, sebagai bukti kami kepada Allah, ceritakanlah kepada kami apa yang menjadi amalan-amalan anda di dunia.’ Mereka berkata: ‘Dua hal yang ada pada kami dan kami dapat sampai ke tingkatan ini dengan anugerah rahmat Allah.’ Malaikat berkata: ‘Apa keduanya itu?’ Mereka berkata: ‘Kalau kami sendirian, kami senantiasa merasa malu untuk berbuat durhaka kepadaNya, dan kami ridha dengan yang sedikit dari apa yang telah Dia bagikan kepada kami.’Mmalaikat berkata: ‘Nyatalah semua ini menjadi milik anda.”

11. Di dalam ridha terdapat banyak kebaikan bagi hamba.

Sabda Rasulullah SAW:

“Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia membuatnya ridha terhadap bagian yang ditetapkanNya baginya.”

12. Selalu dalam keadaan ridha membuat sang hamba begitu dekat kepada Allah.

Sebagaimana Allah mewahyukan kepada Daud AS, “Hai Daud, sekali-kali kamu tidak akan dapat berjumpa denganKu dengan satu amalan yang lebih Kuridhai yang tidak pula dengan penghapusan dosamu, selain daripada keridhaan terhadap qadhaKu.”

Hakikat Karakter Ridha

Ridha wajib dari sisi pokok, orang yang tidak memiliki keridhaan kepada Allah kepada agama, syariat dan hukumnya adalah bukan seorang muslim. Wajib bagi setiap muslim yang bertauhid, beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mendapatkan derajat ridha yang paling minimal. Pokok ridha harus terpenuhi karena hukumnya wajib.

Sabda Rasulullah SAW:

“Akan merasakan nikmatnya iman orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi.”

Firman Allah SWT:

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasulNya kepada mereka, dan berkata, ‘Cukuplah Allah bagi kami’, Allah akan memberikan kepada kami sebagian karunianya dan demikian pula rasulnya.” (QS. Taubat: 59)

Dalam pandangan Al Ghazali, mengenai keridhaan Allah SWT terhadap hamba, dalam artian lainnya hampir sama dengan kecintaan Allah kepada hamba-Nya sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu. Mengenai hakikat cinta dan keridhaan-Nya tidak boleh dijelaskan, karena ilmu makhluk tidak dapat menyangkalnya. Sedangkan orang yang mampu untuk ikut serta dia akan menyendiri dalam penemuan pada dirinya sendiri. (Al-Ghazali, 2000: 401)

Tingkatan Karakter Ridha

Adapun tingkatan karakter ridha adalah:

Pertama, tingkatan yang lebih tinggi adalah ridha terhadap qadha dan takdir Allah, sedangkan tingkatan yang paling tinggi adalah ridha kepada Allah sebagai ganti dari segala hal selain Allah. Sebagian orang ada kalanya ridha terhadap satu hal, tetapi tidak ridha terhadap hal lainnya. Ada pula yang hanya meraih sebagian kecil dari derajat yang dicapainya. Mungkin saja seseorang ridha terhadap istri yang diberikan Allah kepadanya, tapi tidak ridha dengan gaji yang diterimanya, sabar ketika hartanya dicuri, tapi tidak ridha saat kehilangan anak.

Kedua, ridha kepada Allah dari yang selainnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak menyampaikannya kepada Allah, seperti permainan dan hal-hal mubah lainnya yang tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Maka, orang yang sibuk dengannya tidak bisa dipandang telah ridha kepada Allah dari yang selainnya. keridhaan seperti ini adalah khusus untuk orang yang saling bersama Allah. Semua amalnya, gerak dan diamnya selalu diarahkan untuk berjalan menuju Allah dan mengantarkan kepada ridha-Nya. (Al-Munajjid, 2004: 139)

Baca Juga  Isra’ Mi’raj: Refleksi Politik Kepemimpinan Nabi

Derajat Karakter Ridha

Sedangkan derajat karakter ridha adalah:

Pertama, ridha dengan Allah. Maksudnya adalah bahwa Allah adalah satu-satunya yang disembah dan tidak ada sekutu baginya, berhukum hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain-Nya dan selalu ridha dengan  yang disyariatkan-Nya. Tidak mungkin orang mukmin dan orang kafir bersatu dalam hal ini.  Maka ini tidak bisa dilakukan kecuali orang oleh orang mukmin.

Kedua, ridha dari Allah. Maksudnya adalah ridha kepada yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah, seperti kamu ridha dari Tuhanmu pada yang diberlakukan padamu. Dia menciptakan ketentuan-ketentuan dalam masalah ini orang mukmin dan orang kafir bisa sama-sama melakukannya.

Internalisasi Karakter Ridha dengan Allah dan Ridha dari Allah

Wajib menggabungkan antara kedua keridhaan yakni ridha dengan Allah dan ridha dari Allah. Ridha dengan Allah lebih tinggi dan lebih luhur kedudukannya karena ia khusus bagi orang-orang yang beriman. sedangkan ridha dari Allah bisa dilakukan oleh orang mukmin dan orang kafir, karena ridha atas qadha bisa dilakukan oleh mukmin dan kafir. Adakalanya kamu mendapatkan perilaku orang kafir lalu kamu berkata, “Dia ridha terhadap qadha, pasrah dan tidak menentangnya tetapi dia tidak meridhai Allah sebagai Rabb.” Meridhai Allah sebagai Rabb adalah kewajiban yang paling utama berdasarkan kesepakatan umat dan barang siapa yang tidak meraih Allah sebagai Rabb, maka tidak sah keislaman dan amalnya.

Ridha dari Allah yaitu ridha dengan qadha, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Qadha syar’i: yaitu ketentuan yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambaNya, “Dan Tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23) Allah telah menetapkan dan mensyariatkan agama. diantara para hamba ada yang berpegang teguh dengannya dan ada yang tidak.

Qadha kauni: “Jadilah maka jadi!” Jika Allah menetapkan kematian seseorang atau sakit, atau sembuh, atau kaya, atau miskin, atau turunnya hujan. Jika Allah telah menetapkannya, maka tidak ada seorangpun yang dapat menolaknya. Inilah qadha kauni tidak ada yang dapat dihindarkan dan pasti terjadi. “Jadilah maka jadi!”

Terhadap qadha syar’i kita wajib ridha tanpa ada tawar-menawar. Ia merupakan asas Islam dan iman kita wajib ridha tanpa ada perasaan sempit menentang dan protes. Seperti firman Allah: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka tetap utusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Tetapi ridha terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi maka terdapat perbedaan antara ridha dengan sabar yaitu ridha terhadap yang telah ditakdirkan dan sabar terhadap yang telah ditakdirkan. Ridha derajatnya lebih tinggi daripada sabar.

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, ridha dengan Allah ada tiga macam:

1. Ridha dengan ketaatan-ketaatan adalah taat.

2. Ridha dengan musibah. Ini diperintahkan baik wajib maupun sunnah.

Adapun yang wajib adalah yang sama dengan sabar yaitu derajat yang paling rendah dari ketaatan. Sedangkan derajat ridha yang tinggi adalah menerima musibah adalah ketentraman jiwa yang sempurna dan itu sulit, serta tidak bisa dicapai kecuali oleh segelintir orang. Berkat kasih sayangNya Allah tidak mewajibkannya atas mereka karena sebagian mereka tidak mampu melaksanakannya.

3. Ridha dengan kemaksiatan adalah maksiat.

Seseorang melihat keburukan pada dirinya lalu dia ridha, ridha kepada kemaksiatan adalah maksiat yang diharamkan. Ridha kepada kekufuran adalah kufur. Ridha kepada kemaksiatan adalah tidak boleh, namun justru manusia diperintahkan untuk membencinya. Allah tidak menyukai kerusakan, tidak meridhai kekufuran bagi hambanya tidak menyukai orang yang melampaui batas dan tidak menyukai kezaliman dan para pelakunya. (Al-Munajjid, 2004: 141-142)

Kontekstualisasi Karakter Ridha dalam Kehidupan

Bukan merupakan syarat ridha seorang hamba tidak merasakan sakit dan murka, tetapi syarat ridha adalah tidak memprotes hukum dan tidak menyentuh. Oleh karena itu, ridha tidak bertolak belakang dengan adanya rasa sakit dan kebencian jiwa jika suatu yang tidak menyenangkan menimpanya.

Orang sakit misalnya ridha untuk minum obat, sekalipun dia merasakan pahit dan sakitnya obat. Tetapi dia ridha terhadap obat, tenang dan bersemangat untuk meminumnya, tetapi pada waktu yang sama dia pun merasakan pahit.

Orang yang berkuasa ridha dengan puasa dan merasakan kebahagiaan tetapi pada waktu yang sama dia merasakan perihnya rasa lapar. Dia ridha kepada puasa dan dia merasa lapar. Seorang mujahid yang ikhlas di jalan Allah ridha dengan jihad, berani dan siap menerima perintah, tetapi dia merasakan sakit, letih, debu, kantuk, luka dan sebagainya.

Jalan menuju ridha adalah jalan yang ringkas dan dekat sekali, tetapi mengandung kesulitan, dan kesulitannya tidak lebih mudah daripada mujahadah, tetapi harus dihadapi dengan tiga bekal utama: semangat yang tinggi, jiwa yang bersih, dan meyakini diri bahwa setiap yang menimpanya adalah bersumber dari Allah.

Ridha akan mudah didapat jika seorang hamba memahami kelemahan diri dan kekuasaan rohnya, kebodohan diri dan kemahatahuan Allah. Seorang hamba jika sampai kepada kedudukan seperti ini, dia akan ridha. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, lebih mengetahui yang lebih maslahat bagi hamba daripada hamba itu sendiri, dan meyakini bahwa yang dipilihkan untukmu adalah yang lebih utama dan lebih baik.

Baca Juga  Lima Perkara Penghalang Kesalehan Menurut Ali bin Abi Thalib

Berpikir adalah ibadah yang agung. Jika seorang hamba berpikir bahwa yang dipilihkan untuknya adalah yang terbaik dan yang paling utama. Jika dia mengimaninya maka dia akan ridha. mendapatkan ridha bukan perkara yang berbelit-belit. Yaitu mengimani bahwa yang dipilihkan Allah untukmu dan ditakdirkan bagimu adalah suatu yang terbaik bagimu, entah ia berupa kematian anak, sakit dipecat dari pekerjaan dan sebagainya.

Ridha kepada Allah jika terwujud dalam dada seorang hamba, dia akan mengungguli hamba-hamba yang lainnya. wajib dipahami, bahwa di samping amal anggota badan ada amal hati yang tidak lebih kecil urgensinya, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripadanya. Namun menggabungkan antara keduanya adalah wajib. Akan tetapi kadang-kadang dengan kecerdasan perenungan pikiran dan keimanannya manusia mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada yang diraih dengan amalan anggota badannya. Oleh karena itu Ibnu Al-Qayyim berkata, “Jalan menuju ridha dan cinta Allah adalah mudah. Seorang hamba berbaring di atas tempat tidur lalu pada pagi hari dia berada dalam rombongan yang telah mencapai beberapa tingkatan di sisi Allah.” (Al-Munajjid, 2004: 137-139)

Kontekstualisasi Karakter Ridha Secara Psikologis

1. Orang mukmin harus menyadari bahwa pengaturan Allah jauh lebih baik daripada pengaturannya sendiri. Sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah Allah menetapkan suatu qadha bagi orang mukmin, melainkan qadha itu lebih baik baginya.”

2. Ridha terhadap penderitaan, karena di balik itu ada pahala yang tersimpan, seperti ridha saat dibekam dan minum obat, karena mengharapkan kesembuhan.

3. Ridha terhadap penderitaan, bukan karena pertimbangan keuntungan di balik itu, tetapi karena itu merupakan kehendak kekasihnya. Sesuatu yang paling nikmat baginya adalah keridhaan kekasihnya, sekalipun mungkin hal itu akan membinasakan dirinya sebagaimana yang dikatakan sebagai orang, “Luka itu tidak terasa sakit jika membuat kalian ridha.” (Qudamah, 2017: 488-45)

Hikmah Karakter Ridha

1. Orang yang ridha selalu bahagia dan senang kepada Allah ta’ala. Sebab ridha adalah kesempurnaan penghambaan. Tidak sempurna penghambaan tanpa disertai kesabaran, tawakal, merasa hina, tunduk dan rasa butuh kepada Allah.

2. Ridha membuahkan karidhaan Tuhan kepada hambaNya, karena Allah Azza wa Jalla meridhai orang yang menyembahNya.

3. Ridha menghilangkan kesusahan, kesedihan, tercabik-cabiknya hati, tertutupnya pikiran dan buruknya keadaan. Oleh karena itu, pintu surga dunia terbuka dengan ridha sebelum surga di akhirat. Ridha melahirkan ketentraman hati, kesejukan, ketenangan dan kestabilan.

4. Ridha membebaskan hamba dari penentangan terhadap syariat, hukum dan keputusan-keputusan Allah ta’ala.

5. Ridha terhadap keadilan. Ridha akan melahirkan kesadaran hamba terhadap keadilan Tuhan. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda: “Adil padaku qadha-Mu.” Orang yang tidak merasakan keadilan Tuhan adalah orang yang durhaka dan zalim.

6. Orang yang tidak memiliki keridhaan akan gelisah dan mengalami kegoncangan jiwa jika yang dibenci menerpanya atau yang disukai hilang darinya. sedangkan orang yang ridha tidak akan mengalami kesengsaraan dan penderitaan jika yang dibenci menerpanya atau yang disukai hilang darinya, karena keridhaan melindunginya dan penderitaan dan kesengsaraan semacam ini dia tidak berduka cita atas apa yang hilang dan tidak terlalu bangga atas apa yang diterima, sebagaimana firman Allah:”Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu.” (QS. Al Hadid: 23)

7. Ridha menyelamatkan seseorang dari penipuan, dengki dan iri. Karena dia sudah ridha dengan pembagian Allah.

8. Ridha membuatmu tidak meragukan Qada dan takdir Allah serta hikmah dan ilmuNya.

9. Buah terpenting dari ridha adalah melahirkan rasa syukur. Orang yang murka tidak akan bersyukur, ia akan merasa bahwa haknya terzalimi,  dikurangi dan dicurangi. karena dia merasa tidak memiliki nikmat sama sekali.

10. Ridha menjadikan manusia tidak meletakkan kecuali yang diridhai oleh Allah, kemarahan menjadikan manusia berbicara yang mengandung bahkan mungkin mencela Allah Azza wa Jalla. Pemilik ridha terbebas dari hawa nafsu sedangkan yang ketidakridhaan adalah  mengikuti hawa nafsu.

11. Ridha membebaskan hamba dari kemurkaan Allah, karena Allah jika meridhai hamba Allah akan menjadikan manusia ridha kepadanya, sedang seorang hamba jika berusaha mencari ridha Allah maka ia tidak akan mempedulikan ucapan manusia.

12. Allah memberi kepada orang yang ridha beberapa hal yang tidak diminta. Pemberian Allah bukan hanya hasil doa, tetapi selama demi kemaslahatannya.

13. Ridha akan mengkonsentrasikan hati seorang hamba untuk beribadah. Dalam salat hatinya selamat dari bisikan-bisikan, dalam taat tidak terpecah pikirannya, mendapatkan manfaat dari ibadah, ridha membuatnya fokus,  membersihkan pikiran  hingga pemilik keridhaan mendapatkan manfaat dari semua ibadahnya.

14. Ridha adalah keadaan yang mengagungkan bersama amal-amal hati yang lain. Orang yang ridha berpikir dengan otak dan hatinya, bahwa dia ridha kepada Allah dan kepada qadhaNya.

Apabila nilai-nilai transformatif dari karakter ridha yakni memaknai esoteris-spiritualistik kehambaan dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata, maka kita akan mengetahui di mana posisi kehambaan sejati di dalam diri kita, di hadirat Tuhan dan juga dalam kehidupan sosial kemanusiaan.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds