Feature

Keadilan Tuhan dalam Menulis

2 Mins read

Oleh: M. Husnaini

Seorang wartawan dan penulis senior pernah bilang kepada saya bahwa keadilan Tuhan yang paling besar terletak dalam bidang menulis. “Kemampuan menulis itu sangat terkait dengan kemampuan membaca. Makin banyak membaca makin bagus mutu tulisan, dan sebaliknya. Bahkan keadilan Tuhan dalam bidang ini tidak diberikan kepada Nabi dan Rasul,” jelasnya.

Jika direnungkan, ungkapan di atas bukan isapan jempol. Penulis besar adalah juga pembaca hebat. Ketika berkunjung ke kediaman budayawan Ajib Rosidi, saya melihat sebagian besar dari bangunan rumahnya adalah perpustakaan pribadi. Di sebelah kiri rumah D Zawawi Imron, saya juga melihat bangunan sederhana tempatnya melukis, berserakan buku dan majalah. Sementara Emha Ainun Nadjib punya gudang dalam rumahnya di Yogyakarta untuk menyimpan buku-buku.

Kegiatan menulis memang tidak lepas dari kegiatan membaca. Para penulis telah memungut dan melahap ratusan, atau malah ribuan bacaan. Hasil bacaan itu kemudian mereka endapkan dalam hati dan fikiran untuk kemudian diracik menjadi aneka macam menu dalam sebuah tulisan.

Untuk dapat menghasilkan tulisan bermutu secara rutin setiap minggu dalam Catatan Pinggir Majalah Tempo, Goenawan Mohamad tentu sudah melahap dan mengunyah bacaan yang barangkali sukar dihitung jumlahnya.

Demikian pula penulis-penulis tetap dalam majalah atau koran, seperti Haedar Nashir (Suara Muhammadiyah), Nur Cholis Huda dan Syafiq A Mughni (Matan), Ida S. Widayanti (Suara Hidayatullah), Meutia Geumala dan Nina M Armando (Ummi), Abdul Wahid Asa (Aula), AS Laksana (Ruang Putih Jawa Pos), dan lainnya.

Membaca bagi mereka sudah menjadi kebutuhan seperti makan dan minum. Tanpa membaca, fikiran akan macet dan miskin inspirasi sehingga sukar menghasilkan tulisan. Tentu makna membaca bukan sekadar membaca yang tersurat (tulisan), melainkan juga membaca yang tersirat (fenomena).

Baca Juga  Ketika Al-Ma'mun dan Aristoteles Dialog Tentang Dunia Islam

Samudera alam raya ini adalah “buku kehidupan” bagi para penulis. Bahkan, Emha Ainun Nadjib pernah bilang, universitas yang sesungguhnya adalah terminal. Dari terminal, dia bisa belajar dan memahami banyak hal yang nyata.

Orang yang sudah terampil menulis mampu memungut serpihan kejadian dan pengalaman hidup sehari-hari menjadi letupan inspirasi. Di tangan mereka, hal-hal sederhana disulap menjadi karya tulis yang elegan dan mengagumkan. Terkadang malah tidak terfikirkan sebelumnya oleh para pembacanya.

Ada pula penulis yang hanya menuliskan pengalaman pribadinya. Tetapi karena dibumbui teori sana-sini lalu diracik dengan gaya bahasa yang khas dan mengena, pengalaman yang biasa itu menjadi bacaan yang menarik dan berbobot.

Saya sering membaca tulisan demikian. Penulis yang terampil biasanya memang mampu menghasilkan karya tulis yang berbobot sekaligus mudah dicerna pikiran. Karena itu, tidak benar jika ada orang bilang, tulisan yang “biasa” dan tidak bertabur teori itu menandakan penulisnya tidak begitu dalam ilmunya. Juga tidak benar mengatakan tulisan yang banyak kutipannya itu adalah jiplakan.

Tulisan-tulisan A Mustofa Bisri selalu mudah dicerna. Itu menandakan Gus Mus adalah seorang penulis yang piawai menjinakkan kata-kata sehingga setiap persoalan yang rumit mampu dibahasakan dengan mudah. Lain lagi Prof Jalaluddin Rakhmat yang tulisan-tulisannya bertabur teori. Itu adalah bukti keluasan bacaan Kang Jalal sehingga mampu mengurai teori yang njelimet menjadi gampang dipahami fikiran awam.

Ini penting saya tegaskan. Sebab saya sering mendengar sementara orang yang berkomentar ngawur tentang sebuah tulisan. Umumnya, mereka ini adalah orang-orang yang tidak paham dunia tulis-menulis. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti kualitas sebuah tulisan. Atau boleh jadi mereka adalah orang-orang yang sangat ingin menulis tetapi tidak mampu karena enggan membaca.

Baca Juga  Hasil Survei, Rezim Elektabilitas, dan Keberanian Partai Politik yang Perlu Dipuji

Demikianlah, kemampuan menulis benar-benar wujud nyata keadilan Tuhan kepada manusia. Dan ini sekaligus jawaban bagi kita semua yang benar-benar ingin bisa menulis. Mengutip ungkapan Habiburrahman El Shirazy bahwa resep menulis itu ada 10: membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, dan membaca.

Malas membaca? Jangankan menulis, bahkan sekadar memahami tulisan pun sukarnya minta ampun.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds