Perspektif

Kecilnya Keterwakilan Perempuan di Tingkat Eksekutif: Komitmen Afirmasi yang Tidak Terealisasi

3 Mins read

Dalam visi misi dan kampanye publik pemilihan presiden kemarin, kita tentu ingat bahwa isu gender masuk ke dalam suatu topik khusus yang dibahas. Kita berharap bahwa dukungan untuk perempuan tidak hanya sebatas gender washing semata, namun juga diwujudkan dalam peran-peran yang bersifat strategis. Misalnya, pemilihan posisi di ranah eksekutif sebagai penentu kebijakan tertinggi. Namun sayangnya, pada 20 Oktober 2024 lalu, wajah dari pemerintahan yang baru masih didominasi oleh fitur yang maskulin. 

Kabinet Merah Putih resmi mengumumkan jajaran strukturalnya yang terdiri dari 48 menteri dan 56 wakil menteri, dengan total 104 pejabat. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 5 menteri perempuan dan 8 wakil menteri perempuan, sehingga total pejabat perempuan adalah 13 orang. Dengan demikian, terdapat 43 menteri laki-laki dan 48 wakil menteri laki-laki, sehingga total pejabat laki-laki adalah 91 orang.

Angka ini menggambarkan betapa keterwakilan perempuan belumlah menjadi arus utama praktik politik dan demokrasi Indonesia. Padahal kita sudah memiliki kebijakan affirmative action sebesar 30% untuk mencoba menjawab ketimpangan gender yang telah mengakar. Harapan ini bukan hanya belum tercapai dalam tataran legislatif, namun juga masih sangat sempit diimplementasikan terutama dalam tataran eksekutif.

Affirmative Action: Simbol atau Substansi?

Penelitian Holzer dan Neumark yang berjudul Affirmative Action: What Do We Know? mencatat bahwa affirmative action sering menghasilkan perubahan pada level administratif, tetapi dampaknya di level substantif masih minim. Kebijakan ini sering kali dipandang sebagai kewajiban formalitas daripada alat untuk menciptakan perubahan struktural. 

Pada akhirnya, banyak calon perempuan yang menemui tantangan yang besar ketika mengikuti pemilihan misalnya ditempatkan pada nomor urut atau daerah pemilihan yang sulit untuk dimenangkan. Kurangnya akses perempuan terhadap pendanaan dan jaringan politik, semakin mempersempit peluang perempuan untuk bersaing secara setara. Affirmative action tidak benar-benar dimaknai sebagai usaha untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam dunia politik, namun untuk sekadar mengisi persyaratan administrasi partai politik.

Baca Juga  Rekonstruksi Peradaban di Tengah Globalisasi

Kritik terbesar sebenarnya bukan hanya soal itu, tetapi juga ketika affirmative action tidak dipraktikkan dalam representasi struktural pemerintahan yang lain. Di sisi lain, di tingkat eksekutif, posisi strategis tetap didominasi laki-laki​.

Dampak Minimnya Keterwakilan Perempuan

Minimnya kehadiran perempuan di level eksekutif dan legislatif berdampak besar pada pembuatan kebijakan publik. Kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak peka terhadap kebutuhan gender. Contohnya, isu-isu seperti perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender, cuti melahirkan, dan akses kesehatan reproduksi kerap diabaikan. 

Kepemimpinan dengan gaya maskulin cenderung mengutamakan pengambilan keputusan secara hierarkis, tanpa banyak mempertimbangkan masukan dari berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan kurang mencerminkan kebutuhan yang beragam. Dalam konteks ini, representasi perempuan dan kelompok minoritas dalam proses pengambilan keputusan sering terpinggirkan, sehingga mengurangi keragaman pandangan yang diperlukan untuk kebijakan yang inklusif.

Laporan Indeks HAM 2023 dari INFID dan Setara Institute mencatat penurunan skor partisipasi politik perempuan sebesar 1,0 dibandingkan tahun 2019. Temuan ini menunjukkan bahwa ruang partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan semakin menyusut. Ketimpangan ini tidak hanya memperparah kesenjangan gender tetapi juga merusak kualitas demokrasi. 

Skor partisipasi yang menurun terus ditekan di tahun 2024, dengan semakin berkurangnya jumlah representasi perempuan pada posisi-posisi strategis di pemerintahan baru. 

Dari Retorika Menuju Realisasi

Budaya patriarki yang mengakar dalam politik Indonesia menjadi salah satu penghalang utama bagi perempuan untuk mendapatkan posisi strategis. Perempuan sering dianggap kurang kompeten dibandingkan laki-laki dan harus memenuhi standar yang lebih tinggi untuk mendapatkan pengakuan. Selain itu, lingkungan politik yang tidak ramah gender, dengan komentar seksis yang sering kali dianggap lumrah, semakin memperkuat hambatan ini.

Baca Juga  Islam itu Nyata, Dunia Islam Ilusi Belaka

Minimnya keterwakilan perempuan di tingkat eksekutif dan legislatif menunjukkan lemahnya pelaksanaan affirmative action di Indonesia. Sudah saatnya negara ini mengambil langkah nyata untuk memastikan keterwakilan perempuan yang bermakna. Salah satu solusi adalah dengan memberikan dukungan yang lebih memadai bagi perempuan agar mampu bersaing dalam arena politik yang masih didominasi laki-laki. Dukungan ini dapat berupa pelatihan kepemimpinan, akses yang setara ke pendanaan kampanye, serta penguatan jaringan politik. Dengan upaya tersebut, perempuan tidak hanya mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan tetapi juga memiliki alat untuk melampaui hambatan struktural yang selama ini menghalangi langkah mereka. Dukungan semacam ini juga dapat membawa lebih banyak perempuan ke posisi eksekutif.

Selain itu, pelaksanaan affirmative action harus terus diawasi dan dievaluasi secara berkala. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan kebijakan tersebut memberikan dampak nyata dalam meningkatkan keterwakilan perempuan secara substantif, bukan sekadar memenuhi angka-angka administratif. Dengan pendekatan seperti ini, affirmative action dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu sebagai alat untuk mengatasi ketimpangan gender sekaligus memperkuat demokrasi yang inklusif.

Hal ini tidak hanya menyangkut keadilan gender, tetapi juga menyangkut kualitas demokrasi dan kebijakan publik yang lebih representatif. Dengan komitmen yang lebih kuat, Indonesia dapat menciptakan pemerintahan yang lebih adil, di mana perempuan tidak hanya menjadi angka dalam statistik tetapi juga memiliki suara yang nyata dan didengar dalam pengambilan keputusan.

#INFID
#IBTimes.ID
#KitaBikinPaham
#KitaBikinInklusif

Editor: Yafaro

Laila Hanifah
2 posts

About author
Penulis adalah Peneliti di MAARIF Institute dan Anggota Bidang Advokasi Sosial Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Pemuka Agama di Era Sosialita: Antara Gila Hormat dan Praktik Komersialisasi Agama

3 Mins read
Belakangan ini, jagat maya dihebohkan oleh aksi Gus Miftah, seorang tokoh yang dikenal sebagai pendakwah flamboyan sekaligus utusan khusus presiden. Dalam sebuah…
Perspektif

Mencegah Fenomena Hipokrisi di Pondok Pesantren

3 Mins read
Pondok (pesantren) secara umum diartikan sebagai lingkungan bersama sistem pembelajaran Islam pada Indonesia dengan edukasi-edukasi keagamaan, bahasa Arab dan seni belajar hidup…
Perspektif

Cerita di Balik Gencatan Senjata Israel-Hisbullah

3 Mins read
Dunia bisa sedikit legah. Minggu lalu telah terjadi kesepakatan genjatan senjata antara Israel dan Hisbullah. Tentu menjadi harapan semua pihak hendaknya peperangan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds