Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read

Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh besar atas perkembangan filsafat dalam Islam, yang melahirkan filsuf-filsuf besar setelahnya. Namun dalam filsafatnya, Al-Kindi juga berbicara soal akidah Islam yakni tentang kehidupan setelah kematian.

Beranjak dari keyakinan, setiap manusia yang hidup pasti akan mati. Kematian bukan akhir dari perjalanan manusia sebab, sebagaimana manusia sebelum lahir di muka bumi; dia pernah tidak ada, kemudian ada (lahir) dan pada akhirnya akan menjadi tiada (mati). Dalam perkara ini, Al-Kindi mencermati bahwa yang hidup dan mati kemudian hidup kembali adalah perjalanan materi. Artinya, suatu yang non materi tidak akan mengalami hal tersebut.

Hukum akal/ logika sebuah materi-mengutip dari pandangan Aristoteles, bahwa setiap materi pasti melekat padanya sepuluh sifat; substansi, kuantitas (jumlah), kualitas (kedudukan), waktu, tempat, relasi, kondisi, posisi, aktif (bergerak), fasif (digerakkan). Materi dalam hal ini, yang maksud oleh Al-Kindi adalah tubuh manusia, sementara ruh yang bersemayam didalamnya ialah suatu imaterial.

Manusia; Ruh dan Badan

Menurut Al-Kindi, ruh adalah limpahan Tuhan seperti matahari dan cahaya. Sementara badan adalah keniscayaan materi yang hidup. Seperti tanah ketika disirami air akan menjadi lumpur, kertas dibakar akan menjadi abu dan seterusnya. Perubahan bentuk materi adalah keniscayaan dari materi itu sendiri, sebagaimana dalam hukum logika Aristoteles. Ruh dan badan adalah dualitas; dua entitas namun saling membutuhkan.

Tubuh tanpa ruh tidak akan pernah ada kehidupan, sementara ruh tanpa tubuh tidak berarti apa-apa. Oleh karena itu, menurut al-kindi fungsi dalam badan hanya sebagai memori, yang di kemudian hari akan menjadi saksi atas perbuatan kita di dunia ini. Tubuh kita telah hancur setelah dalam jangka waktu tertentu saat dikuburkan dalam perut bumi, namun ruh kita kembali kepada Tuhannya.

Baca Juga  Nasihat Imam Al-Ghazali untuk Para Pemimpin

Maka sebagai keyakinan dalam Islam, bahwa ada seseorang yang dibangkitkan dalam bentuk lain di hari akhir nanti, sangat rasional. Sebab ruh, hadir sebagai memori di saat itu. Karena ruh tidak bisa berdiri sendiri, dia butuh materi agar eksis. Sehingga dalam upaya menemukan kembali tubuhnya, ruh mengandalkan ingatannya. Oleh sebab itu, tidak perlu heran kalau di hari akhir atau di Padang Mahsyar kelak, ada orang dihidupkan dengan mengenakan kepala hewan sementara tubuhnya manusia.

Fenomena Kehidupan setelah Mati

Meskipun banyak pertentangan para pemikir, khususnya pemikir barat yang menentang tentang kehidupan hari akhir kelak dan terlepas bahwa ini adalah persoalan akidah dalam Islam, maka perlu kiranya untuk mencermati argumen Al-Kindi. Bahwa perjalanan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia, banyak sekali pengalaman yang dialami oleh seseorang. Secara biologis misalnya, bahwa ketika lahir tubuh kita kecil, kemudian semakin tahun bertambah besar, lalu pada akhirnya tubuh yang segar dan berotot berganti menjadi lemah dan menua.

Pertanyaan kritisnya, apakah tubuh di saat kita kecil sama dengan tubuh kita setelah dewasa? Secara biologis tentu tidak sama, bahwa pengalaman bertahun-tahun itu telah menyebabkan pergantian sel jutaan kali, perubahan bentuk juga terjadi dipengaruhi oleh sumber makanan dan minuman selama hidup. Secara rasional, kita bisa mengatakan bahwa tubuh yang diadili di akhirat nanti bukanlah tubuh yang sama.

Akan tetapi, apakah ruh-nya juga berubah sebagaimana perubahan yang terjadi pada tubuh? Disinilah pertemuan pemahaman yang dimaksud oleh Al-Kindi, bahwa ruh sebagai memori akan aktif mencari tubuhnya sendiri untuk kemudian bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya selama di dunia.

Kehidupan setelah hidup di dunia benar adanya, atas dasar bahwa karena kematian hanya berlaku pada materi (tubuh), sementara ruh (imateri) tidak bisa mati. Tubuh juga bisa mengalami lupa dan pikun disebabkan kesehatan otaknya, namun ruh tidak akan mengalami lupa apalagi pikun sebagaimana yang berlaku pada tubuh.

Baca Juga  Rene Descartes: Tuhan Ada, Maka Aku Ada

Hidup ini adalah perjalan bagi materi yang tidak ada menjadi ada dan kemudian tiada, lalu diadakan kembali bagi tubuh, sementara kehidupan bagi ruh adalah perjalan singgah dari satu dunia ke dunia berikutnya; dari alam ruh, menuju alam rahim, lalu lahir di dunia fana, kemudian menuju keabadian di sisi Penciptanya.

Firmansyah
5 posts

About author
Alumnus S1 Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2018
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds