Karakter Syukur I Sesungguhnya tidak ada tempat bagi manusia dan semua makhluk yang diciptakan Allah untuk memakai ‘pakaian’ kesombongan pada dirinya; baik dengan ucapan, tindakan maupun terbesit di dalam hati. Sebab, kapasitas manusia adalah makhluk dan Allah adalah Khaliq; manusia diciptakan sedangkan Allah Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti disombongkan? Manusia terlahir telanjang tanpa sehelai benang, berlumuran darah, pancaindra dan organ tubuh masih lemah. Aksesoris kedigdayaan diri masih ‘kabur’, sebab pekerjaan, jabatan dan harta kekayaan belum terpikir. Hanya pekik tangis sebagai gerbang awal memasuki fase dunia, yang disambut haru oleh orang-orang sekitar yang belum diketahui siapa mereka. Sebab, manusia lahir dalam kelemahan.
Ketika fase-fase hidup sudah beranjak dari: bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa. Barulah diketahui fenomena apa yang ada dalam diri dan lingkungan. Mungkin ada yang merasa ‘jumawa’ dengan asesoris dunia yang telah diraih; dan mungkin juga ada yang senantiasa menerima segala apa adanya dari karunia Allah; serta, ada yang berputusasa dengan nikmat rezeki yang dianggap masih kurang dari standar strata sosial era modern.
Memang manusia modern sangat lemah dalam menyikapi hidup dan sangat mudah kecewa pada perjalanan hidupnya sendiri. Di zaman ini, manusia cenderung meletakkan kebahagiaan pada aksesoris, padahal sesungguhnya adalah kebahagiaan semu. Sebab, segala yang asesoris hanya sebatas tampilan dan action yang memukau dan ‘topeng’ belaka.
Maka, sikap syukur adalah salah satu cara bisa menjalankan hidup dengan semangat dan optimisme. Karena kita tidak butuh penilaian manusia, dan tidak menggantungkan harapan pada makhluk. Akan tetapi penilaian, harapan dan bergantung pada Allah yang Maha Digdaya. Itulah idealnya prinsip kita sebagai ‘manusia-tauhid’.
Pengertian Syukur
Menurut Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Kitab A’maalul Kuluubi, menurut bahasa, syukur adalah mengakui kebaikan, kalimat yang biasa digunakan adalah syakartullah (saya mensyukuri Allah) atau syakartulillah (saya bersyukur kepada Allah), syakartu ni’matallah (saya mensyukuri nikmat Allah)…
Syukur adalah pujian kepada orang yang berbuat baik atas kebaikan yang dilakukannya, syakartuhu, syakartu lahu, dengan menggunakan lam lebih tepat. Syukran adalah kebalikan dari kufran.
Syakartu lahu (saya bersyukur kepadanya), menyambungkan kata kerja kepada objeknya dengan menggunakan kata sambung “lam”, dan kafartu bihi (saya kufur dengannya) menggunakan kata sambung “ba”, Ibnu Al-Qayyim memiliki tinjauan yang mendalam, dia berkata, “Yang disyukuri pada hakikatnya adalah nikmat yang disandarkan kepada pemberinya. Oleh karena itu, kamu berkata bersyukur kepadanya dengan menggunakan kata sambung lam, sedangkan kufur mengandung makna pendusta dan penolakan terhadap nikmat. Oleh karena itu, mereka mengatakan kufur dengan Allah dan kufur dengan nikmat-Nya; menyambung kata kerja kepada objeknya dengan menggunakan kata sambung “ba”. (Al-Munajjid, 2004: 102-103)
Maka, syukur ialah menyalurkan semua yang telah dikaruniakan Allah menurut fungsi dan tujuan nikmat itu diciptakan.
Kultur Karakter Syukur dalam Sisi Diri Manusia
Menurut Ibnu Al-Qayyim dalam Kitab Madarij As-Salikin, disebutkan ada lima belas sisi syukur bagi manusia:
1. Syukur merupakan kedudukan (tempat persinggahan) tertinggi.
2. Kedudukan syukur lebih tinggi daripada kedudukan ridha dan tambahan. Ridha masuk dalam sifat syukur dan mustahil terwujud sikap syukur tanpa ridha.
3. Syukur adalah separoh iman, sedangkan separoh yang lainnya adalah sabar.
4. Allah memerintahkannya dan melarang kebalikannya.
5. Allah memuji pelakunya dan menyifasi mereka sebagai orang-orang khusus.
6. Menjadikannya sebagai tujuan penciptaan dan perintah.
7. Menjanjikan kepada pelakukan balasan yang paling baik.
8. Menjadikannya sebagai sebab adanya tambahan karunia-Nya.
9. Penjaga dan pemelihara nikmat.
10. Orang-orang yang bersyukur adalah orang yang mendapatkan manfaat dari ayat-ayat Allah.
11. Syukur itu diambil dari salah satu nama Allah, yaitu Asy-Syakur, yaitu menyampaikan orang yang bersyukur kepada yang disyukurinya.
12. Tujuan Rabb dari hamba-Nya.
13. Menamai diri-Nya dengan Syakir dan Syakur. Menamai orang-orang yang bersyukur dengan nama ini. Memberikan kepada mereka dari sifat-Nya dan menamai mereka dengan sifat-Nya. Cukuplah hal ini sebagai bukti kecintaan Allah kepada orang-orang yang bersyukur dan keutamaan mereka.
14. Allah mengabarkan tentang sedikitnya orang-orang yang bersyukur dari hamba-hamba-Nya
15. Syukur itu memastikan adanya tambahan nikmat.
Kultur karatker syukur akan mengalami transformasi dalam diri setiap manusia, apabila ada kesadaran diri atas penciptaannya oleh Sang Maha Pencipta, serta memaklumatkan diri sebagai ‘mandataris’ Tuhan yang senantiasa bertindak sebagai khalifah-Nya di bumi.
Syukur sebagai Karakter
Apabila kultur karakter syukur telah mengalami transformasi dalam setiap diri manusia, maka syukur akan menjadi karakter yang paripurna bagi manusia tersebut. Jadi, transformasi karakter syukur harus menjadi ‘habit’ dengan selalu melatih diri dan berkomitmen diri pada Ilahi dengan cara, yakni:
Pertama, selalu bersyukur dalam segala situasi dan kondisi hidup.
Firman Allah:
“Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145)
Kedua, senantiasa ‘memaksakan’ diri untuk selalu tetap ceria dan bahagia tanpa beban (rileks)
Firman Allah:
“Mengapa Allah akan menyiksa kalian jika kalian bersyukur dan beriman?” (QS. An-Nisa’: 147)
Ketiga, istikolah dalam ‘zona’ikhlas (syukur, sabar, tenang, fokus dan bahagia)
Firman Allah:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Keempat, menerima tanpa mengeluh dan melihat nikmat dari sisi pemberi (Allah) bukan pada besar-kecil nikmat yang diterima.
“Sesungguhnya jika kalian bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepada kalian.” (QS. Ibrahim: 7)
Kelima, merasa ringan menjalankan perintah Allah.
Diriwayatkan bahwa nabi Saw mendirikan salat malam hingga kedua telapak kaki beliau pecah-pecah, lalu Aisyah r.a bertanya, “Apakah engkau masih mengerjakan yang seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa engkau yang telah lampau dan yang akan datang?” Beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keenam, memunjulkan komitmen spiritual syukur dengan berdoa.
Dari Muadz r.a, dia berkata, “Rasulullah pernah bersabda kepadaku, “Sesungguhnya Aku mencintai-Mu, maka ucapkanlah, ‘Ya Allah tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah secara baik kepada-Mu.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Ahmad)
Ketujuh, melihat sisi nikmat Allah pada diri dan alam sekitar, serta menjadikannya sebagai ‘referensi’ menunggalkan Tuhan (tauhid/aqidah).
“Menceritakan kenikmatan adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur.” (HR Ahmad)
Kedelapan, selalu berprinsip bersyukur sepanjang waktu selama tarikan napas masih diberi kesempatan ‘aktif’ (hidup). Sebab, sikap selalu bersyukur menunjukkan ridha atas segala ketentuan-Nya.
Sabda Rasulullah Saw:
“Keberuntunganlah bagi orang yang diberi petunjuk kepada Islam, sedangkan hidupnya dengan rezeki yang sekadar mencukupi kebutuhannya dan dia puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Siban dan Hakim)
Karakteristik Hamba yang Bersyukur
Secara umum, ada beberapa cara bersyukur yang dapat dijadikan karakteristik bagi seorang hamba yang senantiasa bersyukur, yakni:
Pertama, bersyukur dengan hati, lidah dan anggota tubuh.
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Minhajul Qashidin, syukur dengan hati ialah bermaksud untuk kebaikan dan menyebarkannya kepada semua orang. Syukur dengan lidah menampakkan syukur itu kepada Allah dengan cara memujinya. Syukur dengan anggota tubuh ialah dengan mempergunakan kenikmatan dari Allah untuk taat kepadanya dan tidak menggunakannya untuk mendurhakainya. Perwujudan seperti mata ialah dengan menutup aib yang dilihatnya pada diri orang muslim lainnya. Perwujudan syukur telinga ialah dengan menutupi setiap aib yang di dengarnya. Ini termasuk sejumlah syukur anggota tubuh ini (Qudamah, 2004:348)
Kedua, bersyukur tidak cukup hanya dengan mengetahui apa yang dicintai Allah saja, akan tetapi juga terhadap apa yang dibenci-Nya.
Untuk membedakan apa yang dicintai Allah dan apa yang dicintai yang dibenci-Nya dapat ditempuh dengan dua cara, yakni:
Pertama, dengan menggunakan pendengaran pada pokoknya yakni mendengarkan ayat-ayat Alquran.
Kedua, dengan mata hati artinya memandang untuk mengambil pelajaran. Yang kedua ini relatif lebih sulit, karena itulah Allah mengutus para rasul dan memudahkan jalan bagi makhluk pengetahuan tentang hal ini dilandasi kepada pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan tindakan manusia. Siapa yang tidak mengetahui hukum syariat yang terkait dengan tindakan manusia tentu dia tidak akan bisa melaksanakan syukur (Qudamah, 2004:349-350).
Maka, esensi karakter syukur adalah penerimaan total manusia terhadap segala nikmat Allah, baik yang disukai maupun yang tidak disukai; baik atas nikmat yang banyak maupun sedikit. Sehingga manusia selalu memiliki arah, harapan dan ‘buhul’ tali yang kokoh dalam tauhid kepada Allah. Karena ‘manusia-tauhid’ tidak akan pernah berpaling dari ingatannya kepada perspektif Ilahiah.
Editor: Soleh