Premanisme di Indonesia adalah fenomena sosial yang telah lama menjadi ketegangan antara struktur sosial formal dan kekuatan yang lebih kasar, yang berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kata preman, yang berasal dari bahasa Belanda vrijman, secara harfiah berarti “orang merdeka“. Namun, dalam konteks sosial Indonesia, preman lebih dikenal sebagai individu yang menjalankan kekerasan. Atau intimidasi untuk tujuan tertentu, seperti pemerasan atau penguasaan wilayah dengan kekuatan fisik.
Sejak era kolonial, praktik premanisme sudah muncul sebagai akibat dari ketidakadilan sosial yang dipertahankan oleh kekuasaan. Pada masa itu, premanisme sering dikaitkan dengan penjajahan Belanda, yang menggunakan individu-individu kasar untuk menekan perlawanan rakyat yang ingin merdeka. Namun, setelah Indonesia merdeka, premanisme berkembang lebih luas. Menjadi bagian dari dinamika sosial yang dipengaruhi oleh ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan kekerasan dalam masyarakat.
Inilah yang kemudian digambarkan oleh Ian Douglas Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru. Dalam buku ini, Wilson menggambarkan kondisi negara otoriter—dalam konteks Jakarta—pasca Orde Baru Suharto yang tampak terpecah dalam keruwetan kelompok-kelompok yang saling bersaing. Kelompok-kelompok tersebut kemudian berkembang menjadi kelompok preman, sebagai representasi kegagalan negara dalam menciptakan kondisi masyarakat yang sejahtera.
Preman dan Politik Kekuasaan
Preman dalam buku ini bukan sekadar kelompok informal yang menggunakan kekerasan fisik atau ancaman untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok. Lebih dari itu, premanisme di Indonesia dipahami sebagai bagian dari jaringan kekuasaan yang lebih besar. Di mana aktor-aktor informal ini memainkan peran penting dalam mempertahankan atau meraih kekuasaan.
Buku ini menunjukkan bahwa banyak aktor politik di Indonesia, dari tingkat desa hingga kota besar. Sering terlibat dalam hubungan dengan preman sebagai bagian dari strategi memperkuat posisi politik mereka. Politisi atau pemimpin lokal, misalnya, kerap bergantung pada preman untuk mengamankan wilayah mereka. Mengorganisir massa guna mendukung kampanye, atau bahkan menekan lawan politik.
Dalam sistem patronase yang kuat, ada pembagian “jatah” yang diberikan kepada preman sebagai imbalan atas dukungan mereka, baik dalam bentuk uang, perlindungan, maupun kekuasaan. Seperti yang ditulis Wilson:
“Dunia preman dan jago ada di jalanan, lingkungan, dan kampung, sebuah arena persaingan di mana kekuatan negara dan non-negara dibangun dan diberlakukan.” (hal. 32)
Wilson juga mengungkapkan bahwa preman sering menjadi “alat” bagi politisi atau pengusaha untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka tidak hanya terlibat dalam pengumpulan uang perlindungan, tetapi juga dalam pemerasan, pengaturan kontrak, bahkan manipulasi pemilihan umum. Hal ini menggambarkan bahwa premanisme tidak hanya beroperasi di tingkat bawah, tetapi juga mencerminkan ketimpangan sosial dan politik yang lebih luas di Indonesia.
Pengaruh Sosial dan Ekonomi
Tidak hanya membahas keterkaitan premanisme dengan arena politik, Wilson juga menggambarkan bagaimana premanisme berkaitan dengan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang berdampak pada kehidupan masyarakat di berbagai level.
Premanisme bukan hanya tentang kekerasan dan ancaman, tetapi juga tentang kontrol sosial yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dalam banyak kasus, preman dapat mengatur distribusi sumber daya lokal, mengendalikan pasar informal. Bahkan, merusak sistem ekonomi melalui cara-cara ilegal. Dalam bukunya, Wilson menjelaskan bagaimana sistem “beking” menjadi mekanisme halus yang menjadikan preman bagian dari struktur kekuasaan negara di tingkat akar rumput.
Secara ekonomi, preman sering mengendalikan sektor-sektor yang kurang teratur, seperti pasar gelap, perjudian, klub malam, dan sektor informal lainnya. Mereka berperan sebagai perantara dalam transaksi yang sering kali berada di luar kontrol pemerintah atau institusi formal lainnya. Hal ini menunjukkan ketidaksetaraan dalam akses terhadap ekonomi dan kekuasaan. Di mana preman memanfaatkan ketidakmampuan negara untuk mengatur atau mengawasi sektor-sektor ini.
Sebagaimana dikatakan Wilson:
“Dengan kehadiran negara yang kerap minimal dalam hal infrastruktur atau layanan-layanan dasar, maka geng-geng preman, kelompok vigilante, dan ormas bisa menjadi semacam pemerintahan informal, sumber kesejahteraan sosial, identitas, dan solidaritas kelompok.” (hal. 43)
Patronase dan Jatah Politik Preman
Dalam buku ini, konsep jatah politik menjadi kunci dalam memahami bagaimana premanisme beroperasi. “Jatah” merujuk pada pembagian kekuasaan, sumber daya, atau keuntungan antara berbagai aktor dalam sistem politik. Para politisi memberikan “jatah” kepada berbagai kelompok untuk mempertahankan dukungan politik atau mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial.
Preman, sebagai bagian dari jaringan tersebut, menerima jatah mereka, sering kali dalam bentuk uang atau perlindungan atas keberadaan mereka di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai imbalan atas kerja sama mereka dalam menjaga stabilitas politik di daerah tertentu.
Fenomena ini mengarah pada penciptaan sistem “politik jatah” yang tidak hanya menguntungkan elite politik dan pengusaha. Tetapi juga para preman yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperkuat posisi mereka dalam masyarakat. Buku ini menggambarkan bagaimana sistem ini menjadi penghalang bagi reformasi sosial-politik yang lebih luas. Karena sistem patronase memperkuat ketergantungan antara berbagai pihak dan menciptakan praktik korupsi yang sulit diberantas.
Sebagaimana dikatakan Wilson:
“Bisnis haram seperti judi, atau semua yang berpotensi digerebek polisi seperti bar dan klub, cenderung mencari perlindungan dari mereka yang dipandang memiliki kaitan langsung dengan politisi dan pihak-pihak yang mampu memberikan patronase tingkat tinggi.” (hal. 249)
Represifitas Negara dan Pemerintah
Selain kekerasan yang digunakan oleh preman, buku ini juga mengulas bagaimana negara atau aparat negara menggunakan kekerasan dan tindakan represif untuk menjaga stabilitas politik dan sosial.
Rezim Orde Baru, sebagaimana digambarkan Wilson, sering menggunakan pendekatan represif ala militer atau polisi untuk menekan gerakan oposisi atau kelompok yang dianggap mengancam kekuasaan. Represi ini berupa penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan terhadap aktivis atau pengkritik, hingga pembungkaman media yang berusaha mengungkap ketidakadilan.
Wilson menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, aparat negara bekerja sama dengan preman untuk memperkuat kontrol mereka atas wilayah tertentu, menciptakan jaringan kekuasaan yang saling menguntungkan. Pemerintah sering menggunakan preman untuk menjalankan kebijakan yang tidak dapat dilakukan oleh aparat secara langsung, sehingga preman dianggap lebih “fleksibel” dalam menangani masalah sosial atau politik dengan cara-cara tidak resmi dan sering kali represif.
Sebagaimana dinyatakan Wilson:
“Represi negara selalu dirasionalisasi sebagai harga yang perlu dibayar demi pembangunan dan modernisasi ekonomi.” (hal. 89)
Judul Buku: Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru
Penulis: Ian Douglas Wilson
Tebal Buku: 315 halaman
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: 2018
ISBN: 978-979-1260-83-1
Editor: Assalimi