Kebahagiaan merupakan salah satu problem yang sampai kapan pun akan relevan untuk diselami. Kebahagiaan merupakan muara pencarian yang menjadi pokok pencarian manusia. Ketika seorang telah bahagia, maka ia tidak akan mudah tergoda untuk mencari yang lain.
Maka, salah satu penyebab munculnya konflik, kekisruhan, kekacauan, dan gejolak sosial karena kebahagiaan tidak hadir di situ. Bahagia di sini bukan hanya sebatas terpuaskan keinginan manusia, tetapi kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang ditempuh melalui jalan tuhan.
Maka, pertanyaannya adalah, apa itu bahagia? Dan, bagaimana manusia meraih kebahagiaan yang hakiki? Yuk, simak tulisan ini lebih lanjut.
Pembahasan tentang Kebahagiaan Menurut Para Filsuf
Sejak dahulu, pembahasan tentang kebahagiaan sudah banyak diungkapkan melalui pikiran-pikiran filsuf ternama seperti Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Di mana, setiap tokoh mempunyai pemikiran dengan ciri khas yang berbeda-beda dalam menjelaskan makna kebahagiaan. Seperti, Plato dengan dunia ideanya, menganjurkan agar jiwa bisa mengarah kepada sang baik.
Dengan corak pemikiran Plato tentang dunia ide, maka pemikiran Plato tentang kebahagiaan dan bagaimana manusia dapat meraih kebahagian hingga keutamaannya yang memiliki esensi gerak yang sama.
Menurut plato, gerak jiwa untuk meraih kebahagiaan dan keutamaanya harus mengarah kepada sesuatu di luar diri manusia yang biasa kita sebut sebagai Tuhan. Artinya Plato mempercayai hal-hal transenden di luar dirinya yang bisa menjadi sumber kebahagiaan dan keutamaan manusia.
Kebahagiaan dan keutamaan manusia dapat diraih bila gerak jiwa tidak mengarah kepada yang trasenden. Gerak jiwa yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat materik atau fisik hanya membuat jiwa dalam kegelisahan dan kehampaan semata.
Oleh karena itu, manusia hanya tertipu oleh bayangan saja yang hakikatnya berada di dunia ide.
Cara Mencapai Kebahagiaan yang Sejati
Selanjutnya, untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Kita harus memahami makna dari jiwa. Di dalam buku Plato yang berjudul Politeia, jiwa adalah sesuatu gerak yang menggerakan dirinya sendiri dan termanifestasi oleh badan dan tubuh.
Semua kompleksitas gerakan internal manusia adalah gerakan jiwa. Jadi dalangnya hidup manusia adalah jiwa. Sedangkan badan adalah wayangnya. Semua yang dapat dirasakan seperti bahagia, senang, sedih, pusing, dan lain-lain merupakan aktivitas jiwa yang dimanifestasikan melalui badan.
Tetapi, adakalanya aktivitas jiwa tidak dimanifestasikan melalui badan, terkadang ada aktivitas jiwa yang diekspresikan melalui internal, misalnya ide atau gagasan.
Aktivitas-aktivitas jiwa yang diekspresikan melalui badan hanya akan bersifat sementara atau temporal. Padahal, hakikatnya manusia tidak bisa menemukan atau merasakan kebahagiaan sejati pada hal yang berifat sementara.
Manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan sejati pada sesuatu yang mutlak atau abadi. Oleh karena itu, gerak jiwa manusia harus diarahkan menuju sesuatu yang mutlak atau abadi tersebut, agar dapat menemukan kebahagiaan abadi.
Pembagian Jiwa Menurut Plato
Plato membagi jiwa menjadi tiga unsur yang diwarnai oleh satu unsur lain. Unsur terakhir sebagai pemberi warna, unsur pemberi warna adalah unsur yang dimiliki atau melekat pada ketiga unsur jiwa.
Unsur tersebut dinamakan eros atau yang sering disebut dengan cinta. Adapun penjelasan ketiga unsur dan satu unsur pelengkap sebagai pemberi warna yang dimiliki atau melekat pada ketiga unsur jiwa sebagai berikut:
Pertama, Epithumia (Epithumos)
Epithumia adalah lambang dari nafsu-nafsu rendah. Dengan kata lain, Epithumia merupakan kebutuhan biologis manusia. Seperti makan, minun, dan seks.
Wilayahnya adalah bagian perut ke bawah bahkan bisa dikatakan jauh dari kepala. Maka dari itu, nafsu-nafsu ini besifat irasional dan mortal (jangkauannya pendek) bahkan susah untuk dikendalikan oleh akal.
Kedua, Thumos
Thumos merupakan lambang dari hasrat dan harga diri. Wilayahnya adalah dari dada sampai leher. Thumos ini merupakan segala bentuk efektivitas, rasa, semangat, dan agresivitas. Di dalam bukunya Plato, Thumos digambarkan sebagai prajurit.
Ciri dari prajurit adalah kecondongan untuk makan dan memiliki harta tidak terlalu penting karena yang menjadi fokus utamanya adalah kemenangan dalam kompetisi atau perang, nama baik, kejayaan, status, dan kesuksesan.
Ketiga, Logostikon
Logostikon merupakan rasio, alat piker, atau akal. Logostikon harus menjadi menjadi rajanya dalam hal apapun termasuk dalam hidup secara teoritis, praksis maupun beragama. Wilayah dari logostikon adalah kepala. Kepala berada paling atas di antara bagian tubuh lainnya. Dan haruslah menjadi pengontrol untuk bagian tubuh lainnya.
Keempat, Eros
Eros adalah sebuah dorongan yang menghidupkan dan mewarnai ketiga unsur jiwa (epithumia, thumos, logostiko). Di wilayah epithumia, eros membuat orang menyukai makanan atau minuman hingga seks.
Sedangkan di wilayah thumos, eros membuat orang menjadi cinta profesi, kelompoknya, tanah air dan cinta agama. Di dalam wilayah logostikon, eros mewujudkan dalam diri para pemikir melalui hasrat mereka dalam mengekalkan diri dari warisan-warisan penemuan dan pemikiran para pendahulu. Bertemunya eros dan logostikon banyak menghasilkan teori-teori filsafat.
Keempat unsur jiwa di atas dapat dianalogikan seperti kereta bersayap yang terdiri dari kuda hitam dan kuda putih. Kereta bersayap ini dikendalikan oleh sainsnya. Ephitumenia diidentikan sebagai kuda hitam sedangkan thumos kuda putih.
Untuk logostikon diidentikan dengan sains dan eros sebagai sang pemberi warna di identikan dengan sayapnya. Kenapa kereta harus memiliki sayap? Karena jiwa harus terbang menuju ilahinya.
Sebab, jika jiwa terjebak ke dalam cinta yang bersifat materi maka jiwa tidak akan menemukan kesejatian diri dan kebahagiaannya. Oleh karena itu, ketiga unsur jiwa harus berkerja sama, bergerak secara berkesinambungan dan berkoordinasi secara baik agar cinta bisa mengarakan kepada yang abadi.
Editor: Yahya FR