Kasus Kekerasan di lingkungan Pendidikan khususnya Sekolah Dasar dan Menegah di Indonesia telah menjadi isu yang semakin mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah kasus kekerasan di sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Pada tahun 2024 jumlahnya melonjak tajam. Tercatat 573 kasus kekerasan, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya terdapat 285 kasus. Jumlah ini mencakup kekerasan fisik, verbal, hingga kekerasan seksual, yang tidak hanya dilakukan oleh sesama siswa tetapi juga oleh guru. Fenomena ini memperlihatkan masalah mendalam yang memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, menuntut perhatian dan tindakan segera dari berbagai pihak.
Normalisasi Kekerasan Fisik
Salah satu alasan utama tingginya kekerasan di lingkungan pendidikan adalah budaya kekerasan yang telah mengakar. Dalam banyak kasus, kekerasan sering dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan atau bahkan alat untuk mendisiplinkan siswa. Guru, sebagai figur otoritas, kerap menggunakan hukuman fisik atau verbal untuk “mengajarkan” disiplin. Pola hierarki yang kaku di institusi pendidikan juga memperburuk situasi. Kekerasan yang membudaya berpengaruh terhadap pola kebiasan pengajaran seorang guru, sehingga menormalisasi kekerasan.
Fenomena bullying antar sesama teman sering kali dimulai dari suatu candaan yang tampaknya tidak berbahaya. Kurangnya pemahaman siswa tentang batas candaan sering kali menyebabkan perasaan tersinggung tanpa disadari. Dalam konteks ini, siswa yang merasa dilecehkan atau dihina sering kali tidak langsung mengungkapkan ketidaknyamanan mereka. Hingga akhirnya kekesalan menumpuk dan memicu konflik yang lebih besar.
Minimnya pengawasan dan penegakan hukum juga menjadi faktor penting yang berkontribusi terhadap tingginya angka kekerasan. Banyak kasus kekerasan di sekolah tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan, baik karena ketakutan korban maupun kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif. Bahkan ketika kasus-kasus tersebut dilaporkan, penegakan hukumnya sering kali lemah. Hal ini menciptakan rasa tidak aman di kalangan siswa dan menguatkan impunitas bagi pelaku.
Kekerasan Seksual di Sekolah
Kekerasan seksual di lingkungan sekolah adalah salah satu bentuk pelanggaran yang sangat merusak, baik secara fisik maupun psikologis bagi korban. Penyebabnya sering kali berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan, kurangnya pengawasan, serta budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat. Pelaku sering memanfaatkan posisinya sebagai otoritas atau figur yang dipercaya untuk melakukan tindakan tersebut. Selain itu, kurangnya pendidikan tentang kesadaran seksual dan batasan dalam hubungan antarpersonal turut memperburuk situasi ini. Membuat korban sulit untuk menyadari atau melaporkan pelanggaran.
Kehadiran Satuan Tugas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di institusi Pendidikan sebagai mekanisme pelaporan yang aman, dan memastikan perlindungan serta pemulihan bagi korban adalah langkah yang signifikan. Namun, banyak orang tua yang belum mengetahui keberadaannya atau cara mengakses layanan ini. Kemudian dalam penanganan kasus kekerasan di sekolah. Menurut data dari JPPI sebanyak 91% orang tua dan masyarakat menyatakan tidak puas dengan penanganan kasus kekerasan di sekolah. Sehingga perlunya sosialisasi masif diperlukan agar fungsi Satgas ini dapat dimanfaatkan secara optimal.
Pengaruh Buruk di Luar Sekolah
Pergaulan di luar lingkungan sekolah memiliki peran besar dalam membentuk perilaku siswa, termasuk kecenderungan terhadap tindakan kekerasan. Dalam banyak kasus, siswa yang terpapar lingkungan yang penuh kekerasan, baik di rumah, di lingkungan sekitar. Maupun di kelompok pertemanan, cenderung membawa pola tersebut ke sekolah. Lingkungan sosial yang menormalisasi kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah atau menunjukkan dominasi sangat memengaruhi cara siswa berinteraksi dengan teman sebaya di sekolah.
Selain itu, tekanan kelompok dalam pergaulan juga menjadi faktor yang mendorong kekerasan. Siswa sering kali merasa harus menyesuaikan diri dengan kelompok tertentu, bahkan berani melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Seperti bullying atau kekerasan fisik. Rasa takut ditolak atau dianggap lemah oleh teman sebaya sering membuat siswa melakukan tindakan kekerasan. Meskipun mereka sebenarnya tidak berniat untuk melakukannya.
Beban Administratif Melupakan Mendidik
Berdasarkan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sekitar 60% waktu kerja guru dihabiskan untuk menyelesaikan tugas administratif. Seperti penyusunan dokumen akreditasi, laporan evaluasi pembelajaran, dan persyaratan sertifikasi. Tugas-tugas ini sering kali memakan waktu berjam-jam. Bahkan, di luar jam kerja resmi, sehingga mengurangi fokus mereka pada tugas utama sebagai pendidik. Akibatnya, proses pengajaran di kelas sering dilakukan secara alakadarnya karena guru tidak memiliki cukup waktu untuk merencanakan pembelajaran yang efektif dan kreatif.
Hal ini diperburuk oleh kebijakan pendidikan yang semakin birokratis, di mana guru diwajibkan untuk memenuhi berbagai persyaratan administratif agar dapat mempertahankan status profesional atau mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sebuah survei dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) menunjukkan bahwa sebagian besar guru merasa kewalahan dengan tuntutan ini. Mereka mengeluhkan bahwa tugas administratif seperti pengisian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berlembar-lembar sering kali tidak berkontribusi langsung terhadap kualitas pembelajaran. Sebaliknya, beban tersebut malah menciptakan stres yang berdampak negatif pada performa mereka di kelas.
Kriminalisasi dan Penegakan Hukum Lemah
Berbagai kasus kriminalisasi guru semakin banyak, di mana mereka dilaporkan atau bahkan dipidanakan oleh orang tua siswa atas dugaan kekerasan maupun pelanggaran. Banyak kasus yang dilaporkan tidak melalui proses penyelidikan yang memadai, sehingga menciptakan ketakutan di kalangan tenaga pendidik. Guru takut untuk mengambil tindakan tegas terhadap siswa, khawatir hal tersebut akan berujung pada tuntutan hukum. Lemahnya keberpihakan hukum terhadap guru semakin memperburuk situasi ini. Guru yang berusaha menjalankan tugasnya justru dihadapkan pada tekanan hukum tanpa dukungan dari institusi pendidikan maupun pemerintah. Kondisi ini membuat banyak guru memilih untuk bersikap pragmatis dan “mencari aman,” menghindari keterlibatan dalam situasi yang berpotensi berujung pada kriminalisasi.
Kekerasan Harus Dihapus
Situasi ini membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dibutuhkan regulasi yang melindungi guru dalam menjalankan tugas, selama tindakan mereka tidak melanggar norma hukum dan etika. Selain itu, sistem mediasi yang melibatkan pihak sekolah, orang tua, dan siswa harus menjadi langkah awal dalam menyelesaikan konflik, sebelum melibatkan ranah hukum.
Kekerasan di lingkungan Pendidikan harus segera diselesaikan dengan solusi yang menyeluruh dan kolaboratif. Semua pihak seperti guru, orang tua, pemerintah, dan Masyarakat harus bersinergi menciptakan budaya pendidikan yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan siswa. Guru, siswa, orang tua, dan pemerintah berperan aktif dalam menghapus budaya kekerasan, mulai dari ruang kelas hingga kebijakan nasional. Dengan membangun kesadaran kolektif, menguatkan pendidikan karakter, dan mendukung tenaga pendidik melalui regulasi yang adil serta menyediakan mekanisme pelaporan yang efektif, kita dapat memutus rantai kekerasan di lingkungan sekolah.
Editor: Assalimi