Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read

Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini menjadi ruang untuk melatih kemampuan berpikir kritis, berdiskusi secara mendalam, dan menggali literatur Islam (sering disebut kitab kuning) guna menjawab berbagai persoalan umat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, muncul kebutuhan untuk merefleksikan arah dan fokus diskusi dalam Bahtsul Masail agar tetap relevan dan kontekstual.

Tradisi yang Baik, Tantangan yang Mengemuka

Dalam pengalaman saya selama belajar di pesantren, Bahtsul Masail menjadi sarana untuk memahami kitab kuning, melatih logika hukum Islam, dan menggali fatwa atas persoalan umat. Tradisi ini mengakar kuat sebagai metode kolektif dalam mencari solusi atas berbagai persoalan, terutama yang berkaitan dengan hukum syariat. Namun, akhir-akhir ini, diskusi dalam Bahtsul Masail cenderung terfokus pada persoalan-persoalan yang sifatnya sangat doktrinal atau syariat, tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau dampak praktisnya. Inilah yang saya maksud “Kejumudan Beragama” sebagaimana judul tulisan di atas.

Sebagai contoh, saya pernah menyaksikan Bahtsul Masail se-Jawa Madura yang membahas beberapa isu yang menarik perhatian publik, seperti tindakan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nazaruddin Umar, yang mencium kening Paus Fransiskus sebagai bentuk penghormatan, serta keputusan televisi untuk menampilkan adzan dalam format teks (running text) selama misa umat Kristiani. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah:

– “Bagaimana hukum perlakuan Kiai Nazaruddin Umar terhadap Paus Fransiskus menurut syariat?”

– “Bagaimana hukum mengubah adzan di TV menjadi running text menurut syariat?”

Meskipun diskusi ini terlihat penting dari sudut pandang hukum Islam, saya merasa bahwa arah pembahasan seperti ini terlalu terfokus pada tataran doktrinal semata. Hal ini justru berisiko membuat diskusi menjadi stagnan dan kurang memberikan dampak positif pada konteks kehidupan umat yang lebih luas, terutama untuk masyarakat Indonesia yang sangat plural.

Baca Juga  Psikologi Pesantren: Menyoal Kepatuhan Santri pada Kiyai

Mengapa Perlu Mengubah Arah Diskusi?

Konteks zaman saat ini menuntut fleksibilitas berpikir dalam merespons isu-isu kontemporer. Ketika dunia menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, konflik antaragama, dan ketimpangan sosial, Bahtsul Masail seharusnya menjadi wadah yang tidak hanya menjawab persoalan hukum, tetapi juga menawarkan solusi praktis dan strategis yang kontributif.

Sebagai perbandingan, pada Musyawarah Nasional (Munas) PBNU tahun 2019, NU memutuskan untuk mengganti istilah “kafir” dengan “non-Muslim” dalam konteks kehidupan berbangsa di Indonesia. Langkah ini didasarkan pada semangat untuk menjaga harmoni sosial di tengah masyarakat yang plural. Langkah ini bukan hanya mencerminkan pemikiran yang kontekstual, tetapi juga berdampak strategis pada harmoni sosial di tengah pluralisme masyarakat Indonesia.

Lebih dari itu, isu-isu global seperti keberlanjutan lingkungan juga relevan untuk diangkat. Sebuah kajian menyebutkan bahwa green Islam, atau Islam yang ramah lingkungan, dapat berkontribusi besar pada pelestarian lingkungan dan mendorong umat Islam untuk menjaga ekosistem secara aktif. NU dapat memanfaatkan forum Bahtsul Masail untuk mengarusutamakan pembahasan semacam ini, sehingga memberikan manfaat lebih luas.

Relevansi dan Produktivitas dalam Diskusi

Ketika arah diskusi dalam Bahtsul Masail menjadi lebih relevan, maka forum ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat. Beberapa isu yang dapat diangkat misalnya:

1. Isu Lingkungan: Salah satu bentuk pertanyaanya misalnya “Bagaimana hukum Islam mengatur pengelolaan limbah plastik atau konservasi sumber daya alam? Isu ini relevan mengingat Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di dunia.

2. Tantangan Digital: Bisa dengan bentuk pertanyaan demikian “Apa fatwa yang tepat untuk isu privasi data atau dampak negatif media sosial terhadap kehidupan umat? Di era digital, perlindungan data pribadi menjadi salah satu perhatian utama.

Baca Juga  Profesi Penulis, Terlihat Gagah Tapi Rentan Secara Ekonomi

3. Keadilan Sosial: Bagaimana pandangan Islam terhadap distribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan? Konsep ini selaras dengan cita-cita Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dan isu-isu kontekstual lainnya.

Dengan memperluas cakupan diskusi, Bahtsul Masail tidak hanya akan relevan di kalangan pesantren, tetapi juga menjadi rujukan bagi masyarakat luas, termasuk generasi muda yang membutuhkan pendekatan keislaman yang kontekstual dan aplikatif.

Pesantren sebagai NU Kecil, NU sebagai Pesantren Besar

Hubungan antara pesantren dan NU dapat digambarkan sebagai hubungan timbal balik yang sangat erat. Pesantren sering disebut sebagai “NU kecil,” karena nilai-nilai, tradisi, dan pola pikir yang berkembang di pesantren menjadi pondasi ideologis dan spiritual NU. Di sisi lain, NU sering disebut sebagai “pesantren besar,” karena organisasi ini berperan sebagai pengayom pesantren dalam skala nasional dan global.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, merancang organisasi ini berdasarkan nilai-nilai pesantren, seperti keilmuan berbasis kitab kuning, kepribadian moderat (wasathiyah), serta prinsip tasamuh (toleransi). Pesantren menjadi basis kaderisasi intelektual dan spiritual NU, mencetak ulama-ulama yang tidak hanya memahami Islam secara mendalam tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman.

NU sebagai “pesantren besar” meluaskan fungsi pesantren ke level yang lebih luas. Dalam konteks global, NU berperan membawa nilai-nilai pesantren seperti toleransi, harmoni, dan pluralisme ke dalam percakapan dunia. Sebagai contoh, NU melalui Bahtsul Masail Diniyah di berbagai forum internasional telah membahas isu-isu seperti Islam dan demokrasi, hubungan antaragama, serta solusi Islam terhadap perubahan iklim.

Sebaliknya, pesantren tetap menjadi ujung tombak dalam implementasi nilai-nilai NU di tingkat akar rumput. Tradisi seperti ngaji kitab dan Bahtsul Masail menjadi cara pesantren menjaga kesinambungan nilai-nilai NU di tengah modernisasi. Pesantren juga menjadi tempat berkembangnya kader-kader yang nantinya akan memperkuat NU sebagai organisasi besar.

Baca Juga  Demokrasi Indonesia di Titik Nadir

Penutup

Akhir kata, Bahtsul Masail adalah forum yang sangat penting dalam tradisi intelektual pesantren NU. Namun, agar tetap relevan di tengah dinamika kehidupan modern, arah dan model diskusinya perlu disesuaikan dengan tantangan zaman. Isu-isu yang diangkat harus lebih kontekstual, strategis, dan memberikan solusi nyata bagi masyarakat. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya akan terus hidup, tetapi juga memberikan kontribusi besar bagi peradaban Islam dan dunia. Katanya salah satu misi NU di usianya yang sudah se-abad adalah “Membentuk Peradaban Dunia”, jika memang demikian, maka pola berpikir warga NU (nahdliyin) juga perlu disesuaikan dengan misi tersebut.

Wallahu a’lam.

Muhammad Yaufi Nur Mutiullah
3 posts

About author
Kader Muda Nahdlatul Ulama, Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds