Oleh Mu’arif
Dahnil Anzar Simanjutak, koordinator Juru Bicara pasangan calon Prabowo-Sandi (paslon 02), menyatakan tidak perlu rekonsiliasi karena tidak ada konflik (Republika, 27/6). Tak berapa lama, Abdul Mu’ti menyeru kepada seluruh elemen bangsa supaya melakukan konsolidasi nasional (Republika, 27/7). Baik pernyataan Dahnil maupun Abdul Mu’ti tersebut sama-sama dikeluarkan pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan pasangan Prabowo-Sandi terkait sengketa Pilpres 2019.
Rekonsiliasi dan konsolidasi adalah dua konsep yang berbeda, tetapi formulanya sama sebagai jawaban atas suatu masalah serius. Dalam konteks ini, masalah serius yang dihadapi bangsa adalah polarisasi politik pasca Pemilu dan Pilpres 2019.
Rekonsiliasi
Rangkaian proses Pemilu dan Pilpres 2019 memang sudah berakhir pasca putusan MK yang menolak gugatan pasangan Prabowo-Sandi, tetapi dampak dari polarisasi politik yang sangat ekstrim kali ini akan berbuntut panjang. Aspirasi dan kepentingan kelompok yang kalah—pendukung paslon 02—tidak dapat diraih sehingga muncul luapan kekecewaan, marah, dan mungkin putus asa. Setelah prosesi Pemilu dan Pilpres 2019 selesai, luapan kekecewaan, marah, dan putus asa tidak mudah dilupakan, lalu mereka membawa aspirasi dan kepentingan yang tersumbat tersebut ke dalam praktik kehidupan sosial-kemasyarakatan sehari-hari, terutama lewat institusi-institusi non pemerintahan.
Sebelumnya, penulis telah memprediksi bahwa dampak dari kekalahan kubu pendukung paslon 02, cepat atau lambat, akan mempengaruhi dinamika di tubuh organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan mapan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Polarisasi politik yang tajam tentu akan berdampak pada konflik berkepanjangan, sehingga justru kontraproduktif bagi bangsa ini. Atas dasar inilah, muncul tawaran konsep rekonsiliasi pasca Pemilu dan Pilpres 2019.
Munculnya tawaran rekonsiliasi pasca Pemilu dan Pilpres 2019 berawal dari asumsi bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia telah menjurus ke arah perpecahan dan konflik. Perbedaan pilihan dan sikap ketika mendukung paslon capres antara kubu pendukung 01 dan 02 sangat ekstrim sehingga cukup beralasan ketika muncul tawaran konsep rekonsiliasi. Namun tawaran rekonsiliasi tidak mudah diterima, mengingat perbedaan cara pandang masing-masing dalam mendudukan makna konflik antar pendukung kedua paslon. Mereka yang menolak konsep rekonsiliasi dengan dalih karena tidak ada konflik, seperti statement Dahnil.
Penulis sendiri dapat menerima dalih penolakan konsep rekonsiliasi. Bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan berbangsa pasca Pemilu dan Pilpres bukanlah konflik yang dapat mengancam keutuhan dan persatuan bangsa. Namun demikian, dalih ini harus dikeluarkan secara tulus tanpa diiringi dengan sikap dan perilaku yang justru ambigu. Mestinya mereka yang menolak rekonsiliasi tidak perlu membangun narasi tandingan yang tujuannya mendelegitimasi pemerintahan ke depan, seperti narasi “kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM)” atau pengakuan mereka yang “terdzalimi.” Dengan pernyataan lugas dan konsisten tidak perlu rekonsiliasi, maka akan jelas bahwa polarisasi politik pasca Pemilu dan Pilpres tidak menyebabkan konflik yang dapat memicu perpecahan.
Dalam hal ini, penulis ingin mengutip pernyataan M. Amin Abdullah bahwa apa yang sedang terjadi di Indonesia memang berbeda dengan yang terjadi di Syria, Irak, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Dinamika keagamaan—yang bermotifkan politik, ekonomi, sosial, budaya—yang terjadi di Indonesia merupakan mode “ghazwul fikri” (perang pemikiran), bukan konflik fisik dalam bentuk anarkhisme atau perang saudara yang berlarut-larut. Inilah khazanah keindonesiaan yang harus dijaga. Bahwa perbedaan politik tidak menihilkan nilai-nilai luhur bangsa yang dikenal santun dan beradab.
Konsolidasi
Di tengah polarisasi politik umat yang begitu ekstrim sekalipun radiusnya kian meluas, Muhammadiyah memilih jalur netral sesuai asas dan kebijakan organisasi. Tetapi pilihan ini memang tidak populer. Saking tidak populernya pilihan netral, sampai-sampai para aktor penggerak organisasi ini dikritik, bahkan dihujat oleh warganya sendiri.
Keputusan dan pilihan yang diambil oleh kedua ormas ini yang memilih netral dalam Pilpres 2019 telah sesuai dengan khittah masing-masing. Para aktor penggerak kedua organisasi—terutama di jajaran elite struktural—tentu lebih memahami bagaimana keputusan dan pilihan tersebut. Posisi aktor dalam sebuah organisasi layaknya nahkoda dalam sebuah kapal berlayar ketika menghadapi ombak besar dan badai. Sang nahkoda tentu lebih paham kekuatan kapal dan peta navigasi, sehingga ia lebih mengetahui ke mana arah berlayar. Ambisi awak kapal, apalagi penumpang, jelas tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang tepat bagi sang nahkoda.
Sudah saatnya bangsa ini melakukan konsolidasi pasca Pemilu dan Pilpres 2019. Inilah skema penyelesaian masalah kebangsaan yang paling cocok saat ini dalam pandangan penulis. Seperti yang disampaikan Abdul Mu’ti, bangsa ini perlu segera melakukan konsolidasi pasca Pemilu dan Pilpres. Konsep ini memang lebih relevan digunakan untuk menyelesaikan skema konflik laten yang dalam istilah Amin Abdullah disebut “ghazwul fikri.” Dalam konteks organisasi sosial-kemasyarakatan, tawaran konsolidasi bertujuan untuk merevitalisasi nilai-nilai dan fungsi organisasi yang hampir hilang (dalam ingatan) ketika menghadapi situasi ekstrim (Pemilu dan Pilpres 2019).
Muhammadiyah sudah saatnya melakukan konsolidasi organisasi. Tujuannya menyadarkan kembali peran dan fungsi para aktor dalam organisasi tersebut agar sejalan dengan khittah organisasi. Konsolidasi organisasi juga bertujuan untuk menyatukan tekad dan visi bersama dalam menjalankan organisasi sosial kemasyarakatan yang jelas-jelas berbeda dengan parpol.
Para aktor penggerak organisasi dan juga para anggotanya perlu menyadari bahwa Pemilu dan Pilpres adalah salah satu dari tahapan politik kehidupan berbangsa dan bernegara yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Memberikan pilihan dan dukungan kepada salah satu paslon hanya untuk lima tahun ke depan. Tetapi memberikan pilihan dan dukungan untuk kemajuan organisasi sampai seumur hidup.
Pemilu dan Pilpres itu penting, tetapi keutuhan organisasi jauh lebih penting. Dari konsolidasi di kalangan tubuh ormas-ormas Islam mapan di Indonesia nantinya akan terwujud konsolidasi kebangsaan secara menyeluruh. Karena Muhammadiyah dan NU adalah pilar bangsa ini. Jika pilar telah retak, maka sebuah rumah terancam ambruk. Sebaliknya, jika pilar solid, maka rumah tersebut akan tetap kokoh. Begitulah posisi Muhammadiyah dan NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. []
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral UIN Sunan Kalijaga