Di era big data dan revolusi 4.0 ini, tak ada lagi era kompetisi ideologis. Semua orang, semua kekuatan dan semua pihak perlu menyadari untuk selalu berada dalam ruang semangat berlomba berkolaborasi. Suasana kemanusiaan era sekarang tergambar dalam paragraph di atas. Suasana bahwa bersaing menghancurkanmu, sedangkan berkolaborasi menyelamatkanmu. Itulah semangat kemanusiaan hari ini. Semangat kaum muda yang hidup dalam era millennial yang ditandai dengan revolusi 4.0.
Semangat mengarungi dan menyelami big data, mengelolanya, menjadikannya sebagai bahan mengisi dunia secara bersama-sama. Namun seperti lumrahnya ilmu pengetahuan memiliki logikanya, yang menguasai kunci khazanah (gudang) ilmu pengetahuan, adalah yang akan memimpin kolaborasi dunia kemanusiaan menuju kebajikan. Di suatu pulau bernama Sentosa, wilayah Singapore, kami menghayati benar makna berkolaborasi itu. Kami hadir dengan semangat itu.
Kami berkumpul di Sentosa, sebuah kepulauan asri nan dingin, wilayah Singapore. Dalam sebuah acara Indonesia-Singapore Young Leader Scenario Planning Workshop. Sebuah acara yang digagas oleh S. Rajaratnam School for International Studies (RSiS)—hadir diwakili Ambassador Ong Keng Yong (Executive Deputy Chairman) dan Leonard C. Sebastian, Ph.D (Koordinator Indonesia Programme) dengan sponsor utama Temasek Foundation connects—hadir diwakili Lim Hock Chuan (Chief Executive) dan Corinna Chan (Senior Deputy Coordinator of Programme). Suasana belum saling kenal terjadi di antara kami, 20 peserta dari Indonesia dan 20 peserta dari Singapore. Terasa masih agak kaku dengan penjajagan saling mengenal di awal perjumpaan.
Didudukkan dengan konsep meja bundar berisi masing-masing delapan kaum muda dari dua negara tetangga ini, kami berusaha saling mengenal pendahuluan. Bertanya tentang nama, berasal dari lembaga apa, mengakrabkan diri dengan penuh antusias dengan pernyataan sangat senang bisa bertemu, lalu dilanjutkan dengan saling bertanya aktifitas lembaga masing-masing. Dengan konsep ini, kami dibawa dalam setting penuh keakraban. Kami memang sudah siap datang dengan sikap dan komitmen mempertegas tentang masa depan kerjasama bilateral dan kawasan ASEAN yang lebih maju dan kolaboratif.
Malam Pertama Perjumpaan
Malam pertama program diisi welcome dinner. Difasilitasi oleh seorang fasilitator ternama, Cho-Oon Khong, PhD (Chief Political Analyst Shell International Ltd). Beliau adalah spesialis fasilitator untuk acara scenario planning. Welcome dinner yang dibuat sangat informal dan penuh keakraban ini seolah mengawal sikap dan komitmen kaum muda yang berjumpa ini. Bagaimana setting pengawalan sikap dan komitmen itu terjadi?
Secara resmi, setelah secara informal-individual di meja bundar masing-masing saling berkenalan, kami mengenalkan diri singkat, lalu ada hal penting yang dimintakan kepada kami oleh fasilitator, yaitu terkait dengan pengawalan sikap dan komitmen. Setiap kami di samping perkenalan juga diminta untuk menyampaikan surprised thing yang diharapkan atau tidak diharapkan muncul sekarang ini dalam konteks dua negara.
Ada beberapa catatan penting. Di antaranya: fenomena big data dan revolusi 4.0; fenomena medsos dan bisnis berbasis online; politik monolitik vs pluralis dalam konteks kepartaian; climate change; politik-ekonomi dan ketahanan pangan; bencana alam dan pentingnya kepedulian komunitas internasional; kepemimpinan politik; serta politik nasionalis-agama dan nasionalis-sekuler. Terhadap surprised thing itu, ada kesepakatan, bahwa kami harus menyusun scenario planning dengan prinsip komitmen kolaborasi, saling menghargai dan siap terus-menerus belajar. Apa dan bagaimana menghadapi tantangan yang diprediksi pada masa mendatang, misalnya pada 2045?
Tantangan Kini dan Mendatang
Beberapa tantangan kekinian yang sempat kami highlight dalam malam pertama perjumpaan di atas dibahas dengan perspektif dan pengalaman kami masing-masing. Penyebutan pertama dan seterusnya bukan menunjukkan mana yang lebih penting. Tetapi, menunjukkan kecenderungan kami dalam memandangnya sebagai isu penting. Isu kerjasama ekonomi berbasis teknologi dan sharing informasi strategis terkait ekonomi, keamanan dan politik menjadi pembicaraan yang cukup serius.
Tantangan terhadap kerjasama ekonomi berbasis teknologi di antaranya adalah kepemimpinan yang ultra-nationalist, bencana alam yang membuat supply material ke kedua belah pihak negara terganggu dan bahkan terhambat, pengembangan teknologi terhambat mencapai wilayah-wilayah perekonomian yang menjadi target kerjasama ekonomi. Dalam konteks kebijakan dan kerjasama kedua Negara, yang terpenting adalah prinsip kerjasama yang saling menguntungkan dan membangun diri masing-masing rakyat untuk hidup lebih sejahtera dan makmur.
Dalam kaitan ini secara umum, yang dikuatirkan oleh kaum muda kedua Negara ini adalah adanya kepemimpinan dengan model yang disebut “ASEAN Trump”. Uniknya, juga muncul refleksi kepemimpinan model “ASEAN Hillary”, “ASEAN Putin”, “ASEAN Kim Jong Ill”, “ASEAN Mahathir”, “ASEAN Habibie”, ”ASEAN SBY” etc. Di samping model kepemimpinan, juga muncul refleksi atas model relasi Negara-Negara, misalnya: China-Taiwan, Australia-New Zealand, US-Russia, US-Japan, US-the UK, etc. Refleksi analitik baik tentang model kepemimpinan ataupun relasi kenegaraan adalah upaya menyusun scenario model seperti apa yang terbaik dalam kondisi tertentu.
Terhadap tantangan itu, ada skenario yang digagas. Muaranya adalah Komitmen kolaborasi, saling menghargai dan Terus-Menerus Belajar.
Cerita tentang Hubungan Manis Presiden Suharto dan PM Lee Kuan Yew
Tentang komitmen berkolaborasi dan saling menghargai, eksemplar contohnya paling tidak bisa diambil dari kisah relasi manis Presiden Suharto dan PM Lee Kuan Yew. Ada suatu kisah manis dan unik yang diceritakan oleh Duta Besar Singapore untuk Indonesia, Ambassador Barry Desker, yang bertugas pada era Pak Harto. Kedua Kepala Negara, bila ada pertemuan kenegaraan, yang dibicarakan bukanlah hal-hal terkait dengan Negara saja yang menjadi inti pembicaraan, malahan bicara tentang human interest dan personal keduanya, seperti meditasi, tradisi Indonesia-Singapore, memancing, makanan dan lain-lain.
Hubungan kedua pemimpin sangat dekat. Saling menghargai. Saling membantu dan menolong bila yang satu mengalami kesusahan. Di era Pak Harto dan PM Lee, tidak ada masalah Indonesia-Singapore yang tidak selesai. Semuanya beres, bahkan sebelum dibahas. Urusan negara pengerjaan penyelesaiannya melalui mutual trust antara dua pemimpin tinggi. Ini relasi dan kolborasi yang hebat.
Hubungan dua negara ini sampai sekarang perlu dijaga dengan nilai mutual trust ini dalam konteks bidang dan sektor apapun. Maka, untuk mengarah ke pewujudan penjagaan mutual trust tersebut, tambahan dari Ambassador I Gede Ngurah Swajaya, duta Besar Indonesia utk Singapore, diplomasi fakta dan bukan hoax menjadi kata kuncinya. Misalnya tentang kekuatiran terhadap dampak demonstrasi besar di Jakarta, sungguh tidak mempengaruhi perekonomian di Jakarta, perlu disampaikan dalam pemberitaan dengan baik.
Karena demonstrasi di Jakarta sangat relative aman dari segi situasi sebagaimana demosntrasi yang terjadi pada era Reformasi. Hal itu sebab kontrol media, civil society dan kedewasaan berpolitik, telah tersedia menjadi sistem yang mapan dan diterapkan sesuai prosedur. Yang perlu diurai adalah bahwa kondisi politik di Indonesia sangat bagus dalam konteks politik dan merangkak secara perlahan secara ekonomi. Singapore perlu mengembangkan suatu sikap dan pemberitaan yang berimbang dan tidak menyeramkan.
Mutual trust yang dibayangkan di atas memiliki nilai penting. Begitupula nilai demokrasi yg dikembangkan di Indonesia, dan nilainya bisa dipercaya oleh Singapore menjadi ruang kolaborasi yang kuat. Oleh karena itu, saling percaya itu harus selalu dimulai dari ketulusan membela dan berkolaborasi.
Dalam kaitan ini, model terbaik dalam relasi kedua belah Negara adalah US-Japan atau US-the UK. Yakni, relasi yang setara, saling membantu kepentingan nasional masing-masing, demi mencapai kesejahteraan rakyat kedua belah Negara. Tentu yang diharapkan bukan seperti relasi US-China yang sering memanas, US-Russia yang saling bersaing, China-Taiwan yang sering konflik kepentingan.
Secara sifat dan model kepemimpinan baik dalam kebijakan ataupun komunikasi politik, yang diharapkan adalah bukan “ASEAN Trump”, bukan “ASEAN Bush”. Konteks kepemimpinan yang bagus untuk kedua belah pihak adalah kepemimpinan yang bagus komunikasi politiknya, cerdas, visioner, tulus bukan sekedar pencitraan, dan mampu berkolaborasi dengan Negara tetangga untuk menjamin kepentingan kemakmuran rakyatnya.
Collaboration in Diversity
Kami kaum muda yang hadir dalam perjumpaan dua Negara berasal dari ragam latar belakang, baik keagamaan, keorganisasian, sikap politik, partai politik, aktifitas dan bidang keahlian. Ada yang pendidik, aktifis social, politisi, pegawai pemerintah, militer, pengusaha, ahli IT dan pengusaha IT, cendekiawan, diplomat, dan jurnalis.
Pikiran visioner kami rata-rata sama. Yakni, kami siap berkolaborasi untuk kepentingan Negara dan kemakmuran rakyat yang lebih luas. Meski kami berasal dari background dan sikap politik yang mungkin berbeda. Tentu saja, prinsip kolaborasi itu tidak menutup suatu ruang bahwa kami harus saling mengkritisi demi hadirnya sebuah ruang yang berisi nilai dan program konkret untuk kemakmuran rakyat dan Negara yang sejahtera. Kami berkolaborasi dengan perbedaan aras perjuangan, dan kami berkolaborasi dengan kontribusi yang berbeda-beda kapasitas, model dan daya jangkaunya.
Kami menyadari bahwa revolusi 4.0 dan big data, telah membawa kami untuk selalu kreatif dan bergerak cepat. Menyusun scenario yang bernas, tepat sasaran serta memuat alternative pikiran dan program yang bisa diterapkan dengan perencanaan tertentu. Kami disatukan dengan system teknologi informasi dan medsos sebagai akibat dari revolusi 4.0. Oleh karena itu, kami saling percaya untuk berbagi informasi dan kreatifitas yang mungkin bisa diterapkan di tempat masing-masing sebagai sebuah kolaborasi ide dan kreatifitas.
Ide dan konsep programmnya bisa didiskusikan melalui dunia maya, dikonkretkan dengan analisa terhadap big data, mana scenario yang akan diadaptasikan terlebih dahulu untuk dipraktekkan. Bermusik, berbisnis, jualan, berpolitik, membangun aktifitas sosial, konsep model pendidikan, semua bisa dikerjakan secara kolaborasi dengan proses memanfaatkan teknologi informasi.
Intinya, kami membangun mutual trust yang konkret, bukan dibatasi oleh ideology atau ruang waktu serta kluster program. Melainkan hanya oleh saling percaya yang tulus untuk mengerjakan suatu programme, yang menguntungkan kedua belah pihak dan kedua belah Negara, selanjutnya membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat. Inilah dasar penyusunan scenario kami dalam beraktifitas dalam segala bidang.
Prinsip-Prinsip Scenario Building
Mutual trust sekali lagi adalah prinsip utama dalam komitmen berkolaborasi, saling menghargai dan sikap untuk terus-menerus saling belajar. Dengan kata kunci mutual trust yang diaplikasikan dengan baik, sebagian besar masalah terkait kedua belah Negara dapat teratasi dengan baik. Pun juga masalah di dalam negeri. Jadi, pada tahun 2045, jika mutual trust dapat terjaga dan dijaga dengan baik, prediksi tantangan dan persoalan yang dihadapi baik oleh Indonesia ataupun Singapore seperti diurai di atas akan dapat diselesaikan dengan gemilang.
Namun demikian, karena mutual trust bukan sekedar omongan dan konsep belaka, maka pelaksanaannya membutuhkan suatu scenario building yang matang. Scenario building sesungguhnya bukan sekedar memprediksi apa yang akan terjadi pada masa tertentu yang kita perkirakan suatu persoalan akan terjadi. Tetapi, juga merupakan penyusunan langkah antisipatif menyediakan ruang penyelesaiannya masalah secara gemilang dengan langkah-langkah alternatif.
Dalam kaitan ini, prinsip utama scenario building adalah mutual trust itu sendiri. Juga kesediaan untuk melihat, mencerna dan memahami perspektif orang atau pihak lain terhadap suatu masalah yang diprediksi terjadi pada suatu masa tertentu. Sikap kesediaan itu dilakukan bahkan ketika kita tidak setuju terhadap pandangan orang atau pihak lain itu. Yang sedang dicari alternatifnya adalah poin tentang bahwa orang atau pihak lain memiliki pandangan demikian, lalu pandangan kita bagaimana.
Apakah mungkin berkolaborasi. Jika tidak bisa, skenarionya adalah agar penyusun scenario segera dapat menemukan dengan siapa prinsip mutual trust dan kolaborasi itu akan dibuat dan dijalankan. Di sinilah, scenario building dapat dilustrasikan sebagai upaya memperkaya perspektif dan pencarian alternatif cara untuk keluar dari suatu masalah. Ketika menyusun scenario, kita perlu memperbesar visi (zoom out) dan melihat dari atas awan, sehingga pandangan kita terhadap sebuah objek memiliki perspektif yang lebih luas dan antisipatif.
Kesadaran dengan langkah scenario building yang hebat dan terukur, disertai sikap mutual trust dan kolaborasi, tentu akan mempertegas pentingnya semangat untuk berhimpun, bergerak serta mengikat diri dalam wadah kenegaraan masing-masing dengan tujuan saling membantu dalam memakmurkan rakyat kedua belah pihak. Di sini kami optimis bahwa masa depan kerjasama kawasan dan global akan dapat dicapai dengan baik dan gemilang. Wallahu a’lam.
*Sekretaris Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah Sendangagung