Oleh: Diah Puspitarini*
SMP Muhammadiyah di Purworejo dan Kasus Perundungan
Saya turut prihatin tentang kasus perundungan siswa di SMP Muhammadiyah di Purworejo. Terhadap kasus ini, mari kita melihat dari berbagai sudut tentunya dengan pendekatan yang lebih humanis dan jangan langsung melakukan justifikasi.
1. Mengapa kejadian perundungan di sekolah bisa lolos dari pemantauan pendidik? Kita lihat dulu, kejadian tersebut terjadi ketika jam istirahat atau pelajaran atau ketika guru meninggalkan kelas karena ada tugas ataupun kebutuhan pribadi. Kalau saya melihat kejadian ini, pasti sdengan tidak ada guru karena ketika ada guru tentunya langsung menindak tegas.
2. Bagaimana sistem keamanan di sekolah? Sekolah bukanlah tempat yang harus di awasi oleh petugas keamanan 24 jam. Sistem keamanan di sekolah dibentuk oleh sistem sosial, baik dari siswa, antar siswa dan seluruh warga sekolah. Apa yang dilakukan oleh korban juga sudah benar dengan melaporkan kepada guru atas kejadian tersebut. Korban juga menyampaikan ke orang tua selanjutnya orang tua juga melaporkan ke pihak sekolah. Artinya, SMP di sini proses sudah benar. Memang butuh proses menumbuhkan keberanian pada siswa untuk berani melaporkan kejadian yang menimpa.
3. Karena korban adalah ABK (anak berkebutuhan khusus) seringnya mendapat perundungan maka sebaiknya dipindahkan sekolahnya. Saya benar-benar tidak setuju dengan pendapat ini, karena setiap ABK memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek. Bahkan pemerintah telah mencanangkan bahwa setiap sekolah adalah inklusi artinya wajib menerima siswa ABK walaupun disesuaikan dengan kemampuan sekolah tersebut. Siswa ABK justru harus sering diajak bersosialisasi dengan siswa pada umumnya agar ada sikap saling menghormati dan tolong menolong. Inilah keseimbangan hidup.
4. Bagaimana dengan pelaku? Ingat, jangan langsung menjustifikasi. Pelaku berasal dari latar belakang keluarga broken home dan tentunya memiliki latar belakang sosial yang bermasalah. Pengalaman saya pernah menjadi guru BK SMP, anak yang kelebihan tenaga di sekolah biasanya karena di rumah tidak mendapatkan perhatian. Apakah mereka bersalah? Dalam perundungan yang dilakukan, ya mereka bersalah, namun dengan usia masih di bawah umur tentunya orang tua dan keluarga besar juga memiliki andil. Bagaimana jika proses hukum sudah berjalan? Saya hanya berharap status mereka saat ini sebagai ABH (Anak Berbantuan Hukum) tidak mengurangi hak utama mereka sebagai anak yaitu salah satunya mendapatkan pendidikan apalagi saat ini mereka akan menjalani ujian, tentunya saya berharap mereka juga tetap bisa menjalani ujian.
5. Bagaimana dengan kondisi sekolah yang siswa tinggal 20 orang? Sebenarnya fenomena seperti ini juga terjadi di beberapa sekolah Muhammadiyah, walau jumlahnya kecil. Namun, faktanya memang demikian dan ada. Sekolah Muhammadiyah dibangun oleh civil society Muhammadiyah di level ranting, cabang, atau daerah. Maka seharusnya apa yang terjadi dengan sekolah tersebut tidak luput dari perhatian Muhammadiyah dan warga setempat. Teorinya sekolah bisa maju dan berkembang bersama masyarakat ini yang disebut dengan School Based Management atau MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), jika konsep ini dibangun maka tidak ada istilah sekolah mati atau tutup. Saya tidak setuju jika ada istilah sekolah ini ditutup, harapan saya ini menjadi tanggungjawab pemerintah setempat dan juga Muhammadiyah. Dengan prinsip ta’awun di Muhammadiyah, sekolah ini bisa mulai diperbaiki sambil didampingi oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah di sekitarnya, sebut saja SMP atau SMA/K Muhammadiyah yang lebih maju di Purworejo. Akan sangat apik lagi jika Universitas Muhammadiyah Purworejo juga turun tangan membantu. Bantuan tidak melulu masalah materi, tetapi juga pendampingan SDM, perangkat pembelajaran dan lain-lain. Seperti yang sudah dilakukan oleh PTM dan Sekolah Muhammadiyah yang lain. Jika satu sekolah Muhammadiyah tutup, maka berhentilah peradaban ilmu di daerah tersebut.
6. What’s next?
Korban ini harus dipulihkan traumanya dan didampingi dengan lebih intens, saya sangat berharap ada tim psikologi yang bisa mendampingi. Mengunjungi korban memang mampu menambah kekuatan korban, tapi itu sifatnya hanya stimulant. Namun mendampingi secara psikologis akan bekerja dalam 2 hal, memulihkan dr trauma dan sebagai ABK akan terdampingi sesuai kebutuhan khusus yang dialaminya.
Perlu ada gerak cepat kepada sebagian besar siswa yang lain yang berada di sekolah tersebut untuk dikuatkan juga secara psikologis, ingat yang berkasus empat orang namun enam belas orang yang lain juga berada d lingkungan tersebut. Penting menjaga kondusifitas siswa yang lain agar proses belajar mengajar bisa nyaman. Kondisi sekolah yang demikian harus segera mendapat perhatian dari semua pihak. Dan saya melihat sudah banyak pihak yang turut membantu sekolah ini.
Sungguh jangan sampai kondisi seperti ini terjadi kembali.
Ayah, Bunda, mari kita lebih care lagi dengan anak-anak kita meskipun dengan mengalami masalah. Janganlah itu mengurangi kasih sayang kepada anak-anak.
Mari sebagai warga masyarakat atau warga Muhammadiyah, kita juga lebih peka jika ada sekolah yang akan tutup maka masyarakat harus saling membantu. Apalagi dengan sistem zonasi saat ini harapannya juga mampu menghidupkan sekolah-sekolah yang sudah ada baik negeri atau swasta.
Sekolah adalah pusat peradaban ilmu, siswa adalah anak panah peradaban, dan guru adalah lentera peradaban. Bangun dan gembirakan perdaban ilmu untuk bangsa yang beradab.