Khotbah salat Jumat telah mengalami kehampaan arti. Padahal, khotbah salat Jumat bagi Nabi Muhammad menjadi wadah memperbaiki diri. Tidak mengherankan jika umat muslim saat ini mengalami krisis etika. Banyak sekali kasus intoleransi terjadi di kalangan umat muslim. Misalnya, banyaknya peristiwa penolakan umat muslim terhadap umat agama lain untuk beribadah. Mirisnya lagi, sesama umat Islam saling berkonflik akibat beda pandangan.
Pertanyaannya, bagaimana bisa terjadi kegagalan sosialisasi nilai luhur dari khotbah salat Jumat? Sihabuddin dalam tulisannya di Jawa Pos menilai jika khotbah salat Jumat berjalan dengan membosankan. Khotbah yang membosankan, akhirnya membuat para jamaah tidak mendengarkannya secara baik dan khusyuk.
Beda pandangan dengan Ahmad Sahidah dalam artikelnya yang termuat di buku Kehendak Berkuasa dan Kritik Filsafat. Beliau menjelaskan jika khotbah salat Jumat sebatas pada pengungkapan kalimat, tanpa adanya aksi nyata secara sosial. Akibatnya, khotbah salat Jumat seperti angin berlalu, ketika ibadah Jumat sudah selesai, maka selesai juga nilai penting dari khotbahnya.
Namun bagi saya, kegagalan sosialisasi nilai luhur dari khotbah salat Jumat bukan terletak pada jalannya yang membosankan. Atau tidak ada pengaplikasian nyata dari khotbah salat Jumat. Saya menilai bahwa keduanya hanya faktor yang terjadi di luar individu. Dan saya menilai bahwa ada penyebab dari dalam individu yang menjadikan khotbah salat Jumat menjadi kering tak berarti.
Ibadah yang Transaksional
Saat ini, salat Jumat tidak lebih dari ajang transaksional. Tidak jarang individu menunaikan ibadah salat Jumat hanya karena takut mendapatkan dosa jika meninggalkannya, kemudian masuk neraka. Sehingga, para jamaah berlomba-lomba melakukan salat Jumat hanya karena ingin mendapatkan pahala agar bisa masuk ke surga.
Ironisnya lagi, juga terdapat individu yang melakukan salat Jumat karena takut dianggap tidak beragama oleh orang lain. Saya mengetahuinya dari pengalaman selama menjadi mahasiswa. Banyak mahasiswa pergi menunaikan salat Jumat, agar orang lain menilainya sebagai manusia yang beragama.
Sungguh miris. Padahal, setelah saya membaca buku tentang K.H Kholil Bangkalan dan K.H Ahmad Dahlan, saya menemukan arti penting dari ibadah. Yakni, menjalankan ibadah dengan ketulusan hati. Jika menjalankan ibadah tanpa ketulusan hati, maka ibadahnya menjadi tidak khidmat.
Ketulusan Beribadah
Dengan tidak khidmatnya menjalankan ibadah salat Jumat akibat ibadahnya transaksional, membuat saat tiba di masjid tidak khusyuk mendengarkan khotbah. Alhasil, menjadikan kebaikan dalam khotbah salat Jumat tidak terserap secara baik. Saya berkaca pada diri sendiri, bahwa saya mengalami perbedaan signifikan antara menjalankan salat Jumat secara tulus dan transaksional.
Saat menjalankan salat Jumat secara transaksional, menjadikan saya sampai di masjid cepat mengantuk, hingga hanya bengong dengan tatapan kosong. Akhirnya, saya tidak pernah mendengarkan khotbah. Berbeda ketika salat Jumat secara tulus, ada getaran hati yang menjadikan saya bersemangat mendengarkan khotbah secara khidmat.
Kejadian serupa juga dirasakan oleh kawan diskusi saya. Dia bercerita, kalau masa lalu faktor pendorongnya untuk melakukan salat Jumat adalah takut masuk neraka jika meninggalkannya. Akhirnya, ketika khotbah berlangsung, dirinya lebih memilih tidur. Beda cerita dengan dirinya yang sekarang, ketika sudah mengerti hakikat dari ibadah. Membuatnya, lebih khusyuk saat khotbah berkumandang, sehingga bisa menyerap intisari dari khotbahnya.
Korban dari Teknologi
Di sisi lain, faktor pribadi yang membuat khotbah salat Jumat menjadi kering tak berarti akibat individu menjadi budak dari teknologi. Sebagai budak dari teknologi, menyebabkan individu sulit terlepas dari pemakaian teknologi setiap waktu dan di berbagai tempat. Dengan kata lain, individu tidak mampu mengontrol diri untuk menggunakan teknologi sesuai dengan kondisi.
Ketidakmampuan individu untuk mengontrol penggunaan teknologi juga terlihat jelas saat ibadah salat Jumat berlangsung. Kerap kali saya menyaksikan, jamaah-jamaah masih sibuk memainkan handphone, bahkan saat khotbah berlangsung.
Saya pernah melakukan riset sederhana untuk mengetahui penyebab jamaah yang sibuk memainkan handphone di tengah khotbah. Setelah saya telisik, setidaknya ada dua penyebab.
Pertama, masih memikirkan urusan duniawi. Ini biasanya terjadi di kalangan mahasiswa dan pekerja. Penyebab mahasiswa sibuk memainkan handphone karena takut ketinggalan informasi perkuliahan dan tugas dari kelompoknya. Senada dengan pekerja yang sibuk bermain handphone, lantaran persoalan pekerjaannya yang belum selesai, sehingga melakukan komunikasi dengan rekan kerjanya.
Kedua, haus pengakuan. Haus pengakuan bisa terjadi akibat ibadahnya dilandasi oleh tujuan instrumental. Akibatnya, individu beribadah hanya ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Karenanya menjadikan handphone sebagai medium memperoleh pengakuan dari orang lain dengan unggah cerita atau postingan di media sosial.
Sikap jamaah yang acuh terhadap khotbah salat Jumat menjadi dilema tersendiri. Masjid-masjid sebagai ruang beribadah, kini telah menjelma sebagai ruang kehausan: haus dengan pahala Tuhan dan haus pengakuan dari orang lain. Padahal, masjid sebagai ruang beribadah, seharusnya menjadi ruang kehausan akan sebuah ilmu yang bisa tersaji saat khotbah berlangsung. Maka, sampai kapan khotbah salat Jumat akan mengalami kehampaan?Â
Editor: Soleh