Tiga Tipologi Gerakan Keagamaan di Indonesia
Keagamaan – Muslim yang ada di Indonesia dikenal dengan mayoritas Muslim terbanyak di seluruh dunia yang memiliki beberapa tipe dalam beragama lalu kemudian diklasifikasikan, demi memudahkan kita dalam memahami. Di antaranya, substansialisme atau kontekstualisme, formalisme atau dikenal dengan tekstualisme, serta spiritualisme.
Oleh karena itu, permasalahan dan kebutuhan yang ada di setiap daerah tertentu berbeda. Maka wajar apabila di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim memiliki cara masing-masing dalam memahami dan mempraktikkan agamanya.
Substansialisme
Paham ini bertitik tolak pada paradigma pemahaman keagamaan yang lebih mementingkan substansi atau isi ketimbang label atau simbol-simbol ekplisit tertentu yang berkaitan dengan agama.
Para “penganut” paham substansialisme, misalnya dalam konteks sosial-kemasyarakatan, merasa lebih nyaman dengan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit dalam segala hal, tanpa harus memunculkan label yang sering kali hanya mengundang konflik.
Para penganut paham ini akan merasa tidak perlu membangun negara Islam. Sebab yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai islam itu dijalankan sebaik-baiknya oleh orang warga negara yang muslim.
Para pendukung substansialisme ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran, dan menghormati keberagaman (pluralisme). Jelas, kelompok yang menghabiskan diri sebagai muslim moderat, berangkat dari sini (Azyumardi Azra: 1999).
Contoh nyata yang bisa memudahkan kita memahami dan membedakan antara substansialis dengan lainnya adalah kisah Sayyidina Umar bin Khattab, seorang sahabat Rasul yang ketika itu menjabat sebagai Khalifah.
Ketika itu, tertangkap seorang pencuri lalu keesokan harinya terjadi hal yang sama. Setelah ditelusuri, ternyata pencuri itu berasal dari daerah yang sama dan juga masih wilayah kekuasaan Islam akhirnya Khalifah Umar mengetahui penyebabnya yakni daerah tersebut adalah daerah yang miskin sehingga kebutuhan penduduknya tidak terpenuhi.
Sebagai kontekstualis, Umar tidak serta merta menghukumi pencuri tersebut dengan hukum potong tangan sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis, melainkan membebaskan mereka lalu memperbaiki perekonomian di daerah tersebut sehingga kebutuhan rakyatnya terpenuhi.
Formalisme
Berbeda dengan paham substansialisme, formalisme menganggap bahwa penerapan nilai-nilai Islam tidak cukup hanya secara implisit, melainkan harus diekspresikan secara eksplisit pula.
Penekanan paham ini terletak pada ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang sangat lahiriah semacam label atau simbol keagamaan, dalam setiap bidang kehidupan.
Isu formalisme agama di Indonesia lebih sering diidentikkan dengan formalisasi syariat. Karena, misi utama dari formalisme agama adalah mengusung syariat Islam menjadi aturan resmi dalam negara.
Formalisasi syariat Islam yang dilakukan oleh beberapa kalangan umat Islam tidak hanya dipandang dalam satu sisi yaitu sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama. Kemunculan kembali ide penerapan Islam merupakan reaksi terhadap kelemahan yang menimpa umat Islam saat ini.
Sebagian kalangan meyakini bahwa jika umat Islam kembali ke ajaran agamanya, maka akan dapat keluar dari masalah yang dihadapi dan kembali menjadi pemimpin dunia.
Tetapi, bagi sebagian pendukung formalisasi syariat, keikut-sertaan mereka dalam upaya tersebut bukan hanya didasari oleh keinginan ideologis, melainkan juga termotivasi terhadap problema sosial dan psikologis yang dihadapi masing-masing pendukung formalisasi tersebut (Mahmuddin: 2015).
Spritualisme
Paham yang terakhir ini lebih menekankan pada pengembangan sikap batiniah, yang untuk mencapainya meniscayakan keikutsertaan dalam kelompok-kelompok eksklusif spiritual-mistik, tasawuf atau tarekat, atau bahkan melalui kelompok-kelompok yang dapat disebut sebagai kultus.
Paham spiritualisme ini cenderung tidak politis sehingga tidak heran jika kelompok atau paham ini jarang sekali muncul ke permukaan, kecuali kelompok paham ini keluar atau menyimpang dari paham keagamaan mainstream yang berlaku (Azyumardi Azra: 1999).
Gejala kemunculan kelompok ini di Indonesia dipercepat oleh kenyataan berlangsungnya perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat, yang menimbulkan disorientasi atau dislokasi psikologis dalam kalangan tertentu masyarakat.
Selain itu, bisa pula kemunculan kelompok paham spiritualisme ini didorong oleh ketidak-puasan mereka pada paham-paham yang ada, substansialisme dan formalisme/legalisme, yang mereka pandang tidak mampu lagi memfasilitasi perjalanan keagamaan mereka (Azyumardi Azra: 1999) seperti kisah Al-Ghazali salah satu tokoh sufi yang tidak menemukan kepuasan dalam beragama selain dalam ranah spiritualisme (Amtsal Bachtiar: 2015).
Spiritualisme merupakan akar dan substansi agama. Sebab dalam pandangan beberapa teori sejarah agama-agama, spritualisme ditempatkan sebagai akar dari setiap agama.
Teori tersebut melihat agama sebagai wujud dari kesadaran manusia akan adanya spirit dalam kehidupaan manusia, bahkan dalam mekanisme alam raya.
Dalam Islam sendiri, terdapat spritualisme terkenal, yaitu sufisme. Sejarah lahirnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW di utus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia (Rosihan Anwar: 2004).
***
Selama Rasulullah hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai ‘Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktek ibadah tasawuf.
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa hidup seperti yang digambarkan dalam kalangan ahli-ahli sufi itu sudah ditemukan orang, baik pada diri Nabi Muhammad sendiri maupun pada diri sahabat-sahabatnya.
Salah satu contoh hidup sufi yang pernah di jumpai masyarakat adalah salah seorang yang pernah melakukan shalat Dzuhur selama dua hari hingga empat hari berturut-turut tanpa jeda.
Dia memahami sholat sebagai sujud kepada sang khaliq yang berarti selama 24 jam. Sebagian orang akan bertanya kapankah dia akan melaksanakan sholat Ashar, Maghrib dan sebagainya? Dan dia menjawab, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh adalah nama waktu sholat saja dan jumlah roka’at yang terbatas hanya perwakilan dari sholat yang harus didirikan setiap harinya.
Editor: Yahya FR