Oleh: Sabrur Rohim
Persalinan adalah fase yang sangat kritis, sehingga harus benar-benar dipersiapkan oleh setiap pasangan suami istri. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, tentu saja persalinan terbaik dan teraman adalah dengan dibantu oleh petugas medis yang terlatih, seperti bidan atau dokter kandungan. Sekarang, pemerintah melarang persalinan dengan bantuan dukun bayi. Ini merupakan sesuatu yang positif sehingga harus kita dukung.
Pandangan Menyesatkan
Adalah sangat menyesatkan jika berpandangan secara gegabah bahwa kematian saat menjalani persalinan disebut mati syahid. Jika persalinan tersebut telah melalui syarat, ketentuan, dan prosedur medis yang standar dan (tetapi) kemudian terjadi darurat yang berujung pada kematian si ibu, maka layak jika disebut mati syahid dan berbuah surga. Sabda Nabi SAW: “… orang yang mati karena nifas, syahid, dia akan ditarik oleh anaknya menuju surga dengan tali pusarnya.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya, hadis nomor 15998).
Tetapi, sebaliknya, jika proses persalinan tersebut mengabaikan syarat, ketentuan, dan prosedur medis standar, misalnya (katakanlah) tidak ditangani oleh petugas medis, tetapi oleh dukun beranak, atau bahkan ditangani sendiri, sehingga kemudian berujung pada risiko kematian (nauzubillah), maka sangat tidak tepat jika dianggap kematian tersebut sebagai mati syahid. Itu sama halnya menjerumuskan diri ke dalam kecelakaan, yang jelas dilarang oleh Islam, sebagaimana dinyatakan di dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 195, “… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan…” Bahasa teknisnya: bunuh diri.
Begitu bayi lahir, ada beberapa hal yang disunnahkan untuk dilakukan oleh orangtua. Yang pertama-tama, mengumandangkan azan di telinga kanan, dan iqamat di telinga kiri. Selanjutnya, pada hari ke-7 kelahirannya, orang tua melaksanakan aqiqah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, dengan disembelihkan kambing, diberi nama. Bulu rambut kepalanya dipotong, lalu ditimbang, beratnya dikonversikan ke emas (seharga emas) untuk disedekahkan. Terkait dengan pemberian nama, Nabi SAW menyatakan bahwa orangtua hendaknya memberi nama yang baik kepada anaknya. Karena nama yang baik mengandung harapan-harapan yang baik (tafa’ul).
ASI Eksklusif
Islam juga sangat memperhatikan pentingnya memberi ASI (air susu ibu) eksklusif. Yakni, menyusui bayi sejak usia 0 tanpa campuran makanan pendamping apa pun. Artinya, ya hanya susu ibu saja. Jika kita membaca kitab-kitab fikih, dalam bab bersuci (thaharah), ada pembahasan tentang najis mukhafafah (ringan), di mana cara membersihkannya cukup dengan menyiramkan air ke najis tersebut. Apa sebenarnya najis tersebut sehingga cara membersihkannya sangat mudah? Najis mukhaffafah adalah air kencing bayi berusia 0 sampai 2 tahun, yang belum mengonsumsi apa pun kecuali air susu ibunya (ASI).
Walaupun dalam konteks fikih ada yang berpendapat bahwa ini hanya berlaku bagi bayi laki-laki saja (sedangkan air kencing perempuan dikategorikan sebagai najis mutawasithah), tetapi hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam awal, yakni di masa Nabi SAW sendiri, ada kebiasaan, atau bahkan anjuran, untuk menyusui anak sejak usia 0 sampai setidaknya 2 tahun. Hanya air susu ibu (ASI) saja tanpa makanan pendamping apa pun. Dan untuk bayi yang diperlakukan seperti itu (yakni diberi ASI saja hingga 2 tahun) mendapat perlakukan khusus untuk air kencingnya, yakni dikategorikan sebagai najis ringan (mukhaffafah).
Dalam tulisan DR Abdul Basith Jamal dan DR Daliya Shadiq Jamal, “Alquran dan Sains: Manfaat Air Susu Ibu (ASI)”, dalam www.republika.co.id, edisi Ahad, 11 Agustus 2011, dinyatakan, penelitian di dunia modern menunjukkan bahwa ASI mengandung pelbagai unsur makanan yang dibutuhkan bayi untuk membantu perkembangannya. Selain itu, di dalam ASI juga terkandung aneka macam vitamin, kadar lemak, dan unsur-unsur makanan lainnya, sehingga bisa dikatakan bahwa ASI adalah makanan sempurna yang mengandung pelbagai zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh makhluk hidup. Dengan demikian, metabolisme tubuhnya bisa berjalan lancar dan perkembangan badannya berlangsung dengan baik.
KB Pasca Salin
Setelah bayi lahir ke dunia, maka dalam kurun 42 hari setelahnya, sang ibu sangat dianjurkan mengikuti program KB, atau yang lazim disebut KB pasca salin. Dalam ajaran Islam, seorang suami diharamkan menggauli istrinya selama masa nifas, yang biasanya berlangsung selama kurang lebih 40-60 hari. Seorang suami baru boleh berhubungan intim jika si istri benar-benar sudah kembali suci. Artinya, sudah tidak mengeluarkan darah lagi. Dalilnya adalah al-Quran Surat al-Baqarah ayat 222. Meski di dalam surat tersebut yang disebut adalah haid (menstruasi), tetapi berlaku juga bagi nifas, karena secara substansial keduanya sama. Yakni, proses atau gejala mengeluarkan darah dari rahim. Jadi, sebenarnya, tanpa mengikuti program KB pasca salin pun, jika seseorang itu taat kepada ajaran agamanya, maka tidak mungkin ia akan berhubungan seks dengan istrinya dalam kurun 42 hari setelah melahirkan (nifas).
Akan tetapi, terlepas dari hal itu, memang sebaiknya sehabis persalinan seorang ibu segera mengikuti program keluarga berencana (KB). Tujuannya supaya tidak terjadi kehamilan berikutnya dalam jarak yang tidak ideal. Dalam budaya Jawa, ada istilah “kesundulan,” yakni ketika seorang bayi yang baru lahir disusul oleh kelahiran adiknya pada jarak yang dekat, atau bahkan sangat dekat, ketika dia belum maksimal dalam konsumsi ASI.
Dengan segera mengikuti program KB, potensi “kesundulan” bisa dicegah sedemikian rupa. Dengan demikian, bayi bisa mendapat asupan ASI dan pengasuhan dari orangtuanya secara maksimal.
*) Sabrur Rohim, SAg, MSI, alumnus PMU Syariah dan PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, guru ngaji di PP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul.
Editor: Arif