Karakter Takwa Pasca-Ramadan
Bahasan tentang karakter takwa pasca Ramadan ini kita mulai dengan bersyukur kehadirat Allah Swt atas segala rahmat dan karunia-Nya. Sehingga kita dapat bertemu dengan 1 Syawal 1442 H; hari raya Idulfitri, hari nan agung, dan hari yang suci lagi mulia.
Wujud keikhlasan yang terpatri dari kalbu telah berpendar pada seraut wajah yang haru-biru, seakan-akan engan untuk berpisah dengan bulan Ramadan. Tapi apalah daya, usai shalat Magrib pada 30 Ramadan, alunan dan gema takbir membahana; dari lembah dan ngarai hingga ke gedung pencakar langit; dari desa yang sepi hingga ibu kota yang ramai.
Takbir sebagai Komitmen Manusia-Tauhid
Di pagi hari 1 Syawal pun, kita berkumpul bersama untuk meneguhkan komitmen sebagai manusia-tauhid, melalui takbir, tahlil dan tahmid yang dikumandangkan hingga menembus angkasa raya, pada tujuh petala langit dan tujuh petala bumi.
Ramadan 1442 H telah kita tinggalkan, dengan segala “jejak-jejak” bening amal saleh yang ditapaki selama sebulan. Tentu “jejak-jejak” bening amal saleh tidak cukup hanya satu bulan saja, untuk mensucikan “jejak-jejak” gelap hidup untuk sebelas bulan yang akan datang. Maka perlu melanggengkan karakter takwa pasca-Ramadan, supaya “jejak-jejak” bening dalam bulan Ramadan tertransformasi pasca-Ramadan nantinya.
Tujuh Karakter Takwa Pasca-Ramadan
Idulfitri esensinya adalah kembali kepada kemurnian dan kesucian diri. Selama sebulan dengan susah payah kita ritualkan ibadah puasa; dari terbit fajar hingga terbenam matahari, kita menahan perut yang keroncongan karena lapar, dan kerongkongan pun kering menahan haus dan dahaya, hingga bibir pecah-pecah.
Kala siang menunaikan shalat fardhu dan sunnah, saat malam pun frekuensi ibadah selain yang fardhu dan sunnah, ditambah dengan shalat sunat tarawih dan witir, serta tadarus Al-Qur’an. Lalu, di akhir Ramadan bertambah lagi dengan i’tikaf dan menunaikan zakat fitrah, sehingga kita lulus menjadi Insan Muttaqin.
Adapun nilai karakter takwa pasca Ramadan yang harus ditransformasi dalam kehidupan sebelas bulan ke depan, yakni:
Pertama, menjaga diri dari terjerumus ke lembah hina
Yakni: dorongan perut, libido seks, dan hawa nafsu yang menyesatkan. Sebagaimana Rasulullah Saw mengingatkan kita:
“Sesungguhnya aku mengkhawatiri kamu sekalian terjerabab dalam keinginan hawa nafsu dari dorongan perutmu, dorongan seksualmu, dan hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR. Ahmad)
Kedua, selalu berada dalam kefitrahan diri, yakni: kebenaran, kesucian, dan kebeningan/sublim.
Seperti firman Allah:
“Kebenaran adalah dari Tuhan, maka janganlah kamu ragu-ragu.” (QS. Al-Baqarah: 147)
Ketiga, menjedikan segala aktivitas hidup sebagai pengabdian dan ibadah kepada Allah.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan tidaklah aku jadikan jin dan manusia, hanyalah untuk mengabdi/beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)
Keempat, melanggengkan amal shaleh dengan sikap senang berbuat baik kepada siapapun dan dalam bentuk apa pun.
Seperti dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“Dan bertolong-tolonglah kamu atas berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan atas berbuat dosa dan menimbulkan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Kelima, selalu mengingat Allah dan senantiasa merasakan kehadiran Allah dalam segala kegiatan hidup.
Seperti firman Allah:
“Ketahuilah, bahwa dengan selalu ingat kepada Allah suasana hati akan terasa tentram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Keenam, sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Tidak beriman dengan baik, orang yang bermalam dengan perut kenyang, padahal tetangganya berbaring dalam keadaan lapar sedangkan ia mengetahui keadaan tetangganya.”
Ketujuh, berakhlak yang baik dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Akhlak yang baik dapat menghapus kesalahan, bagaikan air yang menghancurkan tanah yang keras. Dan akhlak yang jahat dapat merusak amal, seperti hanya cuka merusak manisnya madu.” (HR. Baihaqi)
Memaknai Idulfitri dalam Ritus Ibadah
Menurut Jalaluddin Rakhmat (1999, 18), bahwa idulfitri artinya kembali kepada fitrah kemanusiaan, yakni kesucian. Seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadan; shalat, puasa, zakat, di tambah dengan shalat ‘id bersama dimaksudkan untuk mengembalikan kemanusiaan kita.
Rukun Islam yang lima mengajarkan bahwa kemanusiaan hanya bisa dikembalikan dengan penolakan kepada setiap bentuk penindasan (seperti diungkapkan dengan kalimat syahadat), mengingatkan terus kebesaran Allah (seperti kita lakukan dalam shalat), mengendalikan hawa nafsu (seperti tampak pada ibadah puasa), menunjukkan solidaritas sosial kepada sesama manusia (seperti tercermin dalam zakat), dan mengarahkan hidup kita hanya kepada Allah (seperti dilambangkan dalam gerakan haji). Semua itu disimpulkan pada Idulfitri, kembali kepada fitrah kemanusiaan.
Maka dapat kita pahami, bahwa semua ritus ibadah yang dilakukan dalam Islam, awal dan akhir tempat berlabuh dan bersauh adalah kembali kepada Allah. Itulah yang terkandung dalam kalimat tauhid laa ilaaha illallah…. Sesungguhnya, ritus ibadah ritual dan sosial pada esensinya merupakan “peta” jalan “mudik” rohaniah setiap hamba Allah untuk konsisten dan konsekuen kembali kepada-Nya dalam kesucian, kemurnian, kebeningan, dan kebenaran (Idulfitri) tanpa berbaur dengan nilai kekufuran.
Editor: Nabhan