Perspektif

Kasus Kekerasan Seksual Marak, Siapa yang Bertanggung Jawab?

3 Mins read

Kasus kekerasan seksual bukan lagi menjadi hal yang tabu dan asing di telinga kita. Khususnya di negara Indonesia. Kasus ini tidak hanya dialami oleh perempuan dewasa saja, laki-laki bahkan sampai anak-anak mengalami hal ini.

Kekerasan jenis ini kembali terjadi lagi. Kali ini di Hamparan Perak, salah satu Kecamatan di Deli Serdang, Sumatera Utara. Mirisnya seorang anak yang masih duduk di kelas 6 SD disetubuhi ayah tirinya hingga hamil.

Kasus tersebut merupakan katergori kriminalisasi inses, salah satu jenis dari kekerasan seksual. Jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia terkhusus terhadap perempuan, setiap tahunnya bergerak fluktuatif namun kecenderungan meningkat. Bahkan fakta yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa hampir semua korban lebih memilih diam.

Potret Kasus Kekerasan Seksual

Sejak tahun 2008, angka kasus kekerasan seksual tertinggi ada di sepanjang tahun 2019. Akhir tahun kemarin, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan diantaranya adalah fisik, psikis, ekonomi, seksual, dan khusus. Kekerasan tersebut bisa terjadi dalam ranah rumah tangga, privat, komunitas ataupun negara.

Pada tahun 2015 sampai 2019, jumlah kasus di ranah personal berkisar 2.800 hingga 3.400 kasus tiap tahunnya. Pada ranah komunitas berkisar 2.000 kasus hingga 3.100 kasus. Tercatat di tahun 2019, kasus kekerasan seksual mencapai 4.898 dan menjadi kasus inses tertinggi.

Komnas Perempuan mencatat 10 kategori kasus kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2019. Kategori tersebut berdasarkan definisi KUHP dan definisi terminologi yang digunakan oleh lembaga layanan non pemerintah dan Komnas Perempuan. Kategori inses menjadi salah satu kasus terbanyak di tahun 2019 dengan jumlah kasus 822.

Inses merupakan kekerasan seksual dalam ikatan keluarga, hubungan sedarah atau kerabat dekat lainnya, termasuk hubungan orang tua kandung, atau orang tua tiri. Perkosaan juga manjadi kasus terbanyak, dengan angka 792 kasus dan disusul dengan kasus persetubuhan sebanyak 503. Tingginya kasus inses tersebut menjadi catatan penting menurut Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menilai kasus jenis ini sulit dilaporkan korban karena hubungan keluarga.

Baca Juga  Menyoal Pemilu 2024 dan Ancaman Terhadap Hak-hak Digital

Kebutuhan Hukum

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga dapat terwujud. Mirisnya RUU PKS di tarik dari Prolegnas RUU Prioritas 2020 pada rapat kerja DPR RI Kamis (2/7), dengan alasan sulit untuk dibahas.

RUU PKS memang menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, ada yang mendorong agar segera dibahas, ada juga yang berpandangan bahwa RUU PKS tidak begitu diperlukan. RUU PKS yang dikeluarkan dari daftar Prolegnas tahun 2020 membuat banyak pihak resah. Padahal RUU tersebut telah lama diperjuangakan dan didesak untuk segera diselesaikan.

RUU PKS merupakan rancangan payung hukum untuk mencegah serta melindungi korban kasus. Lebih mirisnya, penarikan RUU PKS dilakukan ditengah tingginya kasus kekerasan seksual. Di tahun 2020 dari bulan Januari hingga bulan Mei sudah mencapai 642 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Potret kekerasan terhadap anak-anak juga termasuk hal yang darurat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pernah melakukan survey terkait hal tesebut. Deputi PPPA mengatakan, dari 11.410 responden yang terlibat, pihaknya memperoleh peta terkait kekerasan terhadap anak.

Tanggung Jawab Negara

Indonesia berada di situasi darurat kasus kekerasan seksual. Terlepas dari polemik RUU PKS, negara yang di dalamnya termasuk DPR dan pemerintah sudah seharusnya menjadikan kasus ini menjadi salah satu hal yang urgen untuk dituntaskan. Termasuk juga organisasi keagamaan harus ikut serta bersikap.

Memang sudah seharusnya kasus kekerasan terutama terhadap perempuan dan anak menjadi hal serius dan membutuhkan penanganan yang tepat dan komprehensif. Salah satunya dengan memastikan hadirnya payung hukum yang bisa menjamin rasa keadilan dan pemulihan korban serta memastikan kekerasan seksual tidak selalu berulang dan semakin meningkat lagi mencemaskan.

Baca Juga  Konstitusi: Piranti Terciptanya Negara Demokratis

Kesadaran atas kedaruratan situasi yang semakin menguat seiring peran media dalam menginformasikan kasus-kasus ini. Bahwa kasus ini benar-benar merupakan kejahatan yang luar biasa. Namun sayangnya, dalam kerangka hukum Indonesia kasus ini masih dianggap sebagai kejahatan kesusilaan semata. Sehingga mengurangi derajat kekerasan seksual yang menimbulkan dampak berat bagi korban dan menguatkan padangan bahwa kasus ini merupakan bagian dari persoalan moralitas semata.

Untuk itu, hadirnya kerangka hukum yang berpihak dan memperluas akses keadilan bagi korban menjadi penting dan mendesak. Apakah itu dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau dari KUHP. Perlindungan korban dalam hukum positif yang berlaku saat ini telah mengatur persoalan kekerasan seksual, namun belum sepenuhnya komprehensif.

Di sisi lain pemulihan korban juga harus menjadi persoalan yang serius. Tidak saja intervensi yang dilakukan secara medis, hukum maupun psiko-sosial, tetapi juga penciptaan situasi dimana korban dapat berdaya secara utuh. Sehingga mampu mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya dan bisa kembali menjalankan perannya di tengah masyarakat sebagai warga.

Tindakan ini tidak saja menuntut keseriusan negara selaku pemikul tanggung jawab. Namun juga menghendaki adanya dukungan dan keterlibatan dari masyarakat dan keluarga. Negara wajib melindungi warga negaranya dari rasa takut, sebab bebas dari rasa takut adalah hak asasinya sebagai manusia.

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa UIN Sumatera Utara Medan, Program Studi Manajemen Dakwah. Sekretaris Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman PC IMM Kota Medan.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds