Oleh: Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo
Bicara mengenai istilah ”kedaulatan negara” atau staatssouvereiniteit memang pada awalnya terkandung dan dikandung di dalamnya suatu pengertian ”negara yang berdaulat/berkuasa penuh.”Terutama di zaman pertengahan, maka Kaisar Jerman mengklaim (menuntut) sebagai haknya untuk dianggap oleh seluruh dunia sebagai pemilik kekuasaan mutlak. Atau setidak-tidaknya oleh seluruh Jerman, bahwa dia adalah satu-satunya souverein yang berkuasa penuh sepenuh-penuhnya. Sebagai kepala dari keseluruhan dunia Kristen, sebagai pewaris dari Kaisar Romawi.
Akan tetapi, lama kelamaan sesudah kekuasaan yang tertinggi itu menjadi merosot atau imajiner, maka raja-raja kecil berlomba-lomba berebut kekuasaan. Mulai juga merasa dan bertindak sebagai souverein di wilayahnya masing-masing. Mereka menyatakan diri terlepas dari Kaisar. Dengan begitu, timbullah pengartian baru dari souvereiniteit/kedaulatan itu. Yakni, hubungan antar negara yang bebas/merdeka itu tidak tunduk/dijajah oleh negara lain.
Ketidakbergantungan Negara
Dengan begitu, dalam hukum antar bangsa-bangsa (volkenrecht) kita dapati pula timbulnya negara-negara yang berarti ”tidak bergantung” dari negara lain (onafhankelijk). Yakni, negara-negara yang hanya dengan kehendaknya sendiri sajalah dapat banyak atau sedikit mengurangi ketidakbergantungannya sendiri ini.
Sekarang ini, dengan kemauannya sendiri, kedaulatan dari kebanyakan negara yang bergabung di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menjadi berkurang karena keanggotaannya. Oleh karena itu, sekarang ini ”souvereiniteit” atau ”kedaulatan” tidak saja di lapangan hukum tatanegara, tetapi juga pada lapangan hukum antar bangsa-bangsa.
Tidak harus diartikan kekuasaan penuh, tetapi hanya tidak bergantung (tidak tunduk) kepada kekuasaan orang lain dalam keadaan tertentu. Hanya kemauan sendirilah yang dapat mengurangi ketidakbergantungan itu kepada negara atau penguasa lain. Meskipun begitu, maka tetap saja rumus ”kedaulatan negara”dipakai terus, tidak umpamanya diubah menjadi ”ketidakbergantungan negara.”
Kedaulatan Rakyat Umat
Di samping itu, ada pula anggapan yang hidup di kalangan cerdik pandai, bahwa sesungguhnya ”kedaulatan negara” itu adalah modifikasi lanjutan atau akibat dari ”kedaulatan rakyat umat,” meskipun tidak selalu ada akibat begitu. Umpamanya karena rakyat/umat yang bersangkutan itu sudah jatuh atau hancur (disebabkan perang atau kutuk Allah).
Yang dinamakan ”kedaulatan rakyat” umpamanya, adakalanya kini menghendaki/memerlukan sesuatu lembaga. Sesuatu lembaga itu semula hanya berupa ”rapat” yang kadang-kadang diperlukan secara insidentil, tetapi lama-kelamaan merupakan badan/forum yang permanen dan institusionil. Lengkap dengan anggaran dasar, anggaran belanja, dan peraturan tata tertib segala. Dengan begitu, timbullah yang kini dinamakan parlemen atau dewan perwakilan rakyat. Dewan yang dirasakan sebagai suatu keperluan negara modern kini.
Ambillah pemimpin dari ”kedaulatan rakyat/umat.” Di dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi suatu badan pimpinan (kolegium) yang nantinya dapat berbentuk sebagai ”Dwi Tunggal,” ”Tri Tunggal,” atau sebagai badan eksekutif (tanfidiyah) lain. Dapat juga terjelma seperti badan pertimbangan yang selanjutnya memisahkan diri daripada pimpinan pemerintahan (kabinet) dari negara modern sekarang ini.
Trias Politica
Sama-sama diketahui bahwa pada umumnya yang dinamakan negara (staat, state) di zaman modern ini setidak-tidaknya selalu mempunyai ”trias politica”dengan pembagian tugas, terpisaha antara yang satu dengan yang lain: 1) badan legistatif, 2) badan eksekutif, 3) badan yudikatif. Badan pelengkap negara yang lain dapat pula diperlukan, seperti badan pertimbangan, badan pengawas keuangan, badan intelijen, dan lain-lain.
Tapi, lepas daripada perkembangan masing-masing negara, dan lepas pula daripada perubahan pengartian dari ”kedaulatan negara,”maka dari pengartian istilah/rumus: ”The man behind the gun”(orang di belakang senjata) di zaman modern sekarang ini, ya, sampai akhir zaman nanti, tetap saja yang penting itu ”the man” bukan ”the gun.” Apakah gun itu? Hanya alat! Yang penting adalah ”man,” yaitu ”manusia” yang mempergunakan alat/the gun itu. Apabila “man”-nya itu tidak bermoral, tidak bermutu, dan tidak bertanggung jawab, maka alat senjata (gun) justru dapat makan tuan (the man).
Nasionalisme Sempit
Zaman kini dengan teknologi modernnya itu tidak selalu sejalan dengan perawatan rohaniah, maupun dengan pembinaan akhlak/moral. Oleh sebab itu, jalannya agak pincang. Agama seperti ditinggalkan. Islamophobia dianggap gagah. Tuan-tuan besar tidak memberi contoh yang baik. Korupsi merajalela. Allah dicemoohkan. Janji-janji tidak digubris, jarang dipenuhi. Demoralisasi di mana-mana.
Gambaran tersebut tidak saja tertuju kepada manusiawi, tetapi juga tertuju kepada negara-negara yang justru masing-masing menguasai angkatan bersenjata dengan segala macam bedil dan pelornya. Peraturan perikemanusiaan dan ketuhanan tidak disantuni. Terasa berlakunya: right wrong my country! Semacam ”Deutschland uber Alles” digelorakan di mana-mana. Penyakit ”chauvinisme” menular di beberapa negara, yaitu nasionalisme yang sempit egoistis dan yang menganggap negara-negara lain rendah. Terutama lebih rendah dari negaranya sendiri!
Gambaran semacam itu hanya membikin manusia, umat, dan negara menjadi gelisah, curiga mencurigai. Tidak ada lagi sangka baik terhadap orang/negara lain yang justru diwajibkan oleh Islam kepada sesama makhluk. Khusnuzhann berubah menjadi suuzhann, sangka buruk/curiga melulu.
Sumber: artikel “Hal Kedaulatan” ditulis oleh Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo dimuat di SM no. 5/Th. Ke-58/1978. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id secara berseri dengan penyuntingan
Editor: Arif