Mata Bung Karno yang tajam dan awas segera menangkap bahwa di antara wanita-wanita Aisyiyah yang duduk di kursi di halaman Gubenuran Bandung di waktu Rapat Akbar Muktamar Muhammadiyah, ada seorang wanita yang sudah dikenal baik. Walau pengenalan itu sudah berlangsung lebih dari 20 tahun yang lalu.
Dengan telunjuknya yang lurus, Bung Karno dari atas panggung tempatnya berpidato di bagian depan berada gedung Gubernuran menuding ke depan, seraya berkata: “Saudari Zakiah, saya minta saudari naik ke atas sini”.
Untuk sesaat hadirin dan hadirat yang tidak tahu siapa yang disebut dan dipanggil oleh Bung Karno dengan “Saudari Zakiah” terheran dan menduga-duga. Ada yang menduga barangkali Zakiah seorang wanita muda yang akan disuruh oleh Bung Karno nanti menyanyi.
Dengan diantar oleh dua orang wanita lainnya dan seorang tentara pengawal, dengan diiringi pandangan semua hadirin Zakiah menuju ke ruang atas serambi Gubernuran.
Di tangga, Ibu Hartini Soekarno menjemputnya dan kemudian ia didudukkan di dekat Bu Hartini di samping nyonya-nyonya pembesar yang hadir di sana.
Zakiah, seorang wanita jang sudah meningkat tua, tapi masih sehat, berkulit agak hitam. Badannya agak rendah dan gemuk, berkudung Aisyiyah dan dengan pakaian sederhana, bersandal kulit bersol karet.
Siapa dia?
Berkata selanjutnya Bung Karno, “Saudari Zakiah adalah janda almarhum K.H. Mas Mansur, bekas Ketua Umum PP Muhammadijah, berasal dari Surabaya”.
“0oo..”, terdengar suara hadirin gemuruh serempak, tanda baru mengerti.
Dengan suara terharu, sedang hadirin juga menjadi merasa terharu, Bung Karno mengatakan selanjutnya, “Saudara-saudara tahu hubungan saya dengan almarhum amat rapat sekali di zaman Jepang. Saya sering datang ke rumah K.H. Mas Mansur. Datang untuk omong-omong dan bertukar fikiran. Zakiah menyaksikan saya sering mengobrol dengan suaminya. Zakiah suguhi saya teh, kopi, pisang goreng!
Maka, Zakiah sudah pernah berbudi kepada saya.
Dan antara saya dengan K.H. Mas Mansur ternyata terdapat persesuaian faham. Kami berdua sama-sama melandaskan faham-faham kami itu di atas ajaran-ajaran Islam. Beliau pengikut agama Islam, saya pengikut agama Islam. Beliau murid KHA Dahlan, saya juga murid KHA Dahlan.
Tatkala 25 tahun yang lalu K.H. Mas Mansur menulis sebuah amanat yang berisi agar Pemuda-Pemuda Muhammadiyah mencintai Tanah Air Indonesia, yang waktu itu dari sebagian ulama-ulama Islam Indonesia cinta Tanah Air itu dikatakan menyimpang dari Tauhid, saya yang ketika itu berada di tempat pembangunan di Bengkulu, telah mengangkat pena menulis di dalam ssk membela pemikiran KH Mas Mansur itu.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah no. 1 th. 37 15 Djuli 1965, hlmn. 27