Tidak berlebihan kiranya ketika dikatakan bahwa Prof. Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur, dianggap sebagai salah satu cendekiawan muslim paling berpengaruh di Indonesia. Bisa kita lihat dari banyaknya gagasan beliau yang terbilang fenomenal dan menimbulkan pro kontra. Tapi hal itulah yang membuat nama beliau besar dan atmosfer keilmuan Islam di Indonesia pun turut berkembang bersamanya.
Cak Nur
Nurcholish Madjid mengenyam pendidikannya di Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang. Tak berhenti di situ, beliau juga mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo. Setelah itu, beliau melanjutkan studi ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, serta meraih gelar Ph.D di University of Chicago.
Sebagai seorang intelektual, Cak Nur mempunyai rekam jejak yang cukup mentereng. Beliau pernah menjadi staf Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), juga menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.
Ketika aktif sebagai mahasiswa, Cak Nur tercatat menjadi aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan pernah menjabat sebagai ketaa umum PB HMI selama dua periode. Pria kelahiran Jombang, 17 Maret 1939 ini meninggalkan banyak warisan intelektual. Salah satunya yakni pandangannya tentang cita-cita keadilan sosial dalam Islam.
Keadilan Sosial dalam Islam
Cak Nur memahami Islam, bukan sebatas agama yang mengajarkan praktik-praktik ritualistik-simbolik belaka. Tapi terdapat juga ajaran yang mewajibkan pemeluknya untuk turut serta memperjuangkan keadilan sosial. Maka, dalam bukunya: “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan“, beliau mengungkapkan bahwa mustahil jika Alquran tidak membicarakan permasalahan sosio-ekonomi.
Cak Nur pun berpendapat bahwa pada masa awal turunnya firman kepada Nabi Muhammad, Alquran bukan hanya berbicara soal keprihatinan praktik kekafiran orang-orang Mekkah. Melainkan juga mengkritik habis segala bentuk kezaliman (ketidakadilan) yang terjadi di dalam masyarakat Mekkah.
Dengan demikian, bagi Cak Nur, cita-cita keadilan sosial yang terdapat dalam ajaran Islam merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan lagi. Beliau pun menerangkan bahwa suatu tingkah laku ekonomi yang menghalangi terwujudnya keadilan sosial mendapat suatu teguran yang sangat keras dari Alquran.
Hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Takatsur dan al-Humazah. Kemudian teguran terhadap sikap ekonomi yang egois dan tidak produktif terdapat juga dalam surah at-Taubah ayat 34-35 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih, yaitu ketika harta itu dipanaskan di api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan punggung mereka. Lalu dikatakan kepada mereka: ‘inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan diri kamu sendiri di dunia, maka sekarang rasakanlah akibat harta yang dulu kamu tumpuk itu’.”
Islam Progresif
Pada tahun 1960-an, Cak Nur melakukan lawatan ke berbagai negara. Beberapa diantaranya adalah negara-negara Timur Tengah. Di sana beliau mengalami kekecewaan, karena Islam diperlakukan secara kaku dalam slogan-slogan loyalistik dan cenderung miskin solusi dalam menyelesaikan problematika umat.
Pun dengan kondisi umat Islam di Indonesia yang terjebak pada kemiskinan, ketidakadilan, kebencian, dan sebagainya. Penting juga untuk dicatat, bahwa Cak Nur sendiri adalah perumus NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI. NDP HMI yang dirumuskan oleh Cak Nur tersebut tak lain adalah berangkat dari refleksi keresahan seorang Cak Nur.
Oleh sebab itu, selain menjadi arah gerak dan landasan moral perjuangan setiap kader HMI, NDP dirumuskan untuk menyelesaikan problem-problem umat. NDP sendiri terdiri dari beberapa bab, seperti dasar-dasar kepercayaan hingga soal keadilan sosial ekonomi, kemanusiaan dan ilmu pengetahuan.
Secara ringkasnya, Islam yang ditafsirkan dalam NDP tidak sebatas ritual belaka. Melainkan juga Islam yang mempunyai semangat untuk mewujudkan keadilan sosial. Di samping itu, NDP yang dirumuskan Cak Nur menegaskan juga mengenai pentingnya ilmu pengetahuan. Dengan demikian, NDP HMI sebenarnya memuat ajaran-ajaran Islam progresif.
Cak Nur dan Asghar Ali Engineer
Saya melihat adanya persamaan semangat antara teks NDP HMI yang dirumuskan oleh Cak Nur, begitu juga pandangan beliau mengenai Islam dan cita-cita keadilan sosial dengan diskursus “Islam dan Teologi Pembebasan” yang ditulis oleh Asghar Ali Engineer.
Misalnya saja, Asghar Ali Engineer berpandangan bahwa masyarakat Mekkah pra Islam penuh dengan ketidakadilan dan penindasan. Kemudian Islam hadir untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan tersebut. Karena Islam hadir sebagai suatu ajaran yang mempunyai tujuan dasar, yakni persaudaraan yang universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Cak Nur pun dalam buku “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” juga menegaskan bahwa semangat dalam firman-firman yang mengkritik ketidakdilan ekonomi (seperti at-Taubah: 34-35 di atas) berjalan sejajar dan konsisten dengan semangat yang lebih umum, yaitu keadilan berdasarkan persamaan manusia (egalitarianisme).
Cak Nur pun menekankan juga mengenai pentingnya persaudaraan dengan komunitas umat beragama lain sebagai suatu pesan dalam Alquran juga. Jadi, sekarang saatnya lah kita mengamalkan ajaran-ajaran Islam bukan hanya pada ajaran ritualnya saja. Tafsiran ajaran terkait sosial, ekonomi dan sebagainya mesti kia perhatikan juga. Selamat bergerak dan beramal!
Editor: Rifqy N.A./Nabhan