Kemarin sempat viral ujaran yang bernada diskriminatif terhadap umat Islam yang dilontarkan oleh seorang senator asal Bali, Arya Wedakarna atau akrab disapa AWK. Dalam potongan video tersebut AWK dengan lantang dan tegas mengatakan bahwa dirinya ingin agar frontliner yang ada di Bali tidak menggunakan penutup kepala (dalam hal ini yang dimaksud adalah jilbab). Dirinya bahkan mengatakan bahwa penutup kepala tersebut tidak jelas dan disambung dengan pernyataan bahwa Bali bukanlah Timur Tengah.
Secara implisit pernyataan AWK ini ingin menjelaskan bagaimana Bali dipandang sebagai wilayah yang kental dengan khas budayanya, namun dirinya kurang bijak dalam pemilihan diksi sehingga hal tersebut membuat sebagian golongan naik pitam. Tak butuh waktu lama jagat maya dipenuhi pula dengan berbagai macam sumpah, kutukan, dan perkataan-perkataan yang tak senonoh.
Mengapa Sentimen Terus Terjadi?
Dalam konteks negara dengan keragaman budaya dan agama, persinggungan antara satu agama dengan agama yang lain adalah hal yang niscaya. Keragaman budaya dan agama ini juga berpotensi besar untuk menghasilkan sentimen berbasis etnis, ras, suku, budaya bahkan agama. Maka disitulah fungsi negara dalam membuat regulasi serta mitigasi yang nantinya akan mengurangi kemungkinan perpecahan tersebut.
Dalam hal ini pula masyarakat kita kerap kali mengeneralisasi sikap oknum yang sering melancarkan ujaran diskriminatif atas kelompok lain. Misalnya, jika ada beberapa orang Islam yang mengutarakan ujaran-ujaran kebencian maka langsung timbul narasi mayoritas sembari menggeneralisasi umat Islam adalah umat yang intoleran begitu pula sebaliknya.
Sikap ini jika terus dibiarkan lambat laun akan membawa kita pada konflik yang besar. Islam sebagai agama mayoritas di negara ini harus punya posisi yang menyeru pada perdamaian. Dengan masa yang besar Islam sudah mampu menjadi penggerak, maka sudah sepatutnya kekuatan itu diarahkan pada pembentukan masyarakat yang harmonis.
Namun sebenarnya ini juga tak lepas dari pandangan individual masyarakat yang belum dewasa dalam melihat sebuah perbedaan. Padahal perbedaan itu bukanlah sebuah kesalahan, melainkan sebuah kepastian yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an.
Islam: Agama Pengajar dan Pendidik
Sebagai kelompok agama paling besar, tentunya umat Islam punya peran yang sama besarnya. Umat Islam harus mampu menjadi inisiator gerakan-gerakan masyarakat yang berorientasi pada edukasi serta perdamaian atas konflik yang ada.
Ujaran kebencian yang dibalas dengan ujaran kebencian sama sekali tidak akan melahirkan perdamaian. Api tidak bisa dipadamkan dengan api pula, maka kita harus meredamnya dengan air.
Hal ini yang agaknya kita perlu koreksi bersama-sama. Natsir dalam bukunya “Islam & Akal Merdeka” mengatakan bahwa Islam adalah agama pengajar dan pendidik. Narasi ini didasarkan atas spirit Nabi Muhammad yang datang untuk mengajarkan perdamaian. Natsir mengutip salah satu ayat yaitu:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini telah menyadarkan kita dalam merespon berbagai hal, terutama konflik antar agama, kita mesti menyikapinya dengan arif dan bijaksana. Tak perlu menghina, mencaci maki dengan kata-kata kotor terlebih menggeneralisasi seluruh umat yang seagama dengan oknum tersebut intoleran. Kita juga bisa mengambil jalur litigasi dengan cara mengadukannya lewat pihak berwenang jika memang itu telah melanggar aturan yang ada.
Nabi Tak Mengajarkan Kekerasan untuk Membela Agama
Kita pasti sudah sering mendengar bahwa agama ini akan terhormat bilamana kita bisa keras terhadap orang-orang kafir. Belum lagi adanya narasi bahwa Nabi dahulu menghunuskan pedang untuk membela agama.
Tentu saja hal ini bertolak belakang dari tujuan Islam. Kekerasan yang didasarkan atas contoh dari Nabi adalah kesalahan besar. Banyak literatur yang dijadikan legitimasi atas perilaku nir-kemanusiaan yang terjadi pada penista agama. Dalam beberapa kisah, Nabi kerap dituduh memerintahkan membunuh orang karena perilaku penistaan agama yang ia lakukan.
Haidar Bagir dalam bukunya “Manifesto Islam Cinta” menyoal beberapa penista agama yang mati di tangan kaum muslimin, salah satunya Musailamah Al-Kazzab. Padahal dalam kasus Musailamah Al-Kazzab Ia mati ketika kondisi perang. Begitu pula yang terjadi pada beberapa orang seperti Hakam bin Abil Ash yang dibuang keluar Madinah kemudian Ka’ab bin Al-Asyraf yang diriwayatkan dibunuh karena membacakan Syair-Syair yang menghina Nabi, padahal kenyataannya Ka’ab memang adalah orang yang nyata memerangi Islam sehingga harus dihukum mati.
Kembali seperti yang saya terangkan di atas, bahwa kita masih punya banyak jalan dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Lantas mengapa kita menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak dibenarkan oleh Islam?. Dalam hal ini saya mendorong umat Islam untuk lebih arif dan bijaksana dalam menanggapi isu-isu tentang konflik yang ada, termasuk penistaan agama yang kerap terjadi. Membela agama tak perlu dengan kekerasan. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama supaya kedamaian terus terjaga. Wallahualam.
Editor: Soleh