Beliau seorang tokoh besar. Kebesarannya tidak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Bahkan, oleh para pengikutnya, beliau diyakini salah satu orang suci. Kini, makamnya menjadi salah satu tujuan peziarahan yang tak pernah sepi.
Yang ingin saya bagi di sini adalah, penghayatan beliau atas kebaikan dan penghormatan kepada sesama. Kisah ini saya dengar dari salah seorang anaknya.
Suatu hari, beliau hendak berkunjung ke rumah seseorang. Begitulah yang biasa beliau lakukan setiap lebaran. Sekalipun ketokohan dan kedudukannya selayaknya beliaulah yang dikunjungi.
Ketika beliau sudah di dalam mobil dan bersiap untuk berangkat, si istri agak sedikit lama mempersiapkan diri. Ketika si istri masuk ke dalam mobil, sang tokoh ini menegurnya. Si istri menjawab, “Tidak apa-apa, Pak, orang dia sebetulnya selama ini toh tidak terlalu menghormati kita”.
Dengan nada seperti biasanya, beliau berucap, “Bu, kita berbuat baik ke orang bukan karena dia berbuat baik ke kita. Kita menghormati orang juga bukan karena dia menghormati kita. Kita berbuat baik dan menghormati orang lain karena memang begitulah yang seharusnya kita lakukan pada orang lain”.
Ketika saya mendengar kisah ini, saya merasa sayalah si istri itu. Sayalah orang yang sedang dinasehati beliau.
Betapa sering kita melakukan kebaikan kepada orang lain dan kemudian menghentikannya karena orang tersebut tak membalas kebaikan kita. Akhlak mulia seringkali mudah diucapkan dan dituliskan. Tapi, tak mudah untuk dilakukan, terutama ketika kita mendapat balasan kebaikan.
Berbuat baik dan menghormati orang lain itu bukan jual beli dengan perhitungan untung rugi. Perbuatan baik harus dilakukan karena itulah yang membawa kita menemukan makna keikhlasan.
Mengapa mudah sekali kita temukan perkelahian bahkan karena hal-hal sepele? Itu karena hilangnya keikhlasan dalam hidup bersama, karena bahkan kebaikan dan penghormatan pun diperlakukan seperti barang yang diperdagangkan.
Editor: Yahya FR