Kamis 9 Agustus 2018, malam jelang berganti pagi. Jutaan masyarakat Indonesia masih memfokuskan perhatiannya pada siaran langsung TV Nasional dan media sosial yang menyiarkan peristiwa politik penting yang akan terjadi di Jalan Kertanegara Jakarta, kediaman Prabowo, calon Presiden pada Pemilu 2019.
Detik-detik penentuan cawapres Prabowo malam itu melibatkan petinggi yang sebelumnya menyatakan dukungan ke Prabowo, ada Partai Demokrat, PKS, PAN. Masing-masing Partai mengajukan cawapresnya. Dramatis dan menegangkan mengingat Pilpres hanya akan diikuti 2 pasangan. Malam itu seorang tokoh politik senior hadir di tengah ketegangan dan hampir kebuntuan politik itu. Yaa Amien Rais lagi-lagi dan untuk kesekian kalinya tampil cukup dominan dalam situasi politik penentuan calon pemimpin nasional.
Malam itu, tahun 2019 Amien Rais telah berumur 77 Tahun. Usia yang cukup senior bagi politisi Indonesia. Dalam hitungan saya, peristiwa politik penting di Kertanegara itu adalah peristiwa yang kelima kalinya Amien Rais berperan semacam king maker dalam detik penentuan calon presiden atau cawapres.
Pemilu tahun 1999, dengan posisi sebagai Ketua MPR, beliau menjadi motor utama Poros Tengah, koalisi PDIP dan Partai-Partai Politik basis Islam mengusung Gus Dur-Megawati setelah sebelumnya beliau menolak dicalonkan. Pilpres 2004, perannya makin vital dan strategis sebab PAN mengusungnya sebagai capres berpasangan dangn tokoh nasionalis, Siswono Yudhohusodo. Inilah puncak karir politik seorang Amien Rais.
Meskipun tidak lagi menjadi Ketua Umum, penentuan pasangan Capres PAN pada tahun 2009 masih sepenuhnya dalam kendalinya. Bahkan Amien Rais masih dominan dalam penentuan capres cawapres Pemilu 2014 dan berhasil meyakinkan Prabowo untuk menggandeng Ketum PAN kala itu, Hatta Rajasa sebagai Cawapres. Dengan posisi PAN sebagai partai tengahan di parlemen, keberhasilan Hatta Rajasa menjadi Cawapres Prabowo adalah prestasi sginifikan.
***
Situasi politik genting dan kritis di Kertanegara malam itu tidak atau belum menghadirkan tokoh atau politisi dari kader Muhammadiyah selain Amien Rais. Warga Muhammadiyah yang menonton malam itu tidak melihat sosok politisi PAN seperti Suyoto, Immawan Wahyudi, Nasrullah, Kang Uum .S Usman, Shaleh P. Daulay, Izzul Muslimin, pun juga seorang politis muda PAN kala itu, Makmum Murod serta politisi PAN dari Muhammadiyah lainnya.
Begitu juga peristiwa politik pada pasangan capres lainnya, Jokowi-Makruf. Warga Muhammadiyah belum melihat sosok kader sekaliber Amien Rais yang berada dalam jantung konstelasi pencalonan. Memang ada elit Golkar, Hajriyanto Thohari, Sekjen Perindo, Ropik, Sekjend PSI, Raja Juli Antoni, Faozan Amar (PDIP) dan beberapa kader Muhammadiyah di pasangan Jokowi Makruf. Namun keberadaan mereka belum sampai pada level yang ikut menentukan posisi elit dan penting itu.
Setelah lebih 20 tahun Amien Rais berkiprah dalam politik praktis, sepertinya belum ada tanda-tanda yang sigfnifikan bahwa ada kader tulen Muhammadiyah layaknya Amien Rais yang akan dan bisa memainkan peran-peran politik strategis kebangsaan dan menjadi salah satu penentu dalam peristiwa-peristiwa politik penting. Muhammadiyah mengalami krisis kader politisi.
Kekuatan Figur MAR
Menengok sejarah lebih ke belakang, kiprah Muammad Amien Rais (MAR) yang bersentuhan dengan politik dan kekuasaan dimulai sejak tahun 1992, ketika dalam momentum Tanwir Muhammadiyah di Surabaya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mulai menyampaikan pentingnya suksesi kepemimpinan nasional. Mampu bertahan dan konsisten selama 20 tahun lebih di tengah situasi politik Indonesia yang cukup panas dan dinamis merupakan sebuah capaian yang artikulatif bagi politisi Islam pasca era Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimendjo, Natsir dll.
Dalam catatan saya, ada beberapa kekuatan yang dimiliki MAR sehingga mampu mempertahankan performa sebagai politisi yang disegani. Pertama, MAR mampu bertahan dan konsisten dengan ideology politiknya, yakni High Politik. Pada awalnya konsep High Politik secara normatif dan terbatas dipahami sebagai ekspresi dan artikulasi politik di luar kekuasaan formal, tidak terlibat politik praktis. Namun pada perkembangannya terdapat reorientasi dalam konsep high politik.
High Politik ala Amien Rais tergambar dari sikap yang konsisten untuk menjaga jarak dengan Penguasa dan melontarkan gagasan, ide, kritik yang konstruktif pada kekuasaan, khususnya Presiden dan DPR. Mungkin pada level cara merespon isu-isu parsial terdapat kesimpulan sesaat melihat MAR sebagai sosok yang tidak konsisten. Namun kalau melihat secara keseluruhan dan mengikuti sikap-sikap MAR pada setiap rezim, maka terlihat benang merah bahwa MAR selalu hadir sebagai tokoh pengingat dan pengkritik yang konsisten di kala Penguasa mulai menyimpang. Itulah High Politik yang membuatnya bertahan.
Kedua, MAR memiliki kapasitas secara akademik sebagai dosen Politik dan dipadukan dengan pengalaman sebagai aktivis di kala masih aktif sebagai Mahasiswa. MAR adalah salah satu pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di awal tahun 1960- an. Kombinasi kapasitas teoritis sebagai akademisi dan kemampuan nalar aktivis gerakan menjadikan Amien Rais cukup jeli dan paham melihat setiap perubahan politik kekinian.
***
Ketiga, MAR mampu bertahan sebagai sosok politisi dan sekaligus Ulama yang setiap saat hadir di tengah masyarakat akar rumput. Dengan kemampuan dan kapasitas ilmu agama yang mumpuni, MAR masih bisa hadir mengisi pengajian-pengajian yang digelar Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah dan wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia. Sampai saat ini. Kehadirannya masih terus dirindukan dan dielukkan khususnya warga Muhammadiyah di daerah.
Secara politis, kapasitas MAR sebagai ulama tersebut memberi peluang baginya untuk tetap menjaga akseptabilitas dan popularitas sebagai politisi yang tentunya berharga pada momentum politik tertentu. Rumus sederhana bagi politisi untuk bertahan; Anda punya massa yang riil dan ideologis. Tahun 2004 ketika MAR kalah dalam Pilpres, sekelompok massa ideologisnya bikin kaos warna biru dengan foto wajah MAR bertuliskan “ Amien Rais Presiden di Hati Kami “. Nah!
Regenerasi Pimpinan
Dalam konteks regenerasi kader Politisi Muhammadiyah, belum tergantikannya posisi dan peran MAR sebagai politisi senior oleh para yuniornya di Muhammadiyah bukan karena semata-mata para kader Muda tersebut tidak memiliki kapasitas seperti MAR. Ada beberapa persoalan yang menghambat atau memperlambat regenerasi politisi kader Muhammadiyah pasca MAR.
Pertama, kultur politik kita masih didominasi oleh tradisi atau budaya figur. Statement ini sudah dibuktikan oleh beberapa hasil riset yang dilakukan beberapa lembaga survey politik. Kesimpulan riset-riset tersebut menyebutkan bahwa kecenderungan pemilih dalam menentukan pilihan politiknya termasuk dalam memilih parpol adalah karena melihat sosok figure dominan yang ada di partai tersebut. Maka kemudian preferensi pemilih PDIP dalam memilih ketika pemilu itu mempertimbangkan faktor Megawati, pemilih Gerindra masih sangat kuat figuritas seorang Prabowo, Wiranto dan Surya Paloh dalam kasus di Hanura dan Nasdem.
PAN meskipun disebut partai terbuka juga tidak bisa lepas dari kekuatan figure seorang Amien Rais. Kultur figure ini secara langsung maupun tidak langsung memperlambat regenerasi dan akselerasi kader politisi muda di partai politik. Kultur figure secara politis melalui mekanisme internal formal mendesain bagaimana figure tertentu dan kelompok yang sepaham dengan figure tersebut bisa bertahan.
Soal sepaham dan tidak sepaham dengan elit figure bisa berubah setiap saat tergantung situasi politik dan subyektifitas sang figur. Pada kondisi semacam ini terkadang terdapat kader muda potensial dan berkualitas akhirnya layu atau mati sebelum berkembang. Politik figur pada banyak bagian tertentu meminggirkan pola dan cara politik dengan sistem meritokrasi, tetapi lebih mengedepankan cara-cara kelihaian mendekat kepada elit serta kecanggihan saling sikut dan “menggergaji” sesama kader.
Kelihaian dan kemampuan politik seperti ini yang kurang dimiliki oleh kader politik Muhammadiyah. Kader muda Muhammadiyah sudah terlanjur ber-DNA di wilayah kemanusiaan, terbiasa memberi, tanpa dendam, penuh welas asih dan kejujuran.
***
Hambatan kedua, sistem politik kita khususnya pelaksanaan pemilu dan pilkada saat ini menganut pemilihan langsung dengan prinsip suara terbanyak sehingga mengakibatkan pola berpolitik berbiaya tinggi (High cost). Politisi yang diinginkan adalah politisi yang punya duit banyak, soal kecerdasan, moralitas dan keluhuran adab menjadi pertimbangan ke-12 dalam menentukan sebuah pilihan. Kemampuan financial lebih utama.
Pada level ini, lagi-lagi kader muda Muhammadiyah kembali terpinggirkan. Sebagian besar kader muda Muhammadiyah benar-benar mengandalkan niat baik, ketulusan dan modal kepintaran ketika terjun dalam politik. Mereka terjun tidak nekad, tapi punya pertimbangan dan kapasitas otak yang memadai. Namun tidak banyak yang berhasil apabila hanya mengandalkan itu. Artinya ada juga yang berhasil seperti Saleh P Daulay, Zainuddin Maliky, Ashabul Kahfi dll. Namun sebagian besar gagal dan terhempas karena memang tidak cukup mamadai dalam soal financial.
Masalah ketiga, dari sisi internal, Muhammadiyah secara organisatoris belum sepenuhnya solid dan konsisten dalam merumuskan desain atau rekayasa proses regenerasi dan kaderisasi politik Muhammadiyah. Setiap periode kepemimpinan Muhammadiyah memiliki pola dan wajah yang berbeda dalam kebijakan mempromosikan dan mendudukkan kader sebagai politisi handal.
Hanya ada satu kesamaan dalam setiap periode kepemimpinan (baca: PP Muhammadiyah) yakni sama-sama memahami bahwa politik itu penting bagi Muhammadiyah dan Muhammadiyah bukan kekuatan politik praktis layaknya partai politik. Bagaimana pola dalam menerjemahkan dan merekayasa pemahaman tersebut agar Muhammadiyah tidak terpinggirkan dalam urusan politik, maka pola itulah yang mengalami variasi dan perbedaan dari masa ke masa.
***
Dalam hal ini, menurut saya perlu membuka kembali sejarah dan artikulasi politik Muhammadiyah di masa lalu sebagai pembelajaran untuk mengevaluasi artikulasi politik Muhammadiyah. Dengan kondisi internal yang demikian politisi kader Muhammadiyah yang sukses tidak sepenuhnya dari hasil rancangan dan desain awal persyarikatan, – terkecuali terdapat jabatan negara tertentu yang memang diorganisir dukungan secara internal setiap sekali lima tahun, meskipun tingkat keterpilihan kader yang didukung juga rendah-. Pada umumnya mereka berjuang dan unggul dengan daya dan kekuatan sendiri.
Sosok MAR pada kemunculannya di pentas politik memang terdesain secara internal Muhammadiyah melalui Tanwir tahun 1998 di Semarang. Namun pasca itu kepemimpinan dan kepeloporan MAR dan beberapa generasi muda Muhammadiyah di PAN dan Partai Politik lainnya sampai saat ini tidak lagi bersentuhan dan merupakan desain atau koordinasi langsung dengan internal Muhammadiyah. Mungkin pada batas tertentu terdapat komunikasi yang bersifat personal. Maka pertanyaan serius berikutnya adalah bagaimana wajah artikulasi kader politisi Muhammadiyah pasca Amien Rais?
Legacy MAR
Saat ini tepatnya setelah berakhirnya kongres PAN di Kendari beberapa waktu lalu, posisi MAR secara formil dalam kepengurusan parpol telah berakhir. Dari deretan nama-nama pengurus DPP PAN yang diumumkan ketua umum terpilih, Zulkifli Hasan, nama MAR sudah tidak tercantum lagi. Posisi MAR sebelumnya sebagai Ketua Dewan Penasihat DPP PAN saat ini digantikan oleh Sutrisno Bachir.
Banyak pihak yang menganggap bahwa kongres PAN di Kendari adalah kekalahan bagi MAR dan juga berakhirnya karir politik MAR . Namun menurut saya Kongres PAN bukanlah sebuah kekalahan bagi MAR tapi justru kemenangan cantik bagi MAR. Bahwa betul karir MAR di politik memang hampir usai. Namun nampaknya MAR telah mendesain dan meletakkan proses regenerasi yanh cukup bagus bagi kader Muhammadiyah di Partai Amanat Nasional. Alasannya apa, tunggu tulisan selanjutnya.