Oleh: Wahyudi Akmaliah
Mobilisasi massa dalam aksi 212 menunjukkan bahwasanya dengan menggunakan sentimen agama, jauh lebih mudah untuk menggerakkan dan mengumpulkan orang. Mobilisasi membuat para elit politik menjadi waspada ketika menyangkut isu yang terkait dengan agama. Namun semua itu terbantahkan, yang terjadi saat ini justru kembalinya mahasiswa sebagai kekuatan politik.
Padahal sebelumnya, karena sentimen agama, mau tidak mau Jokowi memilih Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019. Meskipun sebelumnya Amin memberikan kontribusi signifikan dalam kasus Ahok melalui kesaksiannya di pengadilan. Karena isu agama sangat memungkinkan untuk melakukan mobilisasi massa dengan jumlah signifikan, membuat para elit politik dengan seenaknya mengeluarkan kebijakan lain asalkan tidak terkait dengan isu agama.
Persekongkolan dan Ketiadaan Oposisi
Lebih jauh, persengkongkolan yang mereka lakukan dan hilangnya oposisi partai politik, memungkinkan mereka untuk menyelamatkan kepentingan mereka yang paling dasar; tidak diciduk KPK. Dengan cara melemahkan KPK dan di satu sisi menggantungkan RUU PKS karena menyangkut sentimen agama.
Kondisi ini diperparah dengan penyelesaian krisis Papua dengan logika militeristik. Pembakaran di hutan Kalimantan dan Sumatra juga dianggap sebagai angin lalu. Di tengah situasi ini, nyaris tidak ada kekuatan masyarakat sipil yang bisa bersuara.
Kehadiran peta kekuatan politik mahasiswa yang sebelumnya diabakan memberikan harapan baru. Harus diakui, adanya aturan ketat kampus terkait “lulus tepat waktu”, membuat mereka lebih apolitik; selesaikan tugas kampus, pacaran, lulus kuliah, dan kemudian mendapatkan pekerjaan.
Jika tidak mendapatkan pekerjaan, mereka bisa mencari beasiswa yang sekarang jumlahnya cukup banyak. Dengan kondisi semacam ini, sulit rasanya mengembalikan kekuatan mahasiswa seperti Gerakan 1998 yang memiliki musuh bersama; kesewenang-wenangan.
Namun, aksi #GejayanMemanggil menepis rasa pesimis tersebut. Meskipun dilarang oleh sejumlah pimpinan kampus, para mahasiswa dari pelbagai elemen organisasi ini tetap turun ke jalan. Menyuarakan aspirasi yang memang tidak didengarkan oleh elit politik. Jarak geografis yang dekat antar satu kampus dengan kampus yang lain dan adanya penekanan ego organisasi antar lembaga kemahasiswaan, baik di dalam dan luar kampus, memungkinkan mereka bisa menghimpun kekuatan.
Hal ini terlaksana di tengah cibiran. Bahkan tak jarang dinyinyirin oleh para “orangtua” yang sudah mapan. Mereka yang telah berkarir tentunya menghindari resiko politik sebesar mungkin, di mana sebelumnya turut terlibat dalam aksi 1998 ataupun menyaksikannya.
Kembalinya Mahasiswa Sebagai Kekuatan Politik
Banyak yang tidak menyangka, bagaimana gerakan #GejayanMemanggil yang hanya riuh beberapa hari di media sosial kemudian bisa melakukan mobilisasi massa dengan kuat secara offline. Bagi saya, setidaknya aksi ini menjadi alarm untuk elit politik. Di mana kekuatan mahasiswa menjadi elan politik yang harus diperhitungkan di tengah lumpuhnya oposisi politik dari partai politik sebelumnya.
Ya, gerakan ini memang tidak bisa masuk dalam kebijakan internal di DPR-RI ataupun pemerintahan. Setidaknya, dengan turun ke jalan, mereka mengkisahkan mengenai ketidakberesan dalam pengurusan negara. Mengkisahkan pengabaian keadilan sosial dan kebebasan masyarakat sipil.
Di sini, dengan menjadikan jalan Gejayan ruang demonstrasi menjadi monumen ingatan yang puitik sekaligus melankolis melalui tagar #GejayanMemanggil. Disebut puitik karena membangkitkan afeksi atas apa yang terjadi pada tahun 1998 di area tersebut. Disebut melankolis karena tagar yang digunakan rasa sensitivitas terhadap masa lalu.
Meskipun titik pembeda antara gerakan 1998 dengan saat ini adalah tidak sedikit mantan aktivis 1998 justru yang melakukan proses nyinyir. Bahwasanya generasinya yang lebih baik. Kemudian menghimbau untuk melakukan demonstrasi dengan santun dan beradab. Meskipun dibalik itu, sebenarnya mereka menunjukkan kondisi kemapanan, baik secara ekonomi maupun sosial. Sehingga tidak mau terlibat terhadap aksi yang justru beresiko untuk diri mereka.
Di sisi lain, harus diakui, aksi #GejayanMemanggil menjadi pemecah dan pendefinisian ulang konteks ruang publik politik yang tidak lagi bisa masuk dalam dua kategori. Ini karena, mereka yang turun ke jalan dan juga isu yang diusung bukan dalam rangka membela figur politik, melainkan perjuangan nilai.
Sebagaimana diketahui, selama Pilkada DKI dan Pilpres 2019, masyarakat kita terbelah menjadi dua dengan logika penyederhanaan; cebong-kampret. Siapa yang mendukung Jokowi dan Ahok, mereka akan dikategorikan sebagai cebong. Begitu juga sebaliknya.
Narasi ini begitu kuat dan membentuk kantong algoritma, menciptakan keterpecahan kebenaran menurut kedua versi tersebut. Namun, saat pilpres berakhir dan kemudian terjadi rekonsiliasi politik dengan representasi pertemuan Jokowi dan Prabowo menandakan berakhirnya kategori tersebut. Apalagi, baik pemerintah dan DPR RI kemudian bernegosiasi untuk menyetujui Revisi UU-KPK. Namun, dua kategori ini tampak terus dimainkan oleh para penggaung (buzzers) yang seolah-olah masih memiliki keterkaitan dengan momentum Pilpres.
***
Sungguh, gerakan ini tidak bisa diabaikan oleh elit politik di DPR RI termasuk oleh pemerintahan Jokowi. Jika tidak direspon dengan cepat, lambat laun justru secara efektif akan menciptakan delegitimasi kekuasaan yang sekarang berlangsung.
Di sisi lain, mengandalkan para buzzers politik untuk membelokkan gerakan dengan dalih ditunggangi, tidak tahu isu, dan anak bau kencur justru menjadi kontra-produktif. Akan berakibat kepada pelipatgandaan artikulasi. Seperti bola salju, gerakan ini akan terus membesar apabila tidak ada penyelesaian dari tuntutan yang mereka ajukan.